Oleh: Ustadz ‘Ashim bin Musthofa
Masih ada saja muncul perbedaan dalam memandang pada sosok yang sudah jelas salah jalan ini. Di antara yang menjadi penyebabnya, adalah kedangkalan ilmu atau kekeliruan standar yang dipakai untuk menilainya. Oleh karena itu, muncul pertanyaan tentang jati diri al Hallaj, yaitu Husain bin Manshur, yang diarahkan kepada Ibnu Taimiyah rahimahullah. Apakah Husain bin Manshur ini seorang yang jujur? Ataukah ia seorang zindiq? Apakah ia seorang wali Allah, ataukah seorang yang bergelut dengan khurafat, sebagaimana para dukun? Apakah dibunuhnya dia di hadapan para ulama disebabkan kekufurannya, ataukah dibunuh dengan tanpa bukti kesalahan?
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan penyebab kekeliruan penilaian ini, yaitu: “Orang-orang yang tidak mempunyai pegangan, sulit untuk membedakan kejadian mana yang hak dan batil. Jika seorang belum tersinari hatinya dengan keimanan dan ittiba’ al haq (mengikuti kebenaran), ia tidak bisa membedakan antara jalan orang-orang yang benar dengan orang-orang batil, seperti rancunya pandangan orang-orang terhadap Musailamah (al Kadzdzab), dari Yamamah dan pendusta-pendusta lainnya yang mengaku sebagai para nabi, padahal mereka, tiada lain hanyalah pendusta.”
Awal Kehidupan Al Hallaj
Al Hallaj, tumbuh di kota Wasith. Namun ada pendapat lainnya, yaitu di daerah Tustar. Kota Baghdad pun pernah ia masuki. Dia juga kerap sekali menuju Mekkah dan menetap di Masjidil Haram. Kebiasaan yang sering ia lakukan di sana, senang menyusahkan fisiknya. Misalnya: mencari tempat duduk tanpa naungan, di tengah masjid, saat musim dingin maupun musim panas. Secara sengaja, ia juga pernah duduk di bebatuan saat panas sangat terik.
Al Hallaj sempat juga berguru pada beberapa tokoh sufi. Guru-guru tersebut, misalnya: al Junaid bin Muhammad, Amr bin ‘Utsman al Makki dan Abul Husain an Nuri. Akan tetapi, kalangan kaum sufi menampik “keanggotaan” al Hallaj menjadi bagian mereka.
Pada awalnya, ia tampak sebagai ahli ibadah dan berakhlak baik. Akan tetapi, tanpa didasari bekal ilmu. Tindak-tanduknya tidak dibangun di atas ketakwaan kepada Allah dan keridhaan-Nya. Dia pernah bertolak ke negeri India untuk mendalami berbagai macam ilmu sihir. Bahkan kemudian, ia abadikan ilmu sihirnya tersebut dalam sebuah tulisan yang disebarluaskan. Oleh karena itu, Ibnu Katsir berkata, bahwa ia lebih banyak merusak ketimbang melakukan perbaikan.
Selanjutnya, ia dirasuki ‘aqidah hulul dan ittihad (keyakinan tentang bersatunya Allah dengan makhluk-Nya). Sehingga ia pun termasuk dalam golongan orang-orang yang sesat dan menyimpang.
Banyak negeri telah ia telusuri. Dan keadaannya pun berubah total. Meski sudah jelas kesesatannya, masih saja ia mengklaim sebagai da’I di jalan Allah, dengan bekal ilmu sihir yang ia pelajari.
Karamah Palsu
Suatu ketika, ia pernah memerintahkan murid-muridnya untuk pergi ke sebuah padang untuk menyembunyikan buah-buahan dan manisan. Setelah itu, ia mengundang orang-orang yang gila dunia ke tempat yang berdekatan dengan tempat disembunyikannya buah-buahan tersebut.
Al Hallaj menawarkan kepada mereka: “Apa yang kalian inginkan untuk aku suguhkan bagi kalian di padang ini?”
Orang-orang pun menyebutkan buah-buahan dan manisan.
Maka al Hallaj segera menjawab: “Tunggu sