Meluruskan Pemikiran Konstekstual

Bismillahirahmaanirrahiim,

Washolatu wa’alaa rasulillahi wa’alaa ‘alihi wa ash hahibi ajma’in waman tabi’ahum bi ihsaan ilaa yaumiddin. Amma Ba’du.

Kita tentu tidak asing dengan yang namanya Jaringan Islam Liberal yang mendapatkan dana dari FTA (Foundation to Asia) milik Yahudi tersebut. Kita tentu juga tidak asing dengan pemikiran-pemikiran mereka yang nyeleneh seputar agama Islam. Tentu saja, mereka adalah Mu’tazillah zaman sekarang, yang mana sebagian besar pemikiran-pemikiran mereka dulunya pernah berkembang di zaman tabi’ut tabi’in. Dan salah satu Imam besar yang pernah berhadapan dengan mereka adalah Imam Ahmad bin Hambal rahimahulloh. Jaman sekarang, di saat manusia sudah dibutakan oleh kecanggihan teknologi dan juga banyak diantara mereka yang sombong terhadap apa yang mereka temukan dengan akal mereka, manusia pun mulai sedikit-demi-sedikit meninggalkan apa yang disebut pegangan hidup mereka. Padahal pegangan hidup itulah yang bakal menyelamatkan mereka, baik dari dunia ini maupun nanti di kehidupan selanjutnya. Pegangan itulah yang disebut Al Qur’an dan As Sunnah.

Rasululloh Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Aku tinggalkan kalian dalam keutamaan dan kemuliaan (ajaran agama) yang terang-benderang, malamnya seterang siangnya, dan tiada orang yang menyimpang darinya kecuali ia akan binasa.” [Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah, al-Hakim dalam al-Mustadrak dari jalan periwayatan Imam Ahmad, dan oleh Ibnu Abi Ashim dengan sanad hasan dalam kitab as-Sunnah, hadits no. 48, dengan takhrij al-Albani, dan ia mensahihkannya dengan lanjutannya. Lihat kitab al-Muntaqa min Kitab at-Targhib wa Tarhib, 1/114, hadits no. 39]

Dari Abu Najih ’Irbadh bin Sariyah rodhiallohu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati kami dengan nasihat yang menggetarkan hati dan mencucurkan air mata. Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, seperti ini adalah nasihat perpisahan, karena itu berilah kami nasihat”. Beliau bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk tetap menjaga ketakwaan kepada Alloh ‘azza wa jalla, tunduk taat (kepada pemimpin) meskipun kalian dipimpin oleh seorang budak Habsyi. Karena orang-orang yang hidup sesudahku akan melihat berbagai perselisihan, hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk (Alloh). Peganglah kuat-kuat sunnah itu dengan gigi geraham dan jauhilah ajaran-ajaran yang baru (dalam agama) karena semua bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan shahih”)

Yang akan saya bahas kali ini adalah syubhat yang dilontarkan oleh orang-orang ahlu kalam, liberal dan orang-orang yang mendukung mereka. Dan yang beberapa hal yang masyhur saat ini adalah pembahasan makna konstekstual. Mereka mengatakan bahwa dalam memahami dalil Al Qur’an dan As Sunnah itu tidaklah bersifat mutlak, tidaklah bersifat konstekstual, mereka istilahkan hal ini dengan gebyah uyah, sebuah istilah yang menerima doktrin tanpa dipikir secara akal terlebih dahulu. Sebenarnya untuk membantah hal ini cukup dengan satu kalimat singkat, “Apakah ketika disuruh untuk beriman kepada Allah kita disuruh berpikir dulu baru kemudian beriman?”

Lontaran nasehat “Jangan berpikiran secara konstekstual” ini sebenarnya ditujukkan kepada salafiyin, kepada sebuah kelompok yang mereka namakan wahabi. Dan liberalisme, pluralisme, sekulerisme dan sufisme sejak dari dulu berseberangan dengan kelompok yang mereka namakan wahabi. Jadi yang akan kita bahas di sini lebih dari sebuah pembahasan pemikiran serta meluruskan seperti apakah kita dalam menggunakan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah sehingga yang dimaksud konstekstual itu tidak bernilai negatif terhadap orang-orang awam yang tidak faham masalah agama.

Al Qur’an sebagai Kalamulloh dan Hadits sebagai Khoirul Huda

Dalam khutbatul hajat, rasululloh Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Dan sebaik-baik perkataan adalah kalamulloh, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam”. Hal ini sering kita dengar ketika kita mendengarkan khutbah Jum’at dan juga ceramah-ceramah keagamaan. Namun tanpa kita sadari kita tidak faham maksudnya, dan juga kita tidak faham bagaimana mengamalkan nasehat beliau shallallahu’alaihi wa sallam yang mulia ini.

