Bentuk Shaf dalam Sholat yang Benar

Di bawah ini adalah gambar-gambar tata cara membentuk shaf dalam sholat yang benar. Saya mendapatkannya dari seorang teman. Yang Insya Allah gambar yang singkat ini bisa menjawab segala hal yang terjadi di masyarakat. Karena kekeliruan yang terus-menurus dilakukan oleh masyarakat. Kita juga wajib memperingatkannya karena ini berhubungan dengan sholat, sedangkan sholat adalah ibadah inti dari umat Islam ini. Maka kita harus menjaga agar sholat kita sempurna. Wallahu’alam bishawab.

Shaf untuk satu imam dan satu makmum

Shaf untuk beberapa makmum

Shaf untuk satu laki-laki satu wanita

Dua laki-laki satu wanita

Dua wanita

Tiga wanita atau lebih

Beberapa laki-laki dan wanita

Bila ada anak-anak

Merapatkan barisan yang benar

33 Responses

  1. kenapa di ajaran syi’ah tidak ada petunjuk shalat berjamaah?

  2. terima kasih,
    kalo tata cara bacaan, terutama ketika imam membaca surat pilihan setelah membaca al fatihah,
    apa yang mesti makmum lakukan ya?
    diam karena mendengar al quran atau membaca alfatihah sendiri?

    Barakallahufik,
    Mungkin fatwa dari Syaikh Muhammad Nasiruddin Al Albani berikut ini bisa menjawab yang anda tanyakan:

    MEMBACA AL-FATIHAH DI BELAKANG IMAM [SHALAT JAHRIYAH]

    Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

    Pertanyaan Syaikh Muhammad Nashidruddin Al-Albani ditanya :

    Anda menyebutkan dalam kitab Shalat Nabi, dari hadits Abu Hurairah, tentang di nasahkkannya (dihapuskannya) bacaan Al-Fatihah dibelakang Imam yang sedang shalat jahar. Kemudian anda mengeluarkan hadits ini, dan anda sebutkan bahwa hadits tersebut mempunyai penguat dan hadits Umar.

    Akan tetapi dalam kitab Al-I’tibar Fi An-Nasikh wa Al-Mansukh yang dikarang oleh Al-Hazimii disebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh seorang yang tidak dikenal (majhul), dimana tidak ada yang meriwayatkan dari si majhul ini kecuali hadits tersebut, dan seandainya hadits ini tsabit, yang berisi larangan untuk membaca Al-Fatihah di belakang imam yang sedang membaca ayat, maka bagaimana pendapat anda tentang perkataan Al-Hazimi ?

    Jawaban :

    Ini adalah perkara yang diperselisihkan oleh para ulama dengan perselisihan yang banyak. Dan perkataan Al-Hazimi ini mewakili para ulama yang berpendapat wajibnya membaca Al-Ftihah di belakang imam yang menjaharkan bacaannya. Di dalam perkataannya ada dua sisi ; yang pertama, dari sisi hadits, yang kedua dari sisi fiqih

    Adapun dari sisi hadits, ialah tuduhan cacat terhadap ke shahihan hadits tersebut dengan anggapan bahwa di dalam hadits tersebut terdapat seorang yang majhul (tidak dikenal). Akan tetapi kemajhulan yang di maksud ternyata adalah seorang perawi yang riwayatnya diterima oleh Imam Az-Zuhri. Tentang perawi ini, memang terdapat banyak komentar mengenai dirinya, akan tetapi mereka menganggap tsiqah (terpercaya), disebabkan pentsiqohan Imam Az-Zuhri, bahkan beliau telah meriwayatkan hadits darinya. Dan hadits ini ternyata mempunyai penguat-penguat lain yang mewajibkan kita untuk menguatkan pendapat para ulama yang tidak membolehkan membaca Al-Fatihah di belakang imam yang membaca dengan jahar. Yang paling pokok dalam hal ini, adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

    “Artinya : Dan jika dibacakan Al-Qur’an maka perhatikanlah, dan diamlah, agar kalian mendapat rakhmat “[Al-A’raaf : 204]

    Pendapat seperti ini merupakan pendapat Imam Ibnul Qayyim, Ibnu Taimiyah dan lain-lain. Setelah mengkompromikan semua dalil yang ada akhirnya mereka menyimpulkan bahwa makmum wajib diam ketika imam menjaharkan bacaan, dan (makmum) wajib membaca ketika imam membaca perlahan.

