Al Hallaj tokoh Sesat Sufi yang di bunuh karena kekafirannya

Oleh: Ustadz ‘Ashim bin Musthofa

Masih ada saja muncul perbedaan dalam memandang pada sosok yang sudah jelas salah jalan ini. Di antara yang menjadi penyebabnya, adalah kedangkalan ilmu atau kekeliruan standar yang dipakai untuk menilainya. Oleh karena itu, muncul pertanyaan tentang jati diri al Hallaj, yaitu Husain bin Manshur, yang diarahkan kepada Ibnu Taimiyah rahimahullah. Apakah Husain bin Manshur ini seorang yang jujur? Ataukah ia seorang zindiq? Apakah ia seorang wali Allah, ataukah seorang yang bergelut dengan khurafat, sebagaimana para dukun? Apakah dibunuhnya dia di hadapan para ulama disebabkan kekufurannya, ataukah dibunuh dengan tanpa bukti kesalahan?

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan penyebab kekeliruan penilaian ini, yaitu: “Orang-orang yang tidak mempunyai pegangan, sulit untuk membedakan kejadian mana yang hak dan batil. Jika seorang belum tersinari hatinya dengan keimanan dan ittiba’ al haq (mengikuti kebenaran), ia tidak bisa membedakan antara jalan orang-orang yang benar dengan orang-orang batil, seperti rancunya pandangan orang-orang terhadap Musailamah (al Kadzdzab), dari Yamamah dan pendusta-pendusta lainnya yang mengaku sebagai para nabi, padahal mereka, tiada lain hanyalah pendusta.”

Awal Kehidupan Al Hallaj

Al Hallaj, tumbuh di kota Wasith. Namun ada pendapat lainnya, yaitu di daerah Tustar. Kota Baghdad pun pernah ia masuki. Dia juga kerap sekali menuju Mekkah dan menetap di Masjidil Haram. Kebiasaan yang sering ia lakukan di sana, senang menyusahkan fisiknya. Misalnya: mencari tempat duduk tanpa naungan, di tengah masjid, saat musim dingin maupun musim panas. Secara sengaja, ia juga pernah duduk di bebatuan saat panas sangat terik.

Al Hallaj sempat juga berguru pada beberapa tokoh sufi. Guru-guru tersebut, misalnya: al Junaid bin Muhammad, Amr bin ‘Utsman al Makki dan Abul Husain an Nuri. Akan tetapi, kalangan kaum sufi menampik “keanggotaan” al Hallaj menjadi bagian mereka.

Pada awalnya, ia tampak sebagai ahli ibadah dan berakhlak baik. Akan tetapi, tanpa didasari bekal ilmu. Tindak-tanduknya tidak dibangun di atas ketakwaan kepada Allah dan keridhaan-Nya. Dia pernah bertolak ke negeri India untuk mendalami berbagai macam ilmu sihir. Bahkan kemudian, ia abadikan ilmu sihirnya tersebut dalam sebuah tulisan yang disebarluaskan. Oleh karena itu, Ibnu Katsir berkata, bahwa ia lebih banyak merusak ketimbang melakukan perbaikan.

Selanjutnya, ia dirasuki ‘aqidah hulul dan ittihad (keyakinan tentang bersatunya Allah dengan makhluk-Nya). Sehingga ia pun termasuk dalam golongan orang-orang yang sesat dan menyimpang.

Banyak negeri telah ia telusuri. Dan keadaannya pun berubah total. Meski sudah jelas kesesatannya, masih saja ia mengklaim sebagai da’I di jalan Allah, dengan bekal ilmu sihir yang ia pelajari.

Karamah Palsu

Suatu ketika, ia pernah memerintahkan murid-muridnya untuk pergi ke sebuah padang untuk menyembunyikan buah-buahan dan manisan. Setelah itu, ia mengundang orang-orang yang gila dunia ke tempat yang berdekatan dengan tempat disembunyikannya buah-buahan tersebut.

Al Hallaj menawarkan kepada mereka: “Apa yang kalian inginkan untuk aku suguhkan bagi kalian di padang ini?”

Orang-orang pun menyebutkan buah-buahan dan manisan.

Maka al Hallaj segera menjawab: “Tunggu sebentar,” kemudian ia bergegas ke tempat yang telah dipersiapkan dan sekembalinya, ia membawa barang-barang yang telah ia sembunyikan atau sebagiannya. Maka orang-orang itu mengira jika buah-buahan dan manisan itu merupakan karamahnya.

Al Hallaj termasuk tokoh dari orang-orang yang menekuni “kedigdayaan setan” dan “kekuatan palsu” itu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Semakin jauh seseorang dari Allah dan Rasul-Nya serta jalan kaum mukminin, maka ia semakin dekat dengan setan. Mampu terbang di angin, padahal setanlah yang membawanya. Digdaya menghadapi banyak manusia, akan tetapi, setannyalah yang beraksi. Dapat menyuguhkan makanan dan minuman, padahal setannyalah yang melakukannya. Orang-orang jahil mengira, jika itu merupakan karamah wali Allah yang bertakwa. Padahal bersumber dari tukang sihir, dukun dan orang-orang yang sepaham dengan mereka.”