Apabila kita beriman kepada Al Qur’an dan kepada rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam maka, kita akan dihadapkan kepada persoalan, yaitu apakah kita menganggap Al Qur’an sebagai Kalamulloh ataukah sebagai makhluk. Mereka (kaum liberal) tentu saja menganggap Al Qur’an ini sebagai makhluk. Apa buktinya mereka menganggapnya sebagai makhluk? Mereka tidak lagi menghormati kedudukan Al Qur’an sebagai Kalamullah, kita bisa melihat bagaimana mereka mengambil sebagian ayat dan kemudian ditafsirkan menurut kata hati mereka. Atau mereka menganggap bahwa Al Qur’an itu adalah sebagai sebuah kitab yang mana sebagian isinya harus mengikuti perkembangan zaman. Jadi Al Qur’an mereka anggap adalah kitab seperti Injil orang-orang Nasrani sekarang ini yang bisa berubah karena perkembangan zaman, atau seperti Tauratnya orang-orang Yahudi sekarang ini yang sebagian isinya bisa ditolak atau diganti sebagaimana tafsiran menurut rahib mereka.

Dengan kita bersyahadat Asyhadu anlaa ilaa haillallah wa ashyahadu anna muhammadan abduhu wa rasuluh maka, kita punya konsekuensi yang besar. Tidak main-main konsekuensi ini, maka dari itulah dulu ketika orang-orang kafir Quraisy dihadapkan kepada dua kalimat syahadat ini, mereka tidak mau dan hanya sebagian saja yang mendapatkan petunjuk yang mau mengucapkannya dan masuk kepada Islam. Dengan bersyahadat kalimat tauhid, maka kita beriman kepada Allah, menunggalkan Allah dalam segala bentuk peribadatan, hanya mengagungkan-Nya, hanya memohon kepada-Nya, hanya bersujud kepada-Nya, dan hanya menghinakan diri kepada-Nya. Sehingga kita siap terhadap apa yang diaturnya, kita siap terhadap apa yang diperintahkan-Nya, kita siap terhadap apa yang diberikan Allah, kita juga siap terhadap konsekuensi apabila kita menentang perintahnya, yaitu siap menerima hukum Allah di dunia, dan siap mengikuti seorang manusia yang menjadi rasul yang membawa risalah untuk manusia. Sedangkan konsekuensi syahadat kedua adalah penyempurna dari syahadat yang pertama, yaitu mengambil seluruh syariat dari rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam, tidak menganggap rasul sebagai tuhan, tidak mengangkatnya sampai kepada derajat ketuhanan, meyakini apa yang dibawanya, membela ajarannya, membelanya baik dengan harta ataupun nyawa, dan apapun yang beliau sampaikan maka kita tunduk dan patuh seratus persen kepada beliau.

Inilah kekuatan Islam, inilah inti kekuatan Islam itu, yang apabila manusia lepas dari pemahaman ini, ataupun tidak faham terhadap masalah syahadat ini niscaya sia-sialah amalannya. Ibaratnya mereka mengetahui nama-nama arah mata angin utara, timur, barat, dan selatan, tapi tidak tahu yang mana utara, timur, barat dan selatan.

Namun, ternyata JIL berkata lain terhadap syari’at yang dibawa oleh Allah dan rasul-Nya ini. Bagi JIL dengan manusia menyerahkan setiap masalah kembali kepada syari’at agama, maka hal itu adalah kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi adalah cara untuk lari dari masalah. Sebagaimana tulisan Ulil Abshar Abdalla sebagai berikut:

Pandangan bahwa syari’at adalah suatu “paket lengkap” yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah salah satu bentuk kemalasan berpikir atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah, sebentuk eskapisme, inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana.” (Islam Liberal & Fundamental hal. 13).

Ini adalah hal pertama yang saya bahas. Pemikiran JIL di atas sangat berbahaya dan tidak sepantasnya hal itu diucapkan oleh seorang muslim yang sholat, yang faham terhadap syari’at, yang faham bahwa Allah adalah tempat bergantung.

Kita jawab tulisan Ulil tersebut dengan firman Allah:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَد

اللَّهُ الصَّمَدُ

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Artinya:”Katakanlah: Dia-lah Allah Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Dan tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada satu makhluk pun yang setara dengan Dia”. [Q.S. Al Ikhlash]

Sebenarnya cukup firman Allah itu yang menjawab tulisan Ulil. Namun akan saya perjelas lebih lanjut lagi. Apabila kita menganggap bahwa Al Qur’an hanyalah doktrin, hanyalah sebuah konstekstual yang tidak mungkin diterima gebyah uyah begitu saja, maka sudah barang tentu hal ini salah. Allah menurunkan ayat-ayat yang muhkamat dan ayat-ayat yang mutasyabihat. Adapun ayat-ayat muhkamat, maka ayat-ayat tersebut bisa langsung dipraktekkan dan bisa langsung difahami. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang tidak bisa ditafsiri secara langsung, tidak bisa difahami, dan perlu kita bertanya kepada orang yang tahu yaitu rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam sebagai pembawa syari’at untuk menjelaskannya, maka dari itulah ada hadits sebagai penjelas dan penafsir dari ayat-ayat tersebut. Adapun ayat-ayat yang tidak dijelaskan oleh rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam tafsirannya, maka dikembalikan lagi kepada Allah Azza wa Jalla, sebagai yang menurunkan firman-Nya.