    Masalah sepelik ini tidak boleh disimpulkan hanya berdasarkan satu dua hadits saja. Tapi harus dilihat dari semua hadits yang berkaitan dengan masalah ini. Maka seandainya kita berpendapat wajibnya membaca Al-Fatihah dii belakang imam ketika jahar, ini jelas-jelas bertentangan dengan berbagaii masalah dan dalil, dimana tidak mungkin bagi kita menentang dalil-dalill tersebut.

    Dalil yang pertama kali kita tentang adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Dan jika dibacakan Al-Qur’an maka perhatikanlah dan diamlah“, dari perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Bahwasanya dijadikan imam itu untuk diikuti, jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, dan jika ia membaca, maka diamlah” Termasuk juga satu pertanyaan bahwa jika seorang (makmum) mendapati imam dalam keadaan rukuk, maka ia telah mendapat satu rakaat, padahal dia ini belum membaca Al-Fatihah. Oleh karena itu hadits. “Artinya : Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah” Dan hadits-hadits lain yang semakna adalah merupakan dalil khusus, bukan dalil secara umum. Dan satu hadits (dalil) jika telah bersifat khusus, maka keumumannya menjadi lemah, dan iapun siap dimasuki pengkhususan yang lain, atau dimasuki oleh dalil yang lebih kuat tingkat keumumannya dari hadits tadi.

    Maka disini, hadits : “Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Al-Fatihah”. Menurut kami menjadi hadits umum yang terkhususkan, dan pada saat itu juga hadits-hadits lain yang mengandung arti umum tentang wajibnya diam dibelakang imam dalam shalat jahar menjadi lebih kuat (tingkat keumumannya) dari hadits di atas. Adapun hadits Al-Alaa’ “Artinya : Barangsiapa yang tidak membaca Al-Fatihah maka shalatnya tidak sempurna”. Maka hadits ini tidak marfu [1] kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia merupakan pendapat Abu Hurairah, ketika ia menjawab dengan jawaban. “Artinya : Bacalah dalam hatimu”. Dan kalimat : “Bacalah dalam hatimu”, tidak bisa kita artikan membaca sebagaimana lazimnya, yaitu membaca dengan memperdengarkan untuk dirinya, dengan mengeluarkan huruf-huruf dari makhraj-makhraj (tempat-tempaty) huruf. Dan kalaupun kita dianggap bahwa maksudnya adalah membaca dalam hatii sebagaimana bacaan imam dalam shalat sirriyah atau bacaan ketika shalat sendiri.

    Maka pendapat seperti ini yang merupakan pendapat Abu Hurairah, bertentangan dengan pendapat sebagian besar shahabat, dimana mereka telah berselisih pendapat masalah ini. Perselisihan ini bukan hanya terjadi setelah zaman para shahabat, tapi perselisihan ini justru dimulai dari zaman mereka.

    Pendapat Abu Hurairah ini harus dihadapkan dengan seluruh dalil yang terdapat dalam masalah ini, tidak boleh hanya berdalil dengan pendapat beliau saja, karena bertentangan dengan sebagian atsar para shahabat yang justru melarang membaca Al-Fatihah di belakang imam yang shalat jahar. Adapun hadits. “Artinya : Janganlah kalian membaca di belakang imam kecuali dengan Al-Fatihah“. Kami berpendapat bahwa pengecualian ini ia merupakan suatu tahapan, dari tahapan-tahapan syari’at. Barangsiapa yang hanya berdalil dengan hadits ini, maka terdapat perkara-perkara yang harus dia ketahui bagaimana ia bersikap terhadap hadits-hadits tersebut. Diantaranya ialah perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian membaca“, adalah suatu larangan. Dan perkataan beliau : “Melainkan Al-Fatihah” adalah pengecualian dari larangan tersebut. Apakah ini secara bahasa pengecualian ini menjelaskan adanya kewajiban yang dikecualikan (dalam hal membaca Al-Fatihah), atau hanya sekedar bolehnya ? Masalah ini harus diteliti lebih dalam lagi.

    Pendapat yang kuat, bahwa boleh membaca Al-Fatihah, bukan wajib. Disamping itu kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri adalah bahwa orang yang mendapatkan ruku’nya imam berarti ia mendapatkan rakaat tersebut.

