Menyimak Haramnya Golput

Bismillahirahmaanirrahiim,

Alhamdulillah, wa sholatu wa ‘alaa rasulillah wa ‘alaa ‘alihi wa ash habihi ajma’in. Amma ba’du.

Beberapa hari ini ada sebuah wacana yang sedang disoroti oleh beberapa politikus, yaitu tentang Golput. Ada sebagian yang merasa kalah dalam pemilu sehingga menghina golput dan ada sebagian lain yang memang dari awal menganggap pemilu dan demokrasi adalah perjuangan Islam sehingga tidak setuju dengan golput. 

Sebagaimana kita tahu Golput atau golongan putih adalah sebuah kelompok dalam pemilihan umum yang mana ia tidak memilih, alias tidak memberikah hak suaranya. Ketua DPR / MPR saat ini Hidayat Nur Wahid juga mendesak agar MUI segera mengeluarkan fatwa bahwa golput itu adalah haram. Untuk hal ini maka akan kita bahas apakah menyebut golput haram itu diperbolehkan atau tidak.

Pertama, kita bahas tentang Demokrasi sendiri. Demokrasi yang ada di Indonesia tidaklah demokrasi yang berasaskan Islam. Namun Demokrasi Pancasila yang mana sangat jauh dari tuntunan Islam yang benar. Bahkan juga bukanlah sebuah ajaran yang dibawa oleh rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam. Murni demokrasi yang berjalan di negara ini adalah di luar kaidah Islam dan sesuai dengan syarat-syarat politik Islam yang benar.

Namun sesuai dengan sunnah, orang Islam yang tinggal di negara Indonesia, wajib mematuhi peraturan yang berlaku di negara ini, wajib mengikuti aturan pemerintahnya, sebab negara Indoensia ini adalah Daarul Islam. Yaitu sebuah negara yang mana Islam berkembang dengan baik dan besar di negara ini. Bahkan pemimpin negaranya pun adalah orang Islam.

Sebagaimana yang kita ketahui demokrasi bukanlah bawaan Islam, rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam hanya meninggalkan 2 hal yang beliau wasiatkan untuk umatnya. Yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. Ali Imran : 59)

Maka sudah jelas sekali, bahwa yang diwasiatkan oleh rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam bukanlah demokrasi. Namun semuanya kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Dan memang negara kita belum bisa mengikuti keduanya.

Kedua, hukum melakukan hal yang haram dalam keadaan dharurat adalah dibenarkan sebagaimana firman Allah. 

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barang siapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An Nahl: 115)

Sebagian orang pelaku demokrasi menggunakan ayat ini sebagai tindakan mereka. Mereka berfikir apa yang dilakukannya karena unsur dharurat. Dan juga karena umat sedang butuh diperjuangkan, dan juga karena orang-orang kafir ingin menguasai negeri ini. Sehingga masuk ke jalur politik lebih utama daripada diam di masjid, belajar agama, belajar tafsir, belajar Al Qur’an dan belajar hadits. Mereka menganggap terjun ke kancah politik dan berfikir tentang kepentingan umat lebih utama daripada menuntut ilmu syar’i. 

Tentu saja hal itu tidak benar. Menuntut ilmu syar’i lebih utama daripada terjun langsung ke kancah politik. Apalagi politik yang diusung negara kita bukanlah politik Islam yang benar. Tidaklah ada di ayat Al Qur’an ataupun hadits yang mengatakan bahwa terjun ke politik untuk mengurus umat lebih utama dan mendapatkan derajat yang lebih baik daripada menuntut ilmu syar’i. 

Ada juga sebagian yang menganggap ini adalah salah satu bentuk jihad. Kalau dikatakan jihad, maka harus dilihat dari berbagai segi, yaitu jihad model apa? Kalau jihad yang dimaksud adalah jihad untuk menegakkan diin, maka yang paling utama jihad itu adalah berdakwah, bukan berpolitik. Bahkan mereka menganggap masuk politik adalah salah satu jalan dakwah mereka. Ini adalah kesalahan, sebab rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam tidaklah terjun ke kancah politik untuk mendapatkan dukungan, tapi melalui dakwah, majlis ta’lim dan mengajarkan akhlaq. Bahkan ketika ditawari jabatan oleh para pembesar Quraisy, rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan tegas menolak.

Ketiga, menolak mafsadat itu lebih diutamakan daripada mencari manfaat. Sebagaimana Allah Subhanahu wata ‘alaa berfirman:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

artinya:”Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir,” (Q.S. Al Baqarah: 219)

Dari ayat tersebut dijelaskan bahwa khamr itu bermanfaat. Allah tidak meragukan bahwa khamr itu bermanfaat. Sebab Allah sendiri yang berfirman. Bahkan orang-orang arab pada masa jahiliyah meminum khamr agar menambah semangat, membantu pencernaan makanan, menyenangkan, dan membuat percaya diri. (sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir dalam tafsirnya).

Namun Allah dengan tegas juga menjelaskan, sebagaimanapun manfaatnya “KHAMR tetaplah haram”.

Demikian juga demokrasi. Manfaat demokrasi ada, bahkan boleh dibilang sebagai bentuk pemerintahan yang sekarang ini dieluk-elukkan oleh dunia barat. Namun kerusakan yang ditimbulkan demokrasi lebih besar daripada manfaatnya. Sebagaimana yang kita tahu di dalam demokrasi ini, setiap suara rakyat adalah dianggap 1. Setiap orang mewakili satu suara. 