Dan tidaklah seluruh permasalahan yang ada di dunia ini melainkan semuanya sudah terjawab di dalam kitab yang mulia ini. Di ayat kedua surat Al Ikhlash, Allah berfirman bahwa Dia adalah Dzat yang tempat bergantung segala sesuatu. Setiap makhluk yang bernafas, mereka pasti butuh oksigen, setiap manusia pasti membutuhkan rizki, yang mana hal itu diberikan oleh Allah secara cuma-cuma, dan setiap makhluk pasti punya masalah, dan cara untuk mengatasi persoalan masalah itu sudah barang tentu Allah juga yang tahu solusinya. Maka dari itulah Allah menurunkan firman-Nya, mengutus seorang rasul, sehingga manusia diberikan jalan, ditunjukkan jalan yang benar sehingga bisa selamat baik dunia maupun akhirat. Mustahil Allah membiarkan hamba-Nya melalang buana di dunia ini tanpa diberikan petunjuk untuk mengatasi segala persoalan yang mereka hadapi. Manusia diberikan akal untuk berfikir, namun akal manusia tersebut terbatas, akal bukanlah dewa yang harus dipuja dan disembah. Akal manusia terbatas, pada hal-hal yang dilihat dan dirasakan oleh panca indera. Sedangkan apa yang diketahui oleh Allah adalah melebihi apa yang bisa dilihat dan dirasakan oleh panca indera manusia. Maka dari itulah orang yang menjadikan syari’at agama sebagai solusi atas berbagai masalah, maka dia lebih berakal daripada ahlu akal. Inilah kehebatan Al Qur’an sebagai Kalamullah dan Hadits sebagai sebaik-baik petunjuk.

Maka dari itulah Allah menurunkan banyak sekali syari’at untuk bisa mengatasi setiap persoalan yang dihadapi manusia. Misalnya, ketika seseorang ingin dipanjangkan umurnya, maka Allah dan rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita silaturahim, apabila suatu daerah tidak pernah turun hujan dan kekeringan, maka Allah menurunkan solusinya yaitu sholat minta hujan, apabila penduduk di suatu negeri banyak yang miskin, maka Allah menurunkan solusinya, yaitu berzakat, berinfaq, bershodaqoh. Apabila ada seseorang mengidap penyakit, syari’at yang mulia ini pun telah menurunkan obatnya, banyak sekali riwayat-riwayat yang menjelaskan bagaimana mereka bisa sembuh dengan ruqyah dengan ayat-ayat Al Qur’an, ataupun do’a-do’a yang diajarkan oleh rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam, atau dengan tibbun nabawi, seperti madu, habatus saudah, dan sebagainya. Inilah syari’at Allah yang maha luas. Kalau kita tidak bergantung kepada Allah terhadap masalah-masalah yang kita hadapi, lalu apakah kita harus berpikir sendiri terhadap diri kita, sedangkan kita sendiri adalah orang lemah? Manusia itu lemah, akal mereka terbatas, dan tentu saja membutuhkan tempat bergantung dalam setiap persoalan. Dan tidak ada tempat yang lebih baik untuk bergantung selain kepada Allah.

Salahkah Kembali kepada Memahami Ayat Secara Konstekstual

Pertama, kita lihat dulu maksud konstekstual ini. Apabila maksud konstekstual ini taqlid kepada salah seorang ulama, taqlid kepada orang-orang tertentu, atau golongan tertentu sudah barang tentu hal ini salah kaprah. Kedua, apabila maksud dari konstekstual ini adalah memahami Al Qur’an dan Al Hadits sesuai dengan pemikiran masing-masing dan tidak kembali kepada ayat-ayat Allah dengan pemahaman salafush sholeh, ini juga salah dan bisa menyesatkan. Ketiga, apabila maksud dari konstekstual ini adalah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam dan para shahabatnya, dan juga generasi yang mengikuti mereka, serta orang-orang beriman yang mengikuti mereka dengan baik, maka sudah barang tentu tuduhan konstekstual apabila dialamatkan kepada kelompok yang ketiga ini sangat salah besar.

Nyatanya tuduhan konstekstual itu selalu dialamatkan kepada wahabi atau salafiyin. Orang-orang liberal, dan orang-orang yang sefaham dengan mereka mengatakan bahwa wahabi atau salafiyin hanya memahami ayat-ayat secara ortodoksi, secara konstekstual, sehingga mereka tidak berkembang, mereka berpikir kuno dengan cara mengembalikan Islam seperti pada zaman shahabat. Orang-orang liberal menganggap hal ini salah, tapi mari kita bahas persoalan yang besar ini.

Al Qur’an dan Al Hadits adalah wahyu. Sebab wahyu itu ada dua, yaitu:

1. Wahyu yang berbentuk teks dan kandungannya merupakan firman Allah Subhanahu wa ta’alaa, dan wahyu inilah yang dimaktub dalam Al Qur’an Al Kariim.

2. Wahyu yang kandungannya dari Allah Subhanahu wa ta’alaa, namun teks yang memuatnya diserahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam.