    Bagaimanapun juga, dalam masalah ini kami mempunyai suatu pendapat, yang memperkuat pendapat jumhur, dan pendapat ini sama dengan pendapat Imam Malik dan Ahmad. Dan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang paling adil. Dan dalam hal ini kami tidak ta’ashub (fanatik).

    [Disalin dari buku Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzzhullah, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]

    _________

    Foote Note [1]. Hadist Marfu’ adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,-pent

    antum bisa dapat artikel serupa di http://www.almanhaj.or.id

  3. syukran, ana copy ya….

  4. semoga berguna bagi kaum muslimin..
    ane ijin copy sob..

  5. assalamu’alaikum…..ane copy
    trimks yaa,,, para hamba Allah smoga mnjd ahli surga

  6. Ass…
    Bagaimana bntk shaf jika ktika shlt tiba-tiba klr dr shaf krn brhadas???
    Trims…

    • Mohon kalau salam menggunakan tulisan Assalaamu’alaykum warohmatullohi wabarokaatuh, terus terang menyingkat salam saya tidak suka. Saya membaca tulisan, tidak menangkap maksud dari singkatan.

      Kalau misalnya berjama’ah dua orang, ya berarti sang imam shalat sendiri. Kalau sang imam yang batal wudhu-nya berarti sang ma’mum tadi shalat sendiri. Posisinya ya menempati tempat masing-masing, sedangkan yang wudhu-nya batal otomatis harus berwudhu.

      Wallahu’alam bishawab.

  7. alhamdulillah sangat membantu yang belum tahu

  8. […] BENTUK SHAF SHOLAT YG BENAR {SUNI} Bentuk Shaf dalam Sholat yang Benar […]

  9. trus gimana kalau mula-mula kita hanya shalat jama’ah 2 orang trus ada 1orana lagi yang ikut jama’ah?apakah tetap sejajar atau bagaimana?tolong penjelasannya.sukron…….

    • kalau ada orang datang lagi, makmum yang datang boleh menarik makmum tadi untuk jama’ah di belakang. Atau makmum yng disebelah imam tadi mundur ke belakang.

      wallahua’lam bishawab

  10. […] 11. Tempat wanita itu ada di belakang shaf, bukan di samping. Hal yang sering kita jumpai di masjid-masjid kampung adalah menempatkan shaf wanita di sebelah shaf laki-laki. Ini tidak ada tuntunannya. Yang benar adalah shaf wanita itu ada di belakang pria. Hadits telah dijelaskan di awal tentang sebaik-baik shaf. Untuk posisi ma’mum yang benar silakan akses link berikut [Bentuk Shaf dalam Sholat yang Benar]. […]

  11. assalamu’alaikum warohmatullohi wrwb
    alhamdulillah ada pencerahan, ane copy yan bang…

  12. ijin copas ya…
    terima kasih sebelumnya

  13. assalamu’alaikum warohmatullohi wrwb
    waduuh, saya mw tanya nii,,, apakah diperbolehkan shaf laki-laki di bawah, sedangkan shaf wanita di atas,, (masjidnya 2 tingkat)

    • Wa’alaykumsalam warohmatullohi wabarokaatuh.
      Tidak apa-apa, selama berjauhan / tidak berdekatan. Misalnya laki-laki di bawah dan wanita di atas. Perbedaan lantai itu saja sudah jauh. Berbeda dengan sholat yang mana wanita di sebelahnya laki-laki yang mana hanya dibatasi sehelai kain yang sering kita jumpai di masjid-masjid yang ada di Indonesia. Ini tidak diperbolehkan. Kalau masih satu lantai, shof wanita harus dibelakang.

  14. Baca dan liat gambar bikin jelas, apalagi hadisnya perawinya jelas. Om kalo untuk membentuk shof lagi lebih baik minimal dua orang ada gak dalilnya???
    makasih.

  15. apa betul jamaah yg terpisah sama halnya sholat sendiri pd waktiu sholat berjamaah,mis; jamaah yg lain shola di area masjid atau di jalan ( tidak besambung),atas penjelasan nya ,tks.

    • FATWA SYAIKH IBNU AL-’UTSAIMIN TENTANG HUKUM ORANG YANG SHALAT SENDIRIAN DI BELAKANG SHAF

      Tanya: Bagaimana pendapat yang shahih mengenai orang yang shalat sendirian di belakang imam?