Sebagian Kekufuran Al Hallaj

Ibnu Hauqal menuliskan, al Hallaj muncul dari Persia. Dia mendalami ibadah dan thariqat sufi. Fase demi fase ia alami, sampai akhirnya ia berpandangan: “Siapa saja yang membina raganya dalam ketaatan kepada Allah, menyibukkan hatinya dengan amalan-amalan, bersabar dari kenikmatan-kenikmatan, menahan diri dari syahwat, maka ia akan melaju ke tingkat kesucian, hingga dirinya akan lepas dari unsur kemanusiaannya. Bila ia telah suci, maka ruh Allah yang dulu masuk ke Isa akan menyatu pada dirinya, hingga ia pun menjadi manusia yang ditaati, mampu berkata kepada sesuatu, ‘jadilah’, maka terjadilah (kun fayakun).”

Al Hallaj menempuh cara ini untuk mengajak manusia agar mengikutinya. Dan ia pun berhasil memikat hati sejumlah orang dari kalangan umara, wuzara (pegawai), raja-raja, orang kuat dan orang umum.

‘Amr bin ‘Ustman al Makki telah menyatakan bahwa al Hallaj seorang kafir. Ia menceritakan: “Aku pernah bersamanya. Ia pun mendengar seseorang sedang membaca Al Qur’an, maka ia berkomentar, ‘aku bias mengarang (tulisan) seperti Al Qur’an’ , atau perkataan yang mirip dengan ini.”

Dia juga pernah menuliskan sebuah surat, yang ia awali dengan Minar-Rahmanir-Rahim, ila Fulan ibni Fulan (Dari Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang untuk Fulan bin Fulan).

Orang-orang pun berkata: “Sebelumnya engkau mengaku sebagai nabi. Sekarang engkau mengaku sebagai tuhan?”

Namun al Hallaj menjawab: “Tidak demikian. Akan tetapi, itulah bentuk penyatuan yang kami lakukan. Bukankah penulisnya adalah Allah? Bukankah saya dan tangan ini hanya alat belaka?”

Hari-Hari Terakhir Kebinasaan Al Hallaj

Pemerintah pada masa itu, yang menjadi menteri adalah Hamid bin al ‘Abbas. Beliau mendengar berita, kalau al Hallaj telah menyesatkan sejumlah orang dari
kalangan pegawai kesultanan. Kabar yang tersiar, ia sanggup menghidupkan orang-orang yang sudah mati, jin menjadi pelayannya dan menyediakan apa saja yang diinginkan al Hallaj. Bahkan seseorang yang bernama Muhammad bin ‘Ali al Qana-i al Katib menyembahnya. Orang ini pun ditangkap di rumahnya dan mengaku termasuk pengikut al Hallaj. Di dalam rumahnya, dijumpai tulisan-tulisan al Hallaj yang dibuat dengan kemasan yang mewah, ditemukan pula barang-barang al Hallaj, termasuk juga kotorannya.

Selanjutnya, Hamid bin al ‘Abbas meminta Khalifah al Muqtadir Billah rahimahullah untuk menangani kasus ini. Dan akhirnya Khalifah memberikan mandate kepada Hamid untuk menuntaskannya. Maka dipanggillah para pengikut al Hallaj.

Dalam proses interogasi, terungkaplah pengakuan para pengikutnya ini, jika al Hallaj mengaku sebagai tuhan bersama Allah dan sanggup menghidupkan orang mati. Namun al Hallaj menampik tuduhan tersebut. Dia membela diri, kalau masih bertauhid, menyembah Allah, mengerjakan shalat. Lisannya bahkan selalu beristighfar. Saat itu, ia dalam keadaan dibelenggu dengan rantai dan mengenakan baju besi. Di dua kakinya terdapat tiga belas rantai. Sedangkan baju besinya sampai ke lutut, dan rantai pun menutupi lututnya.

Ulama pun dikumpulkan. Mereka sepakat jika al Hallaj telah melakukan kekufuran dan perbuatan zindiq. Dia seorang tukang sihir dan pendusta.

Di antara pengikutnya, terdapat dua orang yang bertaubat, yaitu Abu Ali Harun bin ‘Abdul ‘Aziz al Auraji dan ad-Dabbas. Dua orang ini menceritakan rusaknya keyakinan al Hallaj, dan dakwahnya yang menyesatkan manusia, berupa kedustaan, perbuatan fujur (maksiat), tipuan-tipuan dan praktek sihirnya. Istri dari anaknya, Sulaiman juga memberikan kesaksian, jika al Hallaj pernah mencoba memperkosanya saat ia tertidur. Akan tetapi, ia cepat terjaga, sehingga al Hallaj berkilah dengan berkata: “bangunlah untuk shalat.”

Di sebuah majlis terakhir yang diadakan, datanglah Qadhi Abu ‘Umar Muhammad bin Yusuf. Al Hallaj dihadapkan kepadanya. Sebuah kitab karya al Hallaj, yang diambil dari salah satu rumah pengikutnya, terdapat pernyataannya: “Siapa saja yang terlewatkan ibadah haji, hendaknya ia membangun rumah dan melakukan thawaf di sekelilingnya, sebagaimana Ka’bah, disertai bersedekah untuk 30 anak yatim dengan sedekah. Sungguh perbuatan ini telah mewakili kewajiban haji.”

Orang-orang bertanya tentang pendapatnya ini: “Dari mana engkau memperoleh pernyataan ini?”

Al Hallaj menjawab: “Dari Hasanul Bashri dalam Kitabush-Shalah,” maka Qadhi Abu ‘Umar menampiknya: “Engkau berdusta, wahai zindiq! Aku telah membaca kitab itu dan (pernyataan yang kau sampaikan) tidak ada di sana.”

Maka menteri meminta para saksi untuk mendengarkan pernyataan tersebut. Mereka pun sepakat tentang kufurnya perkataan al Hallaj, hingga kemudian sepakat menjatuhkan hukuman mati baginya.

Selanjutnya, Hamid sebagai menteri, meminta pernyataan Qadhi Abu Umar dan para ulama yang hadir saat itu, bahwa al Hallaj telah kafir. Lembaran pernyataan ini dikirimkan ke al Muqtadir Billah.

Al Muqtadir Billah rahimahullah kemudian menyerahkan eksekusinya kepada kepala syurthah (kepolisian) Muhammad bin ‘Abdish-Shamad agar mencambuknya seribu kali. Jika belum mati juga, maka dipenggal lehernya. Eksekusi itu  dilaksanakan hari Selasa tanggal 24 Dzul Qa’dah 309 H.

Menjelang eksekusi hukuman mati, al Hallaj mengalami kegelisahan. Dia pun memperlihatkan penyesalan dengan bertaubat dan berpegang dengan Sunnah, namun tidak diterima. Sekiranya ia dibiarkan hidup, tentu banyak orang jahil yang terpedaya lagi dengannya. Pasalnya, ia memiliki khaza’balat buhtaniyah (dongeng-dongeng dusta) dan ahwal syaithaniyah (keajaiban sihir). Sehingga hanya orang-orang yang terpukau dengan kejadian-kejadian aneh yang mengagungkan al Hallaj.

Hembusan Khurofat Pasca Kematiannya

Pada detik-detik kematiannya, tidak terlihat sedikitpun karamah. Apa yang didengung-dengungkan, bahwa tetesan darahnya membentuk lafazh Allah, atau sungai Tigris berhenti mengalir, atau sebaliknya, air tampak pasang dan kejadian aneh lainnya, itu hanyalah kedustaan semata.

Ibnu Taimiyah rahimahullah memberi sanggahan dengan pernyataannya: “Cerita-cerita ini tidak menjadi buah bibir, kecuali pada orang-orang yang jahil atau munafik. Para zindiq dan musuh Islam telah melakukan rekayasa, supaya tersebar opini bahwa syari’at Muhammad bin ‘Abdullah telah membunuh salah satu wali
Allah, manakala orang-orang mendengar cerita-cerita ini.

Padahal telah terbunuh banyak nabi, para pengikut dekatnya, para sahabat nabi kita, kalangan tabi’in dan orang-orang shalih lainnya yang tidak terukur jumlahnya, dan mereka meninggal oleh pedang-pedang kaum fujjar (orang-orang jahat), kuffar dan zhalim dan lainnya, akan tetapi tidak ada tetesan darah mereka yang membentuk nama Allah. Selain itu, darah hukumnya najis, maka tidak boleh dipakai untuk menulis nama Allah. Apakah al Hallaj lebih baik dari mereka itu? Apakah darah al Hallaj lebih suci dari darah mereka?”

Setelah kematiannya, ditetapkan larangan menjual atau membeli kitab-kitab karangan al Hallaj.

Begitulah akhir kehidupan al Hallaj sang pendusta. Orang ini dibunuh karena kekufurannya, dan telah terbukti melalui pengakuannya sendiri serta berdasar
kesaksian orang lain. Vonis mati dijatuhkan berdasarkan kesepakatan para ulama kaum Muslimin. Bila ada yang menilai vonis matinya tidak berdasarkan kebenaran,
kalau ia bukan seorang munafik yang mulhid, maka ia seorang jahil dhall (tak berilmu lagi sesat).

Penyebab al Hallaj dihukum mati, karena banyaknya kekufuran yang ada pada dirinya. Sebagian saja sudah cukup untuk menyeretnya dihukum mati, apalagi bila
disebutkan secara keseluruhan. Dia bukan termasuk dari kalangan orang-orang bertakwa.

Adapun para fuqaha, sudah dikutip lebih dari seorang ulama dan imam mengenai ijma’ (kesepakatan) mereka atas hukuman mati bagi al Hallaj. Dia terbunuh dalam
keadaan kafir, seorang pendusta, penipu dan tukang sihir.

Maraji’:

– Al Bidayah wan-Nihayah, Ibnu Katsir,
Takhrij Ahmad bin Sya’ban Ahmad
, Muhammad bin ‘Adi, dan Abdul Halim, Cetakan I Tahun 1422 H / 2003 M.

– Jami’ur-Rasail, Ibnu Taimiyah, Tahqiq Muhammad Rasyad Salim, dengan judul
Risalah Fil Jawabi ‘An Sualin ‘Anil Hallaji: Hal Kana Shidiqqiqan An Zindiqan, hlm 187-199.

– Taqdisul Asykhasi fil-Fikrish-Shufi,
Muhammad Ahmad Luh, Darul-Ibnil-Qayyim dan Dar Ibni ‘Affan, Cetakan I Tahun 1423 H / 2002 M.

Dikutip dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007M

DAKWAH SALAFIYYAH DAN DAULAH SU’UDIYYAH

 

Oleh

Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah

 

Dalam pembahasan yang lalu telah kami jelaskan bahwa Salafiyyah bukan suatu hizb (kelompok) atau golongan. Sesungguhnya dia adalah jama’ah yang berjalan di atas jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dia bukanlah salah satu kelompok dari kelompok-kelompok yang muncul sekarang ini, karena dia adalah jama’ah yang terdahulu dari zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berlanjut terus-menerus di atas kebenaran dan nampak hingga hari kiamat sebagaimana diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka dakwah Salafiyyah adalah dakwah kepada Islam yang murni bukan dakwah hizbiyyah. Imam dakwah Salafiyyah adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para imam yang datang berikutnya dari para sahabat, tabi’in, dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan hingga hari kiamat.

Di antara daulah yang ditegakkan atas landasan dakwah Salafiyyah adalah daulah Su’udiyyah di jazirah Arabiyyah, yang dikenal sebagai pembela dakwah Salafiyyah yang gigih sejak berdirinya hingga saat ini.

Maka daulah Su’udiyyah memiliki kehormatan sebagai pembela dakwah yang haq dan pembela para ulama Sunnah.

Usaha yang agung dari daulah Su’udiyyah di dalam mendakwahkan Islam yang haq menyejukkan mata dan membesarkan hati setiap muslim yang cinta kepada Islam yang haq, tetapi sebaliknya membuat geram dan panas orang-orang yang hatinya diselubungi oleh kebatilan dan kebid’ahan!.

Lihatlah di semua media masa sekarang, siapakah yang memusuhi daulah Su’udiyyah saat ini ? Mereka adalah gabungan dari berbagai kelompok bid’ah mulai dari Syi’ah Rafidhah, Shufiyyah, Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Quthbiyyah Ikhwaniyyah, Quthbiyyah Sururiyyah, Tablighiyyah, Hizbut Tahrir, JIL dan sederet nama-nama lainnya yang menujukkan kesesatan jalan mereka. Dari jati diri mereka dapat disimpulkan bahwa mereka memusuhi daulah Su’udiyyah bukan karena orang-orangnya, tapi karena dakwah daulah Su’udiyyah kepada manhaj Salaf.

Berangkat dari kenyataan ini, terbetik dalam benak kami untuk menyumbangkan sedikit pembelaan kepada daulah pembela dakwah Salafiyyah ini sebagai wujud loyalitas kami kepada al-haq dan ahlinya.

PERTEMUAN ANTARA DUA IMAM DAKWAH SALAFIYYAH

Membicarakan tentang dakwah Salafiyyah di jazirah Arabiyyah tidak bisa dilepaskan dari sebuah pertemuan yang bersejarah pada tahun 1158H bertepatan dengan tahun 1745M antara dua imam dakwah Salafiyyah ; Mujaddid abad ke-13H Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan amir Ar-Rasyid Muhammad bin Su’ud –penguasa negeri Dar’iyyah waktu itu dan pendiri daulah Su’udiyyah-, keduanya sepakat untuk bekerjasama mendakwahkan dakwah Tauhid –dakwah Salafiyyah- dengan segenap daya upaya. Muhammad bin Su’ud menyambut baik kedatangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di Dar’iyyah dan mengatakan kepada Syaikh : “Berbahagialah di negeri yang lebih baik daripada negerimu, dan berbahagialah dengan dukungan dan pembelaan”.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata : “Dan aku memberi khabar gembira kepadamu dengan kemuliaan dan kedudukan yang kokoh kalimat ini –Laa Ilaha Illallah- barangsiapa yang berpegang teguh dengannya, mengamalkannya, dan membelanya, maka Alloh akan memberikan kekuasaan kepadanya pada negeri dan hamba-hambaNya, dialah kalimat tauhid, yang merupakan dakwah para rasul semuanya. Engkau melihat bahwa Nejed dan sekitarnya dipenuhi dengan kesyirikan, kejahilan, perpecahan dan peperangan diantara mereka, aku berharap agar engkau menjadi imam bagi kaum muslimin, demikian juga pada keturunanmu”.

Maka Muhammad bin Su’ud berkata : “Wahai Syaikh, ini adalah agama Alloh dan RasulNya, yang tidak ada keraguan di dalamnya. Berbahagialah dengan pembelaan kepadamu dan kepada dakwah yang engkau seru, dan aku akan berjihad membela dakwah Tauhid” [Tarikh Najed oleh Husain bin Ghannam hal. 87 dan Unwatul Majd Fi Tarikhi Najed oleh Utsman bin Bisyr 1/12]

Maka mulailah kedua imam dakwah Salafiyyah tersebut beserta para pendukung keduanya menyebarkan dakwah Salafiyyah dengan modal ilmu dan keimanan, dan mengibarkan bendera jihad di depan setiap para penghalang jalan dakwah.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak henti-hentinya melancarkan dakwah kepada Alloh, mengajarkan ilmu-ilmu syar’i kepada para penuntut ilmu, menyingkap syubhat-syubhat yang disebarkan oleh orang-orang kafir, para penyembah kubur, dan selain mereka. Beliau menghasung umat agar berjihad dengan berbagai jenisnya. Beliau juga langsung turun di medan jihad berserta anak-anak beliau. Beliau tulis karya-karya ilmiah dan risalah-risalah yang bermanfaat di dalam menjelaskan aqidah yang shahihah, sekaligus membantah setiap pemikiran yang menyelisihinya dengan berbagai macam argumen, sehingga nampaklah agama Alloh, menanglah pasukan Alloh dan hinalah pasukan setan, menyebarlah aqidah Salafiyah di jazirah Arabiyyah dan sekitarnya, bertambah banyaklah para penyeru kepada kebenaran, dihapuslah syi’ar-syi’ar kebid’ahan, kesyirikan dan khurafat, ditegakkanlah jihad, dan masjid-masjid di makmurkan dengan shalat dan halaqah-halaqah pengajaran Islam yang murni. [Muqaddimah Syaikh Abdul Aziz bin Baz atas kitab Syaikh Ahmad bin Hajar Alu Abu Thami hal.4]

BERDIRINYA DAULAH SU’UDIYYAH SALAFIYYAH

Para ulama tarikh sepakat bahwa pendiri daulah Su’udiyyah (kerajaan Saudi Arabia) adalah Al-Imam Muhammad bin Su’ud, dialah yang membuat sunnah hasanah pada keturunannya di dalam membela agama Alloh dan memuliakan para ulama Sunnah. [Lihat Unwanul Majid oleh Ibnu Bisyr 1/234-235]

Dr. Munir Al-Ajlani menyebutkan bahwa pendiri daulah Su’udiyyah adalah Muhammad bin Su’ud, dengan baiatnya kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk mengikhlaskan ibadah semata kepada Alloh dan ittiba kepada hukum Islam yang shahih di dalam siyasah (politik) daulah, serta menegakkan jihad fi sabilillah. [Tarikh Bilad Arabiyyah Su’udiyyah hal. 46-47] Continue reading

Salafiyah Bukan Hizbiyah

Oleh
Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah

PERKATAAN PARA ULAMA TENTANG INTISAB KEPADA SALAF
[1]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Tidak ada cela bagi orang yang menampakkan madzhab Salaf, menisbahkan diri kepadanya, dan membanggakannya, bahkan wajib diterima semua itu darinya dengan kesepakatan ulama. Karena sesungguhnya madzhab Salaf adalah haq, jika dia sesuai dengan Salaf secara
lahir dan batin, maka dia seperti seorang mukmin yang di atas kebenaran secara lahir dan batin” [Majmu Fatawa 4/149]

[2]. Al-Hafizh Adz-Dzahabi sering menyebutkan nisbah kepada Salaf (As-Salafi) ketika menyebutkan biografi para ulama.

Ketika menyebutkan biografi Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawi dalam Siyar A’lamin Nubala (13/183) berkata : “Aku tidaklah mengetahui Ya’qub Al-Fasawi kecuali seorang Salafi”.

Ketika menyebut biografi Muhammad bin Muhammad Al-Bahrani beliau berkata : “Dia adalah seorang yang beragama baik dan seorang Salafi” [Mu’jam Syuyuh no. 843]

Ketika menyebutkan biografi Al-Imam Daruquthni beliau mengatakan ; “Dia tidak pernah masuk sama sekali dalam ilmu kalan dan jadal, bahkan dia adalah seorang Salafi” [Siyar 16/457]

Ketika menyebutkan biografi Abu Thahir As-Silafi beliau mengatakan : “As-Silafi diambil dari kata As-Salafi yaitui yang berjalan di atas manhaj Salaf”. [Siyar 2 1/6]

Ketika menyebutkan biografi Al-Hafizh Ibnu Shalah beliau mengatakan : “Dia adalah seorang Salafi, bagus aqidahnya …” [Tadzkiratul Huffazh 4/1431]
Continue reading

Pro dan Kontra Poligami-pembahasan lugas

Oleh: Abu Al Jauzaa Al Bogory

Isu poligami atau ta’adud belakangan semakin santer seiring dengan rencana perubahan perangkat peraturan perundang-undangan tentang perkawinan. Hal itu ditambah lagi dengan perkawinan kedua seorang dai kondang tanah air yang semakin memicu arus pro dan kontra di tengah masyarakat, khususnya kaum perempuan. Tentu bukan hal yang aneh jika kemudian umat Islam dan syari’at Islam menjadi target pembahasan. Bagaimana sebenarnya kedudukan poligami ini di mata masyarakat dan juga syari’at Islam ?

Wawancara-wawancara dilakukan oleh berbagai kalangan. Mulai orang ‘alim sampai orang jahil. Tapi naas, berbagai pendapat dan pandangan tersebut lebih banyak diklarifikasi oleh orang yang jahil daripada yang ‘alimnya. Maka, pendapat artis, selebritis, dan kalangan muslim yang jauh dari pemahaman dan pengamalan syari’at Islam menjadi ikon penentuan sikap dalam poligami. Sudah bisa ditebak bahwasannya ujung yang didapat adalah sikap ketidaksetujuan dan penolakan terhadap poligami. Dan diantara yang tidak setuju diantara mereka, ada kalangan “abu-abu” yang menyikapi poligami antara setuju dan tidak setuju. Poligami boleh, asal dengan alasan yang super ketat (namun mengada-ada dalam timbangan syari’at) seperti : boleh dilakukan asal si istri mandul, si istri tidak bisa melayani kebutuhan biologis suami, harus seijin istri yang pertama, “adil” dalam segala hal (cinta, kasih sayang, mobil harus sama, rumah harus sama, dan lain-lain), dan seterusnya.

Selalu saja opini tentang poligami digiring ke arah hipotesis bahwa laju poligami berbanding lurus dengan laju perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran anak, dan hal-hal negatif lainnya. Jarang rasanya kita dengar (walau kita sering melihat dan mendengar) ada orang yang memberikan contoh sebuah profil rumah tangga poligami yang sehat, syar’i, lagi Islami. Penulis mempunyai contoh tentang hal itu. Ada seorang teman yang tinggal di sebuah kota di Jawa Tengah yang mempunyai dua istri. Kedua istrinya sangat rukun. Bahkan ketika si istri kedua diajak suami pergi ke Saudi untuk mencari nafkah, anak istri kedua yang ditinggal di tanah air diasuh oleh istri pertama dengan penuh kasih sayang layaknya anak kandungnya sendiri, sampai suami istri tersebut kembali dua tahun kemudian. Kehidupan mereka sangat Islami. Anak-anak mereka didik dan di sekolahkan di sekolah-sekolah Islam. Si suami juga merupakan profil seorang suami yang bertanggung jawab. Siang hari ia bekerja keras sebagai tukang pijit dan akupresur disamping usaha sampingan lainnya. Uang hasil kerjanya alhamdulillah cukup sebagai nafkah kedua istri dan anak-anaknya.

Kiranya sedikit contoh singkat di atas menjadi perbandingan dari sebuah keluarga poligami yang syar’i (sejauh pengetahuan Penulis terhadap teman tersebut tentunya). Penulis yakin bahwa contoh-contoh seperti ini masih banyak. Kenyataan inilah yang tidak mau ditengok oleh kaum yang tidak setuju dengan syari’at poligami.

Paragraf di atas merupakan muqaddimah ringkas mengenai realita poligami yang ada di masyarakat kita. Di bawah ini akan sedikit Penulis uraikan tentang syari’at poligami dan hal-hal yang terkait dengan itu. Semoga bermanfaat.

Continue reading

17 Amalan Penghapus Dosa

Manusia pasti berbuat dosa dan pasti butuh ampunan Allah. Oleh karena itu Allah memberikan keutamaan dan kemurahan kepada hambaNya dengan mensyariatkan amalan-amalan yang dapat menghapus dosa disamping taubat. Sebagiannya dijelaskan dalam Al Qur’an dan sebagiannya lagi dalam Sunnah Rasululloh.Diantaranya sebagai berikut:

1. Menyempurnakan wudhu dan berjalan kemasjid, sebagaimana disampaikan Rasululloh:

أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَذَلِكُمْ الرِّبَاطُ

Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang dapat menghapus dosa dan mengangkat derajat. Mereka menjawab: ya wahai rasululloh. Beliau berkata: enyempurnakan wudhu ketika masa sulit dan memperbanyak langkah kemasjid serta menunggu sholat satu ke sholat yang lain, karena hal itu adlah ribath. (HR Muslim dan Al Tirmidzi).

Juga dalam sabda beliau yang lain:

إِذَا تَوَضَّأَ الرَّجُلُ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ لَا يُخْرِجُهُ أَوْ قَالَ لَا يَنْهَزُهُ إِلَّا إِيَّاهَا لَمْ يَخْطُ خُطْوَةً إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً أَوْ حَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةً

Jika seseorang berwudhu lalu menyempurnakan wudhunya kemudian berangkat sholat dengan niatan hanya untuk sholat, maka tidak melangkah satu langkah kecuali Allah angkat satu derajat dan hapus satu dosa. (HR Al Tirmidzi). Continue reading

Pembahasan Mengenai Puasa bag-1

Bismillahirahmaanirrahiim.

Alhamdulillah. Kita memuji Allah, memohon pertolongan Allah, memohon ampunan-Nya, dan berlindung kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan kejelekan amal-amal kita. Barangsiapa yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka tiada satupun makhluk yang bisa menyesatkannya, dan barangsiapa yang telah disesatkan oleh Allah, maka tiada satupun makhluk yang bisa menolongnya. Aku bersaksi bahwa tiada ilaah yang Haq untuk diibadahi melainkan Allah dan aku tidak berbuat syirik, dan Aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah utusan dan hamba Allah, dan tiada nabi setelahnya.

Wa shallallahu’ala Muhammadin wa ‘alaa ‘alihi wa ash habihi ajma’in, amma ba’du.

Puasa (Shoum) artinya menahan diri, yaitu menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa dari terbit matahari sampai terbenam. Inilah arti yang sebenarnya.

Yang membatalkan puasa sesuai dengan ijma’ para ulama ada beberapa hal, yaitu:
1. Niat membatalkan puasa.
2. Makan dan minum dengan disengaja, setelah terbitnya fajar sampai matahari tenggelam.
3. Jima’ (hubungan suami istri) setelah terbitnya fajar sampai matahari tenggelam.
4. Muntah dengan disengaja pada saat puasa. (misalnya memasukkan jemari ke tenggorokan)
5. Mengeluarkan mani dengan disengaja.
Continue reading

Tulisan Nasehat bag 1: Seorang Muslim Terhadap Muslim yang Lain itu Selamat Atas Lidah dan Tangannya

Alhamdulillah. Sholawat dan salam tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad, keluarga, para shahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Amma Ba’du.

Bahasan kali ini lebih panjang daripada bahasan-bahasan sebelumnya. Karena menyangkut diri saya sendiri. Saya susun agar mudah difahami dan dibaca untuk seluruh orang. Baik orang yang kontra dengan saya, ataupun orang-orang yang sejalan dengan saya, atau orang-orang yang berada di tengah-tengah. Tulisan ini adalah untuk orang Islam, orang yang merasa dirinya adalah orang mukmin, orang yang merasa dirinya pernah melihat Allah, orang yang merasa ibadahnya benar, orang yang merasa orang lain melakukan bid’ah, orang kafir, dan orang-orang yang bingung akan agamanya. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semuanya, karena hidayah itu hanya datang dari Allah.

Hadits yang akan kita bahas adalah,

Hadis riwayat Abdullah bin Amru bin Ash radhiyallahu’anhum, ia berkata:
Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw: Orang Islam manakah yang paling baik? Rasulullah menjawab: Orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya. (Shahih Muslim No.57)

Hadis riwayat Abu Musa radhiyallahu’anhuma, ia berkata:
Aku pernah bertanya: Wahai Rasulullah, Islam manakah yang paling utama? Rasulullah saw. bersabda: Orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya. (Shahih Muslim No.59)

Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, “Orang Islam itu adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya; dan orang yang berhijrah (muhajir) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” [HR. Bukhari]

Abu Musa radhiyallahu’anhuma berkata, “Mereka (para sahabat) bertanya, Wahai Rasulullah, Islam manakah yang lebih utama?’ Beliau menjawab, ‘Orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya. “‘[HR. Bukhari]
Continue reading

Menjawab Bualan dengan Kalimat yang Baik

Sebuah Tanggapan untuk Ulil Abshar Abdalla
Tulisan yang sama dapat dibaca di sini.
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah seorang manusia yang telah dipilih oleh Allah untuk menyampaikan dan menjelaskan ayat-ayat-Nya serta menunjukkan kepada jalan yang lurus.
amma ba’du.

Para pembaca yang budiman, semoga Allah menjaga kita dari godaan syaitan
dan kerancuan-kerancuan yang ditebarkan oleh antek-anteknya. Sifat rendah
hati/tawadhu’ adalah salah satu ciri khas hamba-hamba Allah Yang Maha
Pengasih. Sebagaimana yang dijelaskan oleh-Nya dalam ayat-Nya yang mulia,
artinya :
“Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di
atas muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang jahil menyapa mereka,
mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al Furqaan [25]: 63)

Di antara sapaan jahil yang baru-baru ini mengusik umat Islam Indonesia
adalah tulisan ‘orang yang sedang bingung’ yang diberi judul dengan
‘Doktrin-Doktrin Yang Kurang Perlu dalam Islam’. Dalam suasana
‘kebingungan’ yang masih menyelimuti pikirannya si penulis ingin mengajak
umat Islam untuk bersikap arogan dan tinggi hati. Sayangnya dia menamai
seruannya ini dengan ‘corak keberagamaan yang rendah hati’.

Aduhai, seandainya orang ini mau menyadari keruwetan akalnya! Orang yang
lugu akan mengatakan kelakuannya ini dengan ungkapan, “Bungkusnya bagus,
tapi isinya busuk.” Maka orang yang masih menyayangi kesehatan dirinya
tentu tidak akan mau memakan isi bungkusan itu. Sebetulnya meladeni bualan
semacam ini bukanlah sesuatu yang sukar. Kalau kita cermati
ucapan-ucapannya maka akan tampak kontradiksi yang sangat jelas. Lihatlah
betapa jujurnya orang ini ketika dia mengatakan bahwa dia ingin membuang
ajaran agama Islam!
Saksikanlah pengakuannya atas kejahatan yang dilakukannya sendiri :

“Saya hanya ingin menganjurkan suatu corak keberagamaan yang rendah hati,
yang tidak arogan dengan mengemukakan kleim-kleim yang berlebihan tentang
agama. Jika Islam menganjurkan etika “tawadhu'”, atau rendah hati, maka
etika itu pertama-tama harus diterapkan pada Islam sendiri. Mengaku bahwa
agama yang paling benar adalah Islam jelas menyalahi etika tawadhu’ itu.”
(lihat artikel Ulil Abshar Abdalla di situs JIL, 7 Januari 2008).
Dia juga yang mengatakan, “Banyak hal dalam agama yang jika dibuang
sebetulnya tidak mengganggu sedikitpun watak dasar agama itu. Oleh para
pemeluk agama, banyak ditambahkan hal baru terhadap esensi agama itu,
sekedar untuk menjaga aura agama itu agar tampak “angker” dan menakutkan di
mata pemeluknya. Saya akan mengambil contoh Islam.” (lihat artikel Ulil
Abshar Abdalla di situs JIL, 7 Januari 2008).
Continue reading

Contoh Khilaf (Perbedaan Pendapat) di Antara Para Ulama Ahlu Sunnah Tapi Mereka Tidak Saling Mengingkarinya

Oleh Abu Abdil Muhsin Firanda Ibnu Abidin

Berikut ini adalah beberapa contoh khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama Ahlus Sunnah akan tetapi mereka tidak saling mengingkari. Namun mereka berusaha menjelaskan pendapat yang paling benar menurut mereka, tanpa adanya sikap saling menjatuhkan, terlebih lagi saling tahdzir, hajr, apalagi tabdi.

[1]. Khilaf antara Syaikh Al-Albani dan Syaikh Ibnu Baaz rahimahumallah mengenai boleh tidaknya tentara Amerika berpangkalan di Arab Saudi untuk menghancurkan Irak. Syaikh Ali bin Hasan menjelaskan bahwa khilaf ini bukanlah khilaf yang biasa-biasa saja, namun merupakan khilaf yang nyata. Meskipun demikian mereka tetap tidak saling hajr [1]. Padahal jika kita perhatikan, khilaf ini berkaitan dengan keselamatan orang banyak dan berkaitan dengan masa depan negeri Saudi. Keduanya saling mempertahankan pendapat, tetapi mereka tetap saling mencintai dan saling menghormati.

[2]. Khilaf antara Syaikh Ibnu Baaz dan Syaikh Al-Albani rahimahumallah mengenai masalah sedekap setelah ruku’ (ketika i’tidal). Syaikh Al-Albani memandang hal ini merupakan bid’ah. Sebaliknya Syaikh Ibnu Baaz memandang bahwa hal ini disyari’atkan. Namun apakah Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa orang yang berpendapat seperti pendapat Syaikh Ibnu Baaz adalah ahli bid’ah? Tentu saja tidak. Padahal Syaikh Al-Albani benar-benar meyakini bahwa hal itu merupakan bid’ah. Sedangkan setiap bid’ah adalah kesesatan, dan tiap kesesatan adalah di Neraka.

Mungkin saja nanti ada orang yang membesar-besarkan masalah ini, lalu menjadikannya sebagai ajang perpecahan, dengan alasan bahwa bid’ah itu berbahaya dan kita tidak boleh meremehkan bid’ah sekecil apapun. Pernyataan tersebut benar jika yang dimaksud adalah bid’ah yang disepakati oleh ara ulama. Adapun bid’ah yang masih diperselisihkan maka pernyataan ini tidak berlaku.
Continue reading

Ghibah (bag-3)

GHIBAH MENGIKUTI ARUS
Syaikhul islam berkata,

Sebagian manusia ada yang menggunjing karena menyesuaikan diri dengan teman-temannya, para shahabat dan keluarganya, meskipun dia mengetahui bahwa orang yang digunjingkan itu bebas dari segala yang mereka katakan. Tetapi dia menganggap bahwa seandainya dia mencegah mereka, niscaya forum tersebut akan bubar dan pesertanya merasa keberatan serta menjauhinya. Karena itu ia melihat bahwa menyesuaikan dengan mereka merupakan pergaulan dan persahabatan yang baik. Kadangkala mereka marah lalu ia pun marah karena kemarahan mereka, kemudian ia larut bersama mereka.

Sebagian mereka ada yang membuat gunjingan dalam berbagai kedok. Sekali tempo dengan kedok agama dan kesholihan, semisal ia berkata, “Bukan kebiasaanku menyebut seseorang melainkan kebaikannya. Saya tidak suka menggunjing dan tidak pula suka berdusta. Tetapi saya hanya memberitahukan kepada kalian mengenai perihalnya.” Katanya lagi, “Demi Allah, dia miskin atau orang yang baik, tetapi dalam dirinya terdapat demikian dan demikian.” Adakalahnya dia mengatakan, “Jauhkan diri kita darinya; semoga Allah mengampuni kita dan dia.” Padahal niatnya hanyalah menilai kekuarangannya dan menghancurkan martabatnya. Mereka membuat ghibah dalam berbagai kedok agama dan keshalihan untuk menipu Allah dengan cara itu, sebagaimana mereka menipu makhluk. Dan kita melihat mereka melakukan berbagai ragam perbuatan ini dan sejenisnya.
Continue reading