Allah Subhanahu wa ta’alaa berfirman:

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُون

artinya:”Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” [Q.S Al Baqarah: 151]

Ibnu Katsir rahimahulloh ketika menafsiri ayat ini berkata, “Allah Ta’ala mengingatkan hamba-hamba-Nya akan kenikmatan-Nya yang telah dilimpahkan kepada mereka; berupa diutusnya Nabi Muhammad shollallahu’alaihi wasallam kepada mereka. Beliau membacakan kepada mereka ayat-ayat yang jelas kandungannya, dan beliau juga mensucikan diri mereka dari perangai yang hina, kepribadian yang kotor, dan perilaku orang-orang jahiliyyah. Sebagaimana beliau juga telah membawa mereka keluar dari kegelapan menuju kepada cahaya, mengajarkan kepada mereka Al Kitab yaitu Al Qur’an, Al Hikmah yaitu As Sunnah, dan mengajarkan kepada mereka apa-apa yang sebelumnya tidak mereka ketahui. Dahulu mereka berada dalam kegelapan jahiliyyah, berperilaku bodoh, kemudian mereka berubah –berkat risalah dan kenabian dan menjadi berkepribadian para wali dan bertingkah laku para ulama’. Dengan demikian mereka telah menjadi orang yang paling dalam ilmunya, baik hatinya, jauh dari sikap mengada-ada, dan paling jujur ucapannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/195-196).

“Diriwayatkan dari sahabat Miqdan bin Ma’dikarib rodiallahu ‘anhu ia menuturkan: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ketahuilah bahwa aku telah diberi (diturunkan kepadaku) Al Kitab dan yang serupa dengannya (yaitu As Sunnah) bersamanya, Ketahuilah bahwa aku telah diberi (diturunkan kepadaku) Al Qur’an dan dan yang serupa dengannya (yaitu As Sunnah) bersamanya. Ketahuilah bahwa tak lama lagi akan ada orang yang bersila diatas balai-balai dan ia dalam keadaan kenyang, berkata:‘Hendaknya kamu mengikuti Al Qur’an (saja) sehingga apa yang kamu dapatkan di dalamnya halal, maka halalkanlah, dan apa yang kamu dapatkan diharamkan di dalamnya, maka haramkanlah.’” (HSR Ahmad dan Abu Dawud)

Dan seluruh para ulama ahli ushul dan fiqih telah sepakat bahwa Al Qur’an dan As Sunnah adalah satu sumber hukum yang mana keduanya adalah wahyu dan harus dita’ati. Maka dari itulah Allah menyuruh umat islam menjadikan rasululloh Shallallahu’alaihi wa sallam sebagai suri tauladan yang baik. Sebab mustahil orang yang punya salah, bisa salah karena ucapan dan perbuatannya dijadikan sebagai suri tauladan. Inilah mukjizat Al Qur’an yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam. Ia dilindungi oleh Allah atas segala kesalahan, dan bagi siapa yang mengikutinya akan ada jaminan syafa’at darinya, dan akan dimasukkan ke dalam umatnya, dan berakhir di dalam jannah.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

artinya:”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [Q.S. Al Ahzab: 21]

Dan setiap orang pasti perkataannya bisa ditinggalkan ataupun diterima, selain nabi Shallallahu’alaihi wa sallam. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu:

Tiada seorang pun melainkan perkataannya diterima dan sebagian lain ditolak, selain Nabi Shalalllahu’alaihi wa sallam” [ Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Al Kabir]

Mari kita lihat tulisan Ulil berikut:

Islam yang diwujudkan di madinah partikular, historis, dan kontekstual, sempurna untuk ukuran zamannya, tapi tidak sempurna untuk ukuran saat ini. Kita tidak bisa menerapkan apa saja yang diterapkan pada masa itu. Makanya, Islam pada masa Nabi one among others. Artinya, satu di antara kemungkinan untuk menerjemahkan Islam di muka bumi.” (Islam Liberal & Fundamental, hal. 246).

Di sana jelas sekali pernyataan Islam liberal yang menuduh bahwa apa yang diperjuangkan oleh rasululloh Shallallahu’alaihi wa sallam, apa yang telah beliau korbannya harta dan darahnya, hanyalah satu dari bentuk Islam yang sebenarnya. Dan dikatakan apa yang beliau perjuangkan bukanlah Islam yang universal. Nanti akan kita bahas, kita perjelas saja maksud dari tulisan-tulisannya. Di tulisannya yang lain:

Nabi itu manusia biasa, tetapi diberi kelebihan oleh Allah. Dia itu aktor sosial yang menghendaki perubahan, seperti para pemimpin revolusi di dunia. Ia membangun idealisme, tapi tak semuanya bisa terwujud, karena struktur sosial tak bisa diubah sepenuhnya.” (Islam Liberal & Fundamental, hal. 246).

Di sini sudah jelas bahwa Ulil, mengatakan bahwa nabi itu hanya aktor sosial, dan menyamakan nabi shallallahu’alaihi wa sallam seperti pemimpin-pemimpin revolusi lainnya, baik yang kafir ataupun muslim. Dan ini jelas sekali terlihat dari tulisannya yang berikut:

Menurut saya: Rasul Muhammad Saw adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).” (Idem hal 9-10).

Kita bahas dulu pernyataan mereka di atas. Di awal kita telah bahas bahwasannya Al Qur’an adalah Kalamulloh, dan Hadits adalah wahyu kedua, sehingga rasululloh Shallallahu’alaihi wa sallam adalah seorang panutan yang wajib bagi setiap muslim untuk mengikuti perintah beliau. Dan Allah juga telah memfirmankan di dalam kitab yang mulia tentang Rasul sebagai Uswatun Hasanah. Dari sini tentu saja, kedudukan rasululloh Shallallahu’alaihi wa sallam, selain sebagai seorang hamba, beliau mempunyai kelebihan, mempunyai keistimewaan, tidak bisa disandingkan dengan orang-orang kafir, tidak bisa disetarakan dengan pemimpin revolusi.

Rasululloh Shallallahu’alaihi wa sallam berjuang, berdakwah untuk rabb semesta alam. Beliau tidak minta upah, beliau juga tidak pernah menginginkan kedudukan, beliau juga tidak pernah menginginkan wanita, beliau adalah orang yang paling ikhlash di muka bumi ini dalam berdakwah. Beliau juga tak butuh pengikut ataupun prajurit untuk berjuang, beliau tunduk pada aturan dan pada perintah Allah, dan dengan perkataannya yang baik itulah akhirnya banyak orang yang datang sendiri kepada beliau shallallahu’alaihi wa sallam, dan dengan mukjizat yang dibawa oleh beliaulah akhirnya banyak orang yang mendapatkan petunjuk.

Dan agama Islam, bukanlah sebuah agama mitos. Agama Islam itu adalah wahyu. Justru, kalau menganggap bahwa rasululloh Shallallahu’alaihi wa sallam hanyalah sebuah mitos, yang kita tahu sendiri apa itu definisi mitos, maka orang tersebut kalau tidak kafir ia pasti munafiq. Dengan menuduh rasululloh Shallallahu’alaihi wa sallam banyak kekurangannya, maka sudah pasti ia juga menuduh agama Islam ini ada kekurangannya. Padahal telah jelas dan Allah telah berfirman bahwa agama Islam yang beliau dakwahkan ini telah sempurna dan Allah telah memfirmankannya dalam sebuah ayat di surat Al Maidah ayat 3.

Diriwayatkan dari Imam Bukhari dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu’anha:

Rasululloh Shallallahu’alaihi wa sallam sering sholat malam, sampai kaki beliau bengkak. Aku bertanya, “Wahai rasululloh, kenapa engkau melakukan ini padahal Allah telah mengampuni dosamu sebelum dan setelahnya?”. Rasululloh menjawab, “Apakah aku tidak pantas menjadi seorang hamba yang bersyukur?”.

Kita sebagai umat Islam harus mengakui bahwa rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam adalah sebaik-baik panutan. Namun tidak boleh mengangkatnya sampai kepada derajat ketuhanan. Beliau adalah hamba Allah yang paling mulia, dan tinggi derajatnya, namun kita tidak boleh menyamakan beliau seperti diri kita, dan orang lain. Beliau adalah manusia yang dijaga, sebab apabila beliau melakukan kesalahan, maka beliau ditegur oleh Allah dan teguran itu menjadi syari’at. Kemudian apabila beliau hendak berbuat yang dilarang Allah langsung menegurnya agar tidak berbuat demikian dan beliau langsung patuhi, sedangkan apabila beliau berkata sesuatu dan Allah mendiamkannya, maka menjadi syari’at, demikian juga ketika salah seorang shahabat melakukan sesuatu yang beliau mendiamkannya, maka itupun menjadi syari’at. Sehingga tiada satupun titik celah beliau berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri, dan tiada satupun titik celah beliau berbuat dosa, karena setiap langkah beliau terjaga.

Apakah rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam harus dikritisi dengan orang setingkat Ulil padahal beliau adalah satu-satunya orang yang harus diterima segala perkataannya? Ataukah kita yang sholat malam saja jarang, bahkan tidak pernah mungkin. Apakah kita yang sholat saja belum benar, puasa sunnah saja kadang-kadang, baca Al Qur’an saja mungkin masih kalah daripada baca koran mau mengkritisi rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam? Ataukah orang-orang seperti Ulil yang makan dari FTA-nya yahudi yang pantas untuk mengkritisi rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam?

Kita umat Islam, kalau kita taqlid kita hanya taqlid kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa yang dari Allah dan Rasul-Nya, maka kita terima, dan apa yang dilarang dari Allah dan rasul-Nya, maka kita tinggalkan. Inilah jalan Islam yang benar dan lurus, bukan jalan yang sesat.

Satu lagi kesesatan mereka adalah mengatakan bahwa nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam bukanlah nabi penutup. Sebagaimana tulisan Ulil berikut:

Nabi Muhammad sebagai ‘khatiman Nabiyyin’ seperti disebut dalam Al Qur’an tak diartikan sebagai penutup para nabi. Yang lebih tepat maknanya cincin. Ibarat jari diantara jari-jari lainnya, maka jari yang memakai cincin begitu diistimewakan, Karena itu sejarah kenabian akan tetap berlangsung setelah wafatnya Rasulullah.” (Islam Liberal & Fundamental, hal. 244).

Darimanakah penafsiran ini, kalau tidak dari akal mereka? Jelas sekali bahwa kaum liberal mendukung nabi palsu, mendukung orang seperti Musailamah Al Kadzab, maka dari itu ketika dulu ada nabi palsu (Al Qiyadah Al Islamiyah) maka merekalah golongan yang pertama kali membela nabi palsu ini. Juga kita lihat bagaimana komentar-komentar mereka terhadap Ahmadiyah. Kita semua tahu bahwa Ulil bukan ahli hadits, ia juga bukan ahli tafsir, dan ia juga bukan nabi, maka dari itu apa yang ia katakan sudah pasti bisa tertolak, dan salah satu yang ditolak adalah apa yang ia tulis di atas.

Khotaman nabiyyin sudah pasti maksudnya adalah penutup nabi. Dan ia mengingkari hal ini sebagaimana tulisannya yang lain:

Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah ‘proses’ yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah ‘lembaga agama’ yang sudah mati, baku, jumud, dan mengukung kebebasan. Ayat “inna al dina ‘inda allah al Islam (QS 3:19), lebih tepat diterjemahkan sebagai: ‘Sesunguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses yang tak pernah selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar).’” (Idem hal. 15).

Bagi saya, wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi, wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia.” (Idem, hal. 10).

Dalam masalah wahyu, sudah dibahas di atas. Dan wahyu sudah berhenti sejak rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam wafat. Sejak beliau wafat, maka tiada satupun wahyu yang turun, kenabian telah berakhir dan apabila mengingkari hal ini ia sama saja mengingkari hari kiamat. Salah satu rukun Iman adalah mengingkari hari kiamat. Sedangkan salah satu tanda-tanda hari kiamat adalah dengan diutusnya nabi terakhir, penutup dari semua para nabi, dan juga dengan wafatnya beliau shallallahu’alaihi wa sallam maka tanda-tanda kiamat sudah ada. Kalau ini diingkari, maka sudah pasti JIL mengingkari juga hari kiamat.

JIL yang mengatakan bahwa Islam ini adalah universal, universal yang mereka maksudkan adalah universal yang menolak syari’at. Padahal di Al Qur’an sudah jelas syari’at-syari’at yang harus diikuti, juga dalam hadits-hadits nabi, namun mereka berkata lain soal ini:

Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh: soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab.” (Islam Liberal & Fundamental, hal. 8, baca juga hal. 12, 14 & 245).

Mereka menganggap bahwa jilbab, jenggot, qishash, ataupun rajam adalah budaya arab. Padahal budaya dengan syari’at itu adalah dua kata yang berbeda. Budaya adalah buatan manusia, sedangkan syari’at adalah sesuatu yang turun dari wahyu. Dan Islam menerima setiap budaya manusia, asalkan budaya itu tidak bertentangan dengan Islam. Dan syariat jenggot, jilbab, qishash, potong tangan, rajam, itu adalah syari’at yang sudah ada ketetapannya dan akan berlaku sampai nanti hari akhir. Inilah Islam yang sebenarnya, bukan Islam buatan mereka.

JIL juga berpendapat, bahwa agar pendapat mereka tidak ditentang, mereka mengangkat isu kesederajatan sosial. Sebagaimana tulisan mereka:

Setiap doktrin yang hendak membentuk tembok antara ‘kami’ dan ‘mereka’ antara hizb Allah (golongan Allah) dan hizb syaithan (golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, antara ‘Barat’ dan ‘Islam’; doktrin demikian adalah penyakit sosial yang akan menghancurkan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu.” (Idem, hal. 14).

Islam menganggap dua orang itu saudara, apabila keduanya bersyahadat, satu agama, dan tunduk di bawah hukum Allah. Apabila mereka tidak bersyahadat, satu agama dan tidak menjalankan syari’at-syari’at Allah, maka mereka bukanlah Islam, bukan saudara. Maka pantaslah apabila budaya barat yang banyak bertolak belakang dengan syari’at Islam itu dikatakan sebagai salah satu bentuk hizb syaithon.

اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ أُولَئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ أَلا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُون

artinya: “Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan setan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan setan itulah golongan yang merugi.” [Q.S. Al Mujadillah : 19]

Ini bukti bahwa JIL adalah hizb syaithan, sebab apa yang mereka lakukan berusaha untuk memalingkan manusia dari jalan Islam yang benar, mereka berusaha dengan dana-dana dari orang-orang yahudi (sebut saja FTA) berusaha memalingkan manusia kepada ajaran Islam versi mereka. Dan mereka tidak sungkan-sungkan menampakkan tanduk setan mereka ketika memproklamirkan diri bahwa seluruh agama itu benar. Sebagaimana yang ditulis oleh Ulil:

Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan: semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti ini, jalan panjang menuju Yang Maha Benar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam keluarga besar yang sama, yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.” (Idem, hal. 15).

Umat Islam harus berijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. “Islam”nya Rasul di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka Bumi.” (Idem, hal. 10).

Untuk membantah dua paragraf ini Allah telah berfirman dalam sebuah kalimat yang singkat, padat dan jelas, firman Allah tersebut adalah:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

artinya: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku atas dirimu, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu”. [Q.S. Al Maaidah ayat 3]

Islam adalah satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah. Islam adalah satu-satunya agama yang bakal membawa manusia kepada jalan yang benar, pada keselamatan. Dan Islam ini sudah sempurna, tidak perlu kita melihat Islam-islam yang lain. Apa yang diperjuangkan oleh para shahabat, apa yang telah diperjuangkan oleh para ulama, mereka semua sudah menjelaskan kepada kita bahwa Islam itu sempurna, tidak perlu mencari Islam yang lain, dan inilah bukti bahwa tidak perlu formula baru untuk menerjemahkan nilai-nilai yang ada di dalam Islam.

Kalau ada orang yang membenci ahli hadits, ada yang membenci hadits, maka mereka bukanlah golongan ahlussunnah. Imam Ahmad rahimahulloh ketika ditanya siapakah ahlussunnah, beliau mejawab, “Selain ahli hadits aku tidak tahu.”

Apa itu JIL? Mereka bukanlah ahli hadits, mereka malah orang yang paling membenci hadits di dunia ini. Memang dalam tulisan mereka menggunakan sepenggal hadits, tapi setelah itu mereka banyak mengingkari. Mereka berusaha mengingkari sebuah ayat dengan ayat, ayat mereka lawan dengan hadits, hadits mereka lawan dengan ayat-ayat Al Qur’an. Sungguh mereka telah membalik agama ini, dan mereka suatu saat akan dibalik sendiri oleh Allah.

Seandainya JIL mengatakan bahwa semua agama itu benar. Lalu kenapa mereka lebih membanggakan ajaran Nasrani atau katholik?

Jadi, Islam bukan yang paling benar. Pemahaman serupa, terjadi di Kristen selama berabad-abad. Tidak ada jalan keselamatan di luar gereja. Baru pada 1965 masehi, Gereja katolik di Vatikan merevisi paham ini. Sedangkan Islam yang berusia 1,423 tahun dari hijrah nabi, belum memiliki kedewasaan yang sama seperti Katolik.” (Idem, hal. 247).

JIL berusaha menutupi kemajuan-kemajuan yang ada pada diri Islam. Padahal kemajuan-kemajuan Islam itu terjadi sudah lama, banyak shiroh-shiroh yang menceritakan kemajuan Islam. Sebagaimana ilmuwan Al Jabbar, dengan aljabarnya, juga sebagaimana kemajuan yang dicapai umat Islam ketika menguasai banyak ilmu-ilmu, itu semua karena umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang benar. Yaitu jalan rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam dan jalan para shahabat.

Sekarang kita lihat bagaimana umat Islam bisa hancur. Kita masih ingat bagaimana sejarah orang-orang Tar-tar menyerang Baghdag. Mereka membakar kitab-kitab umat Islam, mereka menyebrang sungai Eufrat dan Trigis dengan menenggelamkan buku-buku umat Islam sampai-sampai seekor kuda bisa berjalan di atas tumpukan buku-buku itu. Dan di dalam sejarah sungai Eufrat dan Trigis itu sampai berwarna hitam karena tinta. Itu semua karena orang-orang munafik, orang-orang munafik yang berkhianat kepada Islam, mereka gila harta, gila kekuasaan, sehingga akhirnya tentara Tar-tar bisa masuk untuk menginjak-injak Islam, dan yang paling memalukan adalah manusia yang mati pertama kali adalah seorang wanita penari yang mereka menari di hadapan penguasa saat itu dengan cara terpanah.

Dan tujuan JIL sudah pasti, ingin mengaburkan manusia dari Al Qur’an dan As Sunnah. Dari jalan yang terang benderang ini kepada jalan yang gelap. Mereka ingin membutakan manusia terhadap sejarah Islam yang mulia. Kita bisa lihat bagaimana Umar bin Abdul Aziz rahimahulloh yang ia adalah seorang pembaharu, di zamannya Islam mulia. JIL hanya menunjukkan kejelekan-kejelekan Islam dan mengubur dalam-dalam segala hal-hal yang paling baik yang ada di dalam sejarah Islam. Perbuatan mereka ini sungguh merupakan perbuatan yang jahat dan buruk.

Tujuan mereka sudah pasti ada sokongan dari orang-orang kafir untuk menguasai Islam dan menghancurkannya dari dalam. Umat Islam itu kuat karena mereka kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Hal ini sudah diketahui oleh orang-orang kafir. Maka dari itulah sekarang ini umat Islam lemah dan takut karena perbuatan mereka sendiri. Berapa banyak orang yang faham terhadap agama ini sekarang? Berapa banyak orang yang menyeru kepada kebenaran?

Rasululloh Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah perbuatan fahisyah (perzinaan) merajalela di suatu masyarakat, hingga mereka berani melakukannya dengan terang-terangan, melainkan akan merajalela pula di tengah-tengah mereka berbagai wabah dan penyakit yang belum pernah menimpa umat sebelum mereka, dan tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan (berbuat curang ketika menakar dan menimbang) melainkan mereka akan ditimpa kelaparan, kesusahan dalam hidup, dan kezaliman para penguasa,dan tidaklah mereka enggan menunaikan zakat harta mereka, melainkan mereka akan dihalangi untuk mendapatkan hujan dari langit, dan kalau bukan karena binatang ternak, niscaya mereka tidak akan pernah diberi hujan.” (HR. Ibnu Majah, Al Baihaqi dan Al Hakim, serta dihasankan oleh Al Albani)

Dari hadits ini hikmah dan pelajarannya banyak yang bisa diambil. Kita lihat ketika perzinaan merajalela dan dianggap sebagai suatu kebiasaan bahkan terang-terangan dilakukan oleh sebagian manusia, Allah pun menurunkan HIV/AIDS, apakah dulu sudah ada penyakit ini? Hal ini karena manusia sudah melewati batas. Sekalipun para ahli mengatakan tentang bagaimana virus ini menular, tapi kenapa bisa ada virus ini mereka tak bisa mengetahuinya, dan Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam telah meriwayatkan jauh sebelum penyakit ini datang.