      Jawab:

      Ada beberapa pendapat tentang shalat sendirian di belakang shaf imam:

      1. Shalatnya sah tetapi menyalahi sunnah, baik shaf yang ada di depannya penuh atau tidak. Inilah yang terkenal dari ketiga imam madzhab: Maliki, Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i, dari riwayat Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Mereka menafsirkan hadits, “Tidak sah shalat bagi yang sendirian di belakang imam,” kepada
      ketidaksempurnaan, bukan ketidaksahan.

      2. Shalatnya batal, baik shaf yang di depanya penuh atau tidak. Dasar hukumnya adalah hadits:

      “Tidak sah shalat bagi yang sendirian di belakang imam.”

      Juga hadits yang menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melihat seorang lelaki shalat sendirian di belakang shaf, lalu ia disuruh agar mengulanginya kembali.

      3. Pendapat moderat (pertengahan); jika barisan shalat penuh, maka shalat munfarid di belakang imam boleh dan sah. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Yakni jika saudara masuk masjid dan ternyata barisan shalat telah penuh kanan kirinya, maka tidak ada halangan saudara shalat sendirian berdasarkan firman Allah berikut:

      “Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16)

      Jika bukan dalam keadaan seperti itu, maka saudara bisa menempuh cara berikut: menarik seorang makmum dari shaf untuk shalat bersama saudara; maju ke depan untuk shalat bersama imam; shalat sendirian tidak berjamaah; atau shalat berjamaah namun berdiri sendirian di belakang shaf karena tidak mungkin masuk ke shaf yang di depan. Inilah empat cara yang bisa dilakukan.

      Cara kesatu, yaitu menarik seseorang ke belakang untuk shalat bersama saudara. Cara ini dapat menimbulkan langkah tiga atau terputus dari shaf bahkan bisa memindahkan seseorang dari tempat yang utama ke tempat yang sebaliknya, mengacaukan dan dapat menggerakkan seluruh shaf karena di sana ada tempat kosong yang kemudian diisi oleh masing-masing dengan cara merapatkan hingga timbul gerakan-gerakan yang tanpa sebab syara’.

      Cara kedua, maju ke depan untuk shalat bersama imam. Cara ini menimbulkan beberapa kekhawatiran. Jika saudara maju dan berdiri sejajar dengan imam maka cara ini menyalahi sunnah, sebab imam harus sendirian di tempatnya agar diikuti oleh yang belakang dan jangan sampai terjadi dua imam. Dalam hal ini tidak bisa diberi alasan dengan hadits yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki masjid dan dijumpainya Abu Bakar tengah shalat berjamaah lalu beliau ikut shalat di sebelah kirinya dan menyempurnakan shalatnya, karena hal seperti ini dalam keadaan darurat, di mana Abu Bakar ketika itu tak punya tempat di shaf belakang. Akibat lainnya, bila saudara maju ke depan imam, maka dikhawatirkan akan banyak melangkahi pundak orang, sesuai dengan banyaknya shaf. Cara ini jelas akan mengganggu orang shalat dan tidak menyenangkan. Di samping itu, jika setiap yang datang kemudian disuruh ke depan jajaran imam, maka tempat imam akan menjadi shaf penuh dan hal ini menyalahi sunnah.

      Sedangkan cara ketiga, yaitu saudara meninggalkan berjamaah dan shalat sendirian, berarti saudara kehilangan nilai berjamaah dan nilai barisan shalat. Padahal diketahui bahwa shalat berjamaah walau sendirian shafnya adalah lebih baik ketimbang sendirian tanpa berjamaah. Hal ini telah dikuatkan oleh berbagai atsar (keterangan sahabat) dan pandangan yang sehat. Allah sendiri tak akan membebani seseorang kecuali menurut kesanggupannya. Maka menurutku pendapat yang terkuat adalah jika shaf shalat telah penuh lalu seseorang shalat di belakang shaf dengan berjamaah adalah lebih baik dan shalatnya sah.

      Tanya: Apa hukum shalat sendirian di belakang barisan shalat?

      Jawab:

      Jika seseorang masuk masjid dan dijumpainya barisan shalat telah penuh, hendaklah ia shalat sendirian di shaf tersendiri dalam keadaan tetap berjamaah, maka cara ini tak menjadi masalah sebab Allah berfirman:

      “Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16)

      Karena shalat berjamaah itu wajib dan bagian dari takwa kepada Allah. Karena itu ia wajib mengikutinya walau berada pada shaf tersendiri lantaran barisan di depannya telah penuh. Jika ada yang berkata bahwa cara ini bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut:

      “Tidak sempurna shalatnya orang yang sendirian di belakang shaf.”