Jadi ibaratnya kalau rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam ikut demokrasi, ikut pemilu, pendapat beliau disamakan dengan seorang pezina. Naudzubillah. Dan juga seandainya para shahabat ikut pemilu, maka mereka juga disamakan dengan orang-orang kafir. Bahkan para ulama pun akan disamakan suara mereka. Padahal suara rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam lebih baik daripada suara siapapun. Dan juga suara shahabat lebih baik daripada suara kita, bahkan suara ulama lebih baik daripada sejuta umat. Kalau suara-suara mereka disamakan jadi 1. Maka ini adalah sebuah kerusakan. Dan menolak kerusakan ini hukumnya wajib daripada mengambil manfaat darinya.

Sangat tidak bisa diterima andainya MUI mengabulkan permintaan Hidayat Nur Wahid untuk mengharomkan golput. Sebab mengabulkan permintaan itu adalah sama saja mengharamkan orang-orang yang tidak minum khamr, mengharamkan orang yang berlepas diri dari dosa. Sungguh saya memohon kepada Hidayat Nur Wahid (seandainya beliau melihat tulisan saya) untuk mencabut permintaannya. Ataupun MUI yang mungkin ingin mengabulkan permintaannya.

Lagipula MUI bukanlah sebuah lembaga untuk pemerintah, sehingga apa yang diinginkan oleh pemerintah bisa dilegalkan juga oleh MUI. MUI adalah lembaga untuk umat Islam. Karena lembaga untuk umat Islam, maka dalam hal ini “urusan perpolitikan” tidak diikut sertakan dalam urusan MUI. Karena kalau sampai hal itu terjadi, maka akan terjadi disfungsi dari MUI sendiri dan seolah-olah MUI adalah alat negara bukan merupakan lembaga yang menjadi rujukan Umat ISLAM di Indonesia ini.

Wallahu’alam bishawab.

4 Responses

  1. assalamu’alaikum wr wb…
    terima kasih atas pencerahannya.
    saya seorang yang sedang semangat belajar ttg Islam dan hibungannya dengan negara. bisa minta email atau id YM pak? brgkali bisa tanya2 sesuatu…
    terima kasih…
    wassalamu’alaikum wr wb…

  2. OK… sistem haram.
    tapi hasil dari sistem yg haram = halal apa haram????
    kerana kita tengok, sekalipun sistem haram, tapi kita mesti taat ulil amri, mesti mengahrgai mereka sebagai pemimpin kita.
    padahal kalau sistemnya jelas-jelas haram, kenapa produknya halal dan harus kita taati????
    kalau begini, sama saja ngasih kesempatan bagi musuh jadi pemimpin, karena orang Islam dilarang “nyalon”..
    waaah… bahaya fatwa ini, jangan2 fatwa ini produk pesanan Amerika dan Yahudi???

  3. #abunya hasan

    Kita memang ta’at kepada ulil Amri, tapi ingatlah kepada sebuah hadits.

    Hadis riwayat Abdullah radhiyallahu’anhu ia berkata:
    Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya akan muncul sepeninggalku sifat egois (pemimpin yang mengutamakan kepentingan diri sendiri) dan beberapa perkara yang tidak kamu sukai. Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, apakah yang engkau perintahkan kepada seorang dari kami yang mengalami zaman itu? Beliau menjawab: Laksanakanlah kewajiban kamu dan mohonlah kepada Allah yang menjadi hakmu.
    (Shahih Muslim No.3430)

    Hadis riwayat Abu Musa radhiyallahu’anhu, ia berkata:
    Aku menemui Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersama dua orang lelaki anak pamanku. Seorang dari keduanya berkata: Wahai Rasulullah, angkatlah kami sebagai pemimpin atas sebagian wilayah kekuasaanmu yang telah diberikan Allah azza wa jalla! Yang satu lagi juga berkata seperti itu. Lalu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: Demi Allah, kami tidak akan mengangkat seorang pun yang meminta sebagai pemimpin atas tugas ini dan tidak juga seorang yang berambisi memperolehnya.
    (Shahih Muslim No.3402)

    Hadits di atas adalah sudah jelas-jelas merupakan bukti bahwa di Islam juga ada aturan tentang pencalonan pemimpin. Di Islam tidak ada pencalonan, yang ada adalah bai’at, yang mana umatlah yang membai’at pemimpin. Dan tidak ada catatan dalam sejarah Islam, seorang pemipin dicalonkan, bahkan meminta untuk dicalonkan jadi pemimpin pun dilarang.

    Sedangkan hadits yang pertama merupakan pelajaran, bahwa ta’at kepada ulil amri adalah merupakan kewajiban. Namun ingat kita ta’at kepada ulil Amri adlah karena Allah Azza wa Jalla dan jangan dilupakan ta’at kepada Allah, lantaran ta’at kepada ulil Amri.

    Ta’at kepada Ulil AMri adalah ketaatan di bawah Al Qur’an dan As Sunnah. Lalu, apakah ketika Ulil Amri memerintahkan kepada sesuatu yang bathil akan kita ta’ati?

    Kalau memang benar “dilarang nyalon” adalah fatwa dari produk Amerika dan Yahudi, berarti anda menganggap rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam adalah produk Amerika dan Yahudi. Jangan bicara sebelum anda punya ilmunya!!

  4. Mengharamkan Golput, Haram hukumnya
    Politik Islam saat ini yang tepat adalah meninggalkan politik saat ini.
    http://www.arieksinggih.com

Leave a comment