Dan kita bisa lihat apa yang ada di bangsa kita dari hadits tersebut. Kekeringan padahal di negeri yang seharusnya hujan itu datang tiap tahun, kemudian juga kita bisa melihat bencana silih berganti, kita juga melihat bagaimana kesusahan-kesusahan terus-menerus bangsa ini, semuanya sudah diramalkan oleh rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam sebelum kita lahir, sebelum kita menghirup udara bebas sekarang ini. Cara kita mengambil pelajaran adalah dengan melihat permasalahan yang ada, lalu kita membaca ayat-ayat dan hadits-hadits beliau shallallahu’alaihi wa sallam. Kemudian kita melihat bagaimana pemahaman para salafush sholeh terhadap ayat dan hadits tersebut, lalu bagaimana mereka mengamalkannya. Inilah yang benar.

Jadi konstekstual itu bukanlah sesuatu yang hina. Kalau konstekstual maksud JIL adalah menghina pemahaman orang-orang terdahulu, maka mereka adalah orang-orang mutaakhirin yang menyesatkan. Bahkan rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam sudah meramalkan bahwa orang-orang mutaakhirin itu akan lebih jauh dari Islam. Allah telah berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيم

artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”[Q.S. At Taubah : 100]

Kalau JIL menganggap bahwa konstekstual yang mereka maksudkan yaitu denga kembali kepada apa yang dibawa oleh rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam sebagaimana yang difahami oleh orang-orang generasi awal adalah salah, maka mereka harus membuat ayat baru di dalam Al Qur’an yang mengatakan bahwa orang-oarng terdahulu yang masuk Islam, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak perlu diikuti lagi. Bagi saya, JIL bukanlah bagian dari Islam. Ia hanya mengambil kata Islam untuk meluluskan niatnya menyesatkan orang-orang Islam. Banyak orang-orang yang sudah tersesat dengan pemikiran mereka dan pemahaman mereka. Dan banyak juga para ulama baik para ulama yang ada di MUI, maupun di belahan lain di bumi ini, mereka selalu memfatwakan akan bahayanya pemahaman sekulerisme, pluralisme dan liberalisme.

Kesimpulan

Dengan kita kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah sebagai pemahaman yang benar, maka kita bukan berarti melakukan perbuatan yang salah. Justru mereka yang menuduh kita terlalu ortodok, kita terlalu dipermak oleh doktrin-doktrin “Terima dan amalkan” merekalah sebenarnya yang tidak faham terhadap agama ini dan ingin menjerumuskan manusia-manusia yang miskin ilmu dan orang-orang awam khususnya. Orang-orang yang mereka tidak pernah ngaji, tidak pernah tahu Islam, bahkan mereka yang setiap hari disuguhkan terhadap realita, terhadap ilmu-ilmu selain dari Islam akan manggut-manggut saja menerima apa yang dikatakan oleh JIL. Berbeda dengan mereka yang telah diberi hidayah oleh Allah, yang selalu mengkaji Islam dari buku-buku para ulama, dari pakar-pakar Islam yang sebenarnya, bukan dari JIL, maka mereka akan melihat banyak sekali kegoncangan yang ada pada pemikiran JIL. Dan hal terbesar yang didakwahkan oleh JIL adalah, jangan lagi menjadikan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai pedoman hidup, berpikirlah dengan metode sendiri tapi menggunakan nama Islam, sehingga manusia lambat laun akan mengatakan bahwa dengan kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan manhaj yang dibawa oleh para shahabat adalah sebuah metode yang usang.

Saya seringkali menahan amarah ketika melihat bagaimana orang-orang liberal yang mejadi bintang tamu di sebuah acara, baik itu acara seminar, atau diskusi kemudian mendatangkan pihak dari MUI, yang kita tahu secara jelas seolah-olah moderator mereka mengalahkan orang-orang yang berpihak kepada yang benar dan melawan liberal. Sungguh mereka (kaum liberal) akan terus berbuat kerusakan, namun mereka akan mengingkari dengan mengatakan “sesungguhnya kami berbuat perbaikan”. Hal ini sebagaimana mana yang telah kita ulas di bahas tentang tulisan-tulisan mereka dan Allah berfirman khusus mengenai orang-orang yang mengatakan perbaikan tapi sebenarnya mereka merusak,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونأَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُون

artinya: “Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” [Q.S. Al Baqarah: 11-12]

Allah memasukkan golongan seperti ini kepada orang-orang munafik. Dan mungkin ada benarnya bahwa JIL adalah orang-orang munafik. Secara dzahirnya memang mereka demikian. Semoga Allah melindungi kita dari kesesatan yang mereka ada-adakan, dan menjaga kita semua di atas jalan lurus yang telah ditunjukkan oleh para nabi dan rasul.

Allahua’lam bishawab.

Leave a comment