      Maka jawabannya adalah bahwa hadits ini masih diperselisihkan maknanya oleh para ulama. Menurut sebagian ulama hadits tersebut ditujukan atas ketidaksempurnaan shalat seperti tak sempurna orang yang shalat di hadapan makanan, sebab pada dasarnya shalat di depan makanan itu sah-sah saja, namun tak akan sempurna. Begitu pula halnya dengan orang shalat berjamaah dengan shaf tersendiri. Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i dari riwayat Imam Ahmad.

      Tetapi menurut pendapat yang shahih hadits tersebut menunjukkan ketidaksahan, berdasarkan kaidah ushuliyah berikut:

      “Jika ada larangan, maka pada dasarnya larangan itu tertuju kepada apa yang dilarangnya. Jika tidak, berarti menunjukkan ketidaksahan; dan jika tidak pula, berarti menunjukkan ketidaksempurnaan.”

      Maka hadits “Tidak sempurna shalatnya orang yang sendirian di belakang shaf,” mungkin dapat ditafsirkan kepada ketidaksahan, yakni shalatnya orang sendirian di belakang shaf tidak sah. Hal ini diperkuat dengan keterangan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyuruh seseorang yang shalat sendirian di belakang shaf agar mengulangi shalatnya.

      Dengan demikian, seseorang wajib berdiri pada shaf shalat yang sudah ada kebuali jika tidak mampu, berdasarkan firman Allah:

      “Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16)

      Dalam ayat lain disebutkan:

      “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
      kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

      Maka bagi orang seperti di atas tidak akan bisa lepas dari lima keadaan: meninggalkan shaf dan shalat sendirian; atau menarik seseorang dari shaf depan untuk shalat bersama; atau maju ke depan sejajar dengan imam; atau shalat sendirian di belakang shaf atau menunggu orang datang.

      Jika maju ke barisan imam, maka ada dua kekhawatiran: akan mengacaukan orang shalat lantaran melangkahi mereka; atau masuk dari pintu depan arah kiblat lalu berdiri bersama imam, maka cara inipun menyalahi sunnah, sebab imam mesti sendirian.

      Jika seseorang ditarik dari shaf, maka akan terjadi beberapa kekhawatiran sebagaimana telah dijelaskan sebelumny (kihat hal. 62-63).

      Maka berdasarkan pendapat yang moderat dari Ibnu Taimiyah, jika seseorang kesulitan untuk bergabung dengan shaf yang telah ada, maka ia boleh berdiri sendirian dalam berjamaah. Ibnu Taimiyah mengemukakan dalil yang sangat asing berdasarkan qiyas; yakni wanita harus membuat shaf sendirian di belakang shaf (lelaki) yang telah ada, maka shalatnya sah, sebab baginya thdak ada shaf yang diperintahkan syara’. Begitu pula halnya dengan seorang lelaki yang tak punya shaf lantaran sudah penuh, maka ia boleh membuat sendirian. Maka dalam hal ini Ibnu Taimiyah telah menyamakan (qiyas) antara alasan syara’ dengan akal.

      Sumber: 257 Tanya Jawab Fatwa-fatwa Al-’Utsaimin (judul asli: Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-’Utsaimin) oleh Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-’Utsaimin, alih bahasa: Prof. Drs. KH. Masdar Helmy, penerbit: Gema Risalah Press, Bandung. Cet. Pertama, Mei 1997. Hal. 96-100.

  16. assalamualaikum
    izin copast ya.

  17. izin copy ya, buat petunjuk sholat dimasjid ana, syukron

  18. Assalamualikum Warohmatullohiwabarokatuh
    kalau merapatkan shaf sholat kita merapatkan ke sebalah kanan atau kesebelah kiri? karena saya sering menjumpai ketika sholat berjamaah ditengahnya kosong jadi sy suka bingung memilih barisan. mohon penjelasan. Terimakasih

  19. Assalaamu’alaykum warohmatullohi wabarokaatuh, ijin copas yaa.
    mo saya tempel di masjid2.

  20. wah… bagus buanget saya izin copy yeee…buat panduan di masjid

  21. OK .JAZAKUMULLAH JAZA

  22. […] alatsari.wordpress.com […]

  23. kalo merapatkan shaf itu dari kiri ke kanan ato kanan ke kiri,……..

Leave a reply to boerhan Cancel reply