Menikahi Wanita yang Hamil Karena Zina

Oleh Abu Al Jauza hafizhahulloh.

Apa yang saya tuliskan di sini terutama sekali bersumber pada kitab yang berjudul : Ahkaamul-Mar’atil-Haamil karya Yahya Yahya bin ’Abdirrahman Al-Khathiib, MA (yang bisa diunduh dari Maktabah Saaid – www.saaid.net/book) – diringkas. [Bagi yang punya hard copy nya, insyaAllah lebih lengkap dari versi Maktabah Saaid]. Selain itu saya tambahkan sedikit keterangan lain yang perlu.
Tentang hukum menikahi pezina, para fuqahaa berbeda pendapat menjadi tiga pendapat, yaitu :

1. Pendapat Pertama

Sesungguhnya tidak ada kemuliaan/kehormatan atas perbuatan zina tentang kewajiban ber-’iddah darinya (maksudnya : wanita tersebut dapat langsung dinikahi). Sama saja, apakah ia hamil atas perbuatan zinanya atau tidak. Dan juga sama saja apakah wanita tersebut telah bersuami sehingga si suami tersebut boleh langsung mencampurinya; atau tidak mempunyai suami sehinga diperbolehkan bagi laki-laki yang menzinahinya atau selainnya untuk menikahinya, baik ia dalam keadaan hamil atau tidak. Akan tetapi, jika wanita tersebut hamil, maka dimakruhkan bagi suaminya (atau orang yang menkahinya) untuk mencampurinya hingga ia melahirkan. Ini adalah madzhab Syafi’iyyah [Asy-Syarbini, Mughnil-Mughtaj 5/84].

Dalil yang mereka jadikan sandaran adalah :

a) Firman Allah ta’ala :

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ

”Dan dihalalkan bagi kalian selain dari yang demikian…” [QS. An-Nisaa’ : 24].
b) Hadits ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa, bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :

لَا يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلَالَ

”Perkara haram tidak dapat mengharamkan perkara yang halal” [HR. Ibnu Majah, Kitaabun-Nikaah Baab Laa Yuharrimul-Haraamul-Halaala no. 2015; Ad-Daruquthni 3/267-268. Hadits ini dla’if sebagaimana dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Adl-Dla’iifah no. 385].

c) Ijma’ di kalangan shahabat yang membolehkannya. Telah diriwayatkan hal itu (adanya ijma’) dari shahabat Abu Bakr, ’Umar, Ibnu ’Umar, Ibnu ’Abbas, dan Jabir radliyallaahu ’anhum. Di antaranya adalah perkataan Abu Bakar :

إِذَا زَنَى رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لَمْ يَحْرُمْ عَلَيْهِ نِكَاحُهَا .

”Apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita, maka tidak diharamkan (laki-laki tersebut) untuk menikahinya” [Al-Mawardi, Al-Haawii 9/189].

وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ رَجُلًا تَزَوَّجَ امْرَأَةً ، وَكَانَ لَهَا ابْنُ عَمٍّ مِنْ غَيْرِهَا وَلَهَا بِنْتٌ مِنْ غَيْرِهِ ، فَفَجَرَ الْغُلَامُ بِالْجَارِيَةِ وَظَهَرَ بِهَا حَمْلٌ ، فَلَمَّا قَدِمَ عُمَرُ مَكَّةَ رَفَعَ إِلَيْهِ فَسَأَلَهُمَا فَاعْتَرَفَا ، فَجَلْدَهُمَا عُمَرُ الْحَدَّ ، وَعَرَضَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهُمَا فَأَبَى الْغُلَامُ .

Diriwayatkan dari ’Umar bin Khaththab radliyallaahu ’anhu : Bahwa ada seorang laki-laki menikahi seorang wanita. Lalu tinggal bersama mereka sepupu laki-laki suami dan sepupu perempuan istri. Kemudian dua orang sepupu suami istri itu berzina dan kemudian hamil. Ketika ’Umar datang ke Makkah, maka peristiwa tersebut dilaporkan kepadanya. Setelah ’Umar menanyai mereka dan mereka mengakuinya, maka ’Umar menjilidnya sebagai hukuman hadd. Kemudian (setelah itu), ’Umar menawarkan untuk menikahkan mereka, namun si laki-laki menolaknya” [idem].

وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ : أَنَّهُ سُئِلَ أَيَتَزَوَّجُ الزَّانِي بِالزَّانِيَةِ ؟ فَقَالَ : نَعَمْ ، وَلَوْ سَرَقَ رَجُلٌ مِنْ كَرْمٍ عِنَبًا ، لَكَانَ يَحْرُمُ عَلَيْهِ أَنْ يَشْتَرِيَهُ

Diriwayatkan dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma, bahwasannya ia pernah ditanya : ”Apakah boleh dinikahkan antara seorang laki-laki dan wanita yang melakukan zina ?”. Mka ia menjawab : Ya (boleh). Apa pendapatmu seorang laki-laki yang mencuri buah anggur, apakah diharamkan baginya untuk membeli buah anggur yang telah dicurinya tadi ? [idem].

2. Pendapat Kedua

Apabila wanita yang dizinai itu tidak hamil, maka dibenarkan (sah) untuk menikahinya bagi laki-laki yang menzinahinya atau selainnya. Tidak ada ’iddah bagi wanita tersebut. Hal ini merupakan kesepakatan dalam madzhab Hanafiyyah. Maka, apabila laki-laki yang menzinahi menikahi wanita itu, maka hal itu halal baginya untuk mencampurinya menurut kesepakatan madzhab Hanafiyyah. Adapun anak yang dihasilkan dari pernikahan, jika ia lahir setelah masa enam bulan dari pernikahan (maka dinasabkan kepada laki-laki tersebut). Namun apabila lahir kurang dari itu, maka anak itu tidak dinasabkan kepadanya. (Konsekuensinya), anak itu tidak mewarisi harta laki-laki tersebut, kecuali jika laki-laki tersebut berkata : ”Anak ini adalah dariku”. Ia tidak mengatakan anak tersebut dari hasil zina. Dan apabila wanita yang dizinahi itu hamil, maka diperbolehkan untuk menikahinya menurut Abu Hanifah dan Muhammad (bin Al-Hasan), akan tetapi si laki-laki yang tidak diperbolehkan untuk mencampurinya hingga wanita tersebut hinga ia melahirkan [Ibnu Hammaam, Syarh Fathil-Qadiir 3/241-242].

Munaqasyah (Pendiskusian) terhadap Dua Pendapat Di Atas

a. QS. An-Nisaa’ ayat 24 di atas masih sangat umum. Banyak ayat dan hadits yang secara khusus mengharamkan menikahi wanita pezina (yang belum bertaubat atas perbuatan zinanya) dan/atau menikahi wanita dalam keadaan hamil sebelum ia melahirkan kandungannya. Dalil-dalil ini akan disebutkan kemudian insyaAllah.

b. Hadits ’Aisyah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah adalah dla’if sehingga tidak bisa untuk dijadikan sandaran hukum.

c. Mengklaim adanya ijma’ dalam membolehkan menikahi wanita yang pezina membutuhkan penelitian yang mendalam. Klaim ini tidaklah benar, sebab beberapa shahabat menyelisihinya. Bahkan terdapat riwayat marfu’ dari Abi Hurairah radliyallaahu ’anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :

لا يَنْكِحُ الزَانِي الْمَجْلُودُ إِلا مِثْلُهُ

”Laki-laki yang telah berzina dan dijatuhi hukuman jilid (cambuk) tidak boleh menikah kecuali dengan yang semisalnya (yaitu wanita pezina)” [HR. Abu Dawud no. 2052; shahih].

Hadits ini menunjukkan bahwa tidak halal seorang wanita baik-baik untuk menikah dengan laki-laki pezina; atau seorang laki-laki baik baik untuk menikahi wanita pezina [Asy-Syaukani, Nailul-Authaar 6/163]. Hal itu selaras dengan firman Allah :

الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

”Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin” [QS. An-Nuur : 3].

d. Dalil-dalil yang dipakai oleh madzhab Hanafiyyah dalam menghalalkan menikahi wanita pezina adalah sama dengan dalil yang dipakai oleh madzhab Syafi’iyyah (yang otomatis telah terbantah).

e. Adapun dalil yang dipakai oleh madzhab Hanafy untuk melarang mencampuri wanita yang telah dinikai dan hamil dari benih orang lain sampai ia melahirkan adalah hadits Ruwaifi’ bin Tsabit Al-Anshari, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يسق ماءه ولد غيره

”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia menyiramkan air (maninya) kepada anak orang lain” [HR. Tirmidzi no. 1131; hasan].

Pendalilan ini kuat di satu sisi, namun lemah di sisi lain. Maksudnya, kuat dalam sisi pengharaman menumpahkan air mani di rahim yang telah berisi benih orang lain. Lemah di sisi pembolehan pernikahan dengan wanita tersebut sebagaimana telah disinggung dan akan dijelaskan lebih lanjut di bawah.

3. Pendapat Ketiga

Sesungguhnya wanita pezina itu tidak boleh langsung dinikahi. Dan baginya ada masa ’iddah beberapa quru’ jika ia tidak hamil, dan hingga ia melahirkan jika hamil. Apabila wanita tersebut mempunyai suami, maka diharamkan bagi si suami untuk mencampurinya sampai selesai masa ’iddah-nya beberapa quru’ atau sampai melahirkan. Ini adalah pendapat Rabi’ah, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, dan Ishaq. Dan hal itu merupakan madzhab Al-Malikiyyah dan Al-Hanabilah [Ad-Dardiir, Asy-Syarhush-Shaghiir 2/410, 2/717; Al-Bahuti, Kasysyaaful-Qinaa’ 5/83]. Menurut madzhab Malikiyyah, wanita itu harus ber-istibraa’ sebanyak tiga kali haidl, atau dengan berlalunya masa tiga bulan [Ad-Dardiir, Asy-Syarhush-Shaghiir 2/410]. Dan menurut Imam Ahmad, ia wajib ber-istibraa’ sebanyak tiga kali haidl. Ibnu Qudamah berpendapat : Cukup bagi wanita tersebut untuk ber-istibraa’ dengan sekali haidl saja. Pendapat Ibnu Qudamah ini didukung dengan dibela dengan kuat oleh Ibnu Taimiyyah. Madzhab Hanabilah menambah satu syarat tambahan untuk halalnya untuk menikahi wanita pezina, yaitu taubatnya wanita tersebut dari zina (yang telah dilakukannya) [Al-Bahuti, Al-Kasysyaaful-Qinaa’ 5/83; Ibnu Taimiyyah, Majmuu’ul-Fataawaa 32/110].

Pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat dari dua pendapat sebelumnya.

Dalil yang dipergunakan untuk membangun pendapat ini adalah :

a. Allah ta’ala berfirman :

وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

”Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” [QS. Ath-Thalaq : 4].

Pada dasarnya ’iddah dijalankan untuk mengetahui bersihnya rahim, sebab sebelum ’iddah selesai ada kemungkinan wanita bersangkutan hamil. Menikah dengan wanita hamil itu aqadnya batal, nikahnya tidak sah, sebagaimana tidak sahnya menikahi wanita yang dicampuri karena syubhat [Ibnu Qudamah, Al-Mughni 6/601-602].

b. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit Al-Anshari radliyallaahu ’anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يسق ماءه ولد غيره

”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia menyiramkan air (maninya) kepada anak orang lain” [HR. Tirmidzi no. 1131; hasan].

c. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ’anhu, bahwasannya beliau shallallaahu ’alaihi wasalam pernah bersabda mengenai sejumlah tawanan perang Authas :

لا توطأ حامل حتى تضع، ولا غير ذات حمل حتى تحيض حيضة

”Tidak boleh dicampuri wanita yang hamil hingga ia melahirkan, dan wanita yang tidak hamil tidak boleh dicampuri hingga ia haidl sekali” [HR. Abu Dawud no. 2157; shahih].

d. Hadits Abu Darda’ dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :

أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيدُ أَنْ يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوا نَعَمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لَا يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لَا يَحِلُّ لَهُ

Bahwasannya Abu Dardaa’ mendatangi seorang wanita yang tengah hamil tua di pintu Fusthath. Maka beliau shalallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Barangkali ia (Abud-Dardaa’) ingin memilikinya ?”. Mereka (para shahabat) berkata : “Ya”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sungguh aku ingin melaknatnya dengan satu laknat yang ia bawa hingga ke kuburnya. Bagaimana ia bisa memberikan warisa kepadanya seangkan ia tidak halal baginya ? Bagaimana ia akan menjadikannya pelayan sedangkan ia tidak halal baginya ?” [HR. Muslim no. 1441].

Rasulullah shallalaahu ’alaihi wasallam benar-benar mencela orang yang menikahi wanita yang sedang halal. Maka tidak diperbolehkan untuk menikahi wanita yang sedang hamil (berdasarkan riwayat ini).

e. Ibnu Mas’ud radliyallaahu ’anhu berkata :

إِذَا زَنَى الرَّجُلُ بِالْمَرْأَةِ ثُمَّ نَكَحَهَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُمَا زَانِيَانِ أَبَدًا

”Apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita, kemudian ia menikahinya setelah itu, maka keduanya tetap dianggap berzina selamanya”.

Menikah adalah satu kehormatan. Agar tetap terhormat, hendaklah seorang laki-laki tidak menumpahkan air (mani)-nya dengan cara berzina, sebab dengan cara berzina akan bercampur yang haram dengan yang halal. Akan bercampur juga air yang hina dengan air yang mulia [Al-Qurthubi, Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’an 12/170; Ad-Dardiir, Asy-Syarhush-Shaghiir 2/410,717].

f. Jika laki-laki atau wanita tersebut tidak bertaubat dari perbuatan zinanya, maka ia tetap dinamakan pezina yang diharamkan bagi seorang laki-laki dan perempuan baik-baik untuk menikah dengannya. Allah berfirman :

الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

”Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin” [QS. An-Nuur : 3].

Bila ia telah bertaubat, maka hilanglah predikat sebagai pezina [lihat Al-Mughni 6/602]. Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam telah bersabda :

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لا ذَنْبَ لَهُ

”Orang yang bertaubat (dengan benar) dari suatu dosa seperti orang yang tidak mempunyai dosa” [HR. Al-Hakim 2/349, Ibnu Majah no. 4250, dan yang lainnya; hasan].

g. Anak hasil perbuatan zina tidaklah dinasabkan kepada laki-laki manapun, baik yang menikahi ibunya atau yang tidak, baik yang menzinahi atau yang tidak. Ia dinasabkan kepada ibunya berdasarkan pendapat yang rajih. Hal ini didasarkan oleh sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :

الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ

”Anak itu bagi (pemilik) firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)” [HR. Bukhari no. 1948 dan Muslim no. 1457].

Firasy adalah tempat tidur. Maksudnya adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya. Keduanya dinamakan firasy, karena suami atau tuannya menggaulinya (tidur bersamanya). Sedangkan makna hadits di atas, anak itu dinasabkan kepada si pemilik firasy. Namun karena laki-laki pezina itu bukan suami (dari wanita yang dizinahi), maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya, dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan [Abdurrahman Ali Bassam, Taudlihul-Ahkaam 5/103].

Kesimpulan :
1. Tidak boleh bagi seorang laki-laki atau wanita yang baik-baik untuk menikah dengan laki-laki atau perempuan pezina sebelum ia taubat dari perbuatan zinanya.
2. Haram hukumnya menikahi wanita yang hamil karena zina. Berlaku ’iddah bagi wanita tersebut hingga ia melahirkan kandungannya.
3. Anak yang dilahirkan tidaklah dinasabkan kepada laki-laki manapun. Ia dinasabkan kepada ibunya.

Wallaahu a’lam.

10 Responses

  1. ass.wah jadi agak takut setelah baca artikel ini…jadi inget, begitu banyak dosa besar yg dah saya lakukan termasuk zina…saya pernah berzina dengan mantan pacar saya, tapi saya memutuskan untuk tidak berzina lagi sejak 2 tahun lalu..wlpn saya tetep pacaran sama dia…tp subhanalloh, saya ga nikah sama dia…saya bjodoh dengan laki2 lain yg sangat sholeh…saya sudah btobat, akankah Allah ampuni dosa2 zina saya??haruskah saya jujur pada suami saya, sedangkan dia benar2 sholeh tidak pernah dijamah atau menjamah perempuan…apakah Allah memberikan dia untuk saya karena Allah masih sayang sama saya???doakan semoga saya bisa jadi muslimah sholeha sejati untuk suami dan anak2 saya dan semoga Allah ampuni dosa2 saya yg telah lalu…amiiinn…jazzakumullah khairan katsiran atas masukannya..wass

  2. Allah telah menutup aibmu. Jangan kamu bongkar dihadapan suamimu. Ada hikmah kenapa Allah menutup aibmu, yaitu agar kau selalu bertaqwa kepada-Nya dan menjadi istri yang sholihah. Karena anti masih diberi kesempatan oleh Allah, maka gunakan kesempatan itu sebaik-baiknya, karena mungkin saja Allah sekarang mengampuni anti.

    Apa yang sudah ditutup oleh Allah jangan kau kuak lagi. Biarlah aib itu tersimpan dan jangan sampai ada orang lain yang tahu, sebab mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya.

    wallahu’alam bishawab.

  3. to lea
    wow…ternyata kisah kita hampir sama yahhhh…aku juga dah hampir nikah sama seseorang , tp ga pernah bhub intim ky kmu, tp, ternyata…DIA bkehendak lain, rencana pnikahan kami tadinya ptengahan tahun 2008, do u know??aku married bulan januari 2008 tapi…bukan sama orang itu, malah sama temen 1 kantorrr…Allah SWT itu Maha luas ampunanNYA, Insya Allah klo dah taubatan nasuha, pasti diampuni, kamu juga ga perlu jujur sama suami kalo kejujuran kamu itu justru akan jadi bumerang…lebih baik simpan baik2 aib kmu itu, toh DIA juga dah menutup rapat2 aib kmu kan??sekarang kamu dah punya jodoh yg terbaik drNYA, kmu harus jaga suami kmu…Intinya, jodoh itu suatu hal yg ghoib, cuma Allah aja yg tau tentang hal ini…kalo kita dah perbaiki diri, Insya Allah akan dikasih yg lebih baik juga dari Allah…sama aja kaya aku, berdoa minta yg bnilai A dari Allah, ternyata dikasih yg A Plus, alhamdulillah…jangan sedih lagi yaaa…yakin deh, Allah itu Maha Penyayang, rahmat dan ridhoNYA pun maha luas, untuk hamba2NYA yg mau brubah jadi lebih baik…amiiinn…mudah2an kita semua selalu diampuni oleh Allah dari segala dosa, salah dan khilaf yaaahh…amiin allahumma amiiinn

  4. Wah koq ngisinya sama yah? Yang atas sama yang bawah satu orang. Ini mau ngetes saya atau gimana nih?
    🙂

  5. bagaimana kalau pasangan itu dinikahkan pada bulan 6, kemudian dapat anak bulan 7 tahun yg sama? adakah pernikahan itu halal atau haram? adakah anak2 seterusnya itu anak2 halal atau anak2 haram? bagaimana kalau anak2 seterusnya itu diwalikan oleh si bapa, adakah perkahwinan anak itu sah atau tidak? jika menikahi perempuan yg hamil itu haram hukumnya, mengapa jabatan agama masih meneruskan pernikahan tersebut?

    Yang dibahas dalam masalah ini adalah “haramnya menikahkan seorang wanita yang hamil”. Dan inilah pembahasan yang sebenarnya. Baik itu dinikahkan pada bulan ke berapa pun asalkan wanita tersebut hamil maka dilarang. Dan harus ditunggu sampai anaknya lahir dulu baru dinikahkan.
    Setelah anaknya lahir baru dia boleh untuk dinikahkan. Ada beberapa hikmah yang bisa diambil dari syari’at yang tidak memperbolehkan menikahkan wanita hamil. Diantaranya adalah:
    1. Agar diketahui siapa bapak anak tersebut. Karena bisa jadi anak tersebut bukan anaknya, walaupun dengan seyakin-yakinnya hanya berhubungan dengan satu orang laki-laki. Allah Maha Berkehendak Atas Segala Sesuatu.
    2. Apabila wanita hamil tersebut bukan dihamili oleh laki-laki yang ia nikahi, kemudian bercampur, maka sesungguhnya hal ini dilarang oleh rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam. Dan tentu saja hal ini adalah perkara haram.
    3. Untuk menjaga nasab. Nasab anak dari wanita hamil tanpa ayah, maka nasabnya diberikan kepada ibunya. Contoh dalam syari’at ini ada yaitu Isa bin Maryam ‘alaihissallam. Dan apabila setelah dinikahi wanita tersebut, maka nasab anak tidak boleh diberikan kepada laki-laki yang menikahi ibunya, tetap Fulan bin Fulanah, anak bin ibu. Maka dari itulah orang-orang arab sangat menjaga nasab, terutama orang-orang Quraisy. Karena mereka keturunan nabi Isma’il ‘alaihissallam, keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihissallam. Dan sungguh ini adalah bantahan bagi orang-orang orientalis yang mengatakan bahwa di jaman jahiliyah banyak perzinaan. Justru para pembesar Quraisy sangat menghindari perzinaan dan menjaga nasab. Dan juga bantahan kepada orang-orang yang mengaku keturunan nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam. Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam tidak punya anak laki-laki yang hidup. Dan semuanya telah meninggal. Adapun beliau hanya punya anak perempuan Fathimah, dan nasab cucu beliau shallallahu’alaihi wa sallam pun bukan bin Fathimah, tapi ditujukan kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu suami dari Fathimah bintu Muhammad radhiyallahu’anha. Maka dari itu barangsiapa mengatakan “saya keturunan Muhammad” ia telah berdusta dan Allah telah menyiapkan sebuah kursi di neraka.

    Adapun yang menjadi wali dari pernikahan, ada perbedaan pendapat, ada yang mengatakan boleh ada yang mengatakan tidak boleh. Wallahu’alam bishawab.

  6. sebaiknya anda tdk prlu berkata pada suami bahwa anda pernah berzina sebelum menikah dgnnya, krn takut kan jadi bumerang buat anda seperti apa yang terjadi terhadap saya, dulu sebelum aku menikah dg suamiku aku telah mengatakan padanya bahwa aku sudah tidak suci walaupun hal itu terjadi bukan kemauanku , yach karna aku diperkosa oleh pacarku dg mencampuri obat bius kedalam minumanku., iapun menyadarinya seperti apapun keadaanku dia tetap menikahiku krena dia mencintaiku dg tulus, ikhlas..! tpi apa kenyataannya setelah kami menikah tiga bulan kemudian dia mengungkitku dia kembali kecinta pertamanya , 5 th mereka kumpul kebo, hari hariku kuisi dg berurai airmata karna tiap kali dia pulang kerumah dia selalu mencaciku bahkan tidak cukup itu diapun tidak segan selalu memukuliku, aku tak kuat dgnya aku meminta cerai, tpi dia mengancamku kalau aku minta cerai maka dia takkan segan akan menyayat nyayat mukaku, kini usia pernikahanku sudah 25 th tapi tetap dia berpetualang berzina, th 2004 aku ziarah ketanah suci tanpa suami aku didepan ka ‘bah selalu berdoa semoga Allah memberikan hidayahnya diberi kesempatan tuk bertobat, dan aku selalu memohon unk diberikan yg terbaik untuk aku & anak2ku jga keluargaku, kini aku sudah pasrah aku tinggal bertawakal pada Allah mungkin ini adalah kifarat dari dosa dosa ku yg teleh kuperbuat

  7. Jika kita tidak jujur, maka pernikahan akan jadi pertanyaan.. bukankan ketika pernikahan diadakan dulu pertanyaan “apakah anda bujang ting2/perawan ting2?”, maka jika tidak jujur… yahhhh jadi pertanyaan nikahnya..

    • Akan lebih baik jika tidak ush mengungkit2 aib yg telah kita lakukan sebab spt yg telah dikatakan abu aisyah diatas, kemungkinan Allah Ta’ala telah mengampuni dan menutup aib kita. Apa yg akan terjadi apabila anda mengungkit2 lg aib yg telah ditutup oleh Allah Ta’ala??? Tidak sukakah anda jika aib anda ditutup Allah?

      Lagian, apakah setiap mau nikah selalu diadakan dulu pertanyaan, “apakah anda bujang ting2/perawan ting2”?? Buktinya saya dulu waktu nikah ngga ditanya2 kok.

  8. bagaimana kalau anak itu menikah apa harus disebutkan namanya fulanah binti fulanah gitu pas dia ijab qabul?
    apakah seorang gadis harus jujur pada calon suaminya bahwa ibunya menikah dalam keadaan hamil??

Leave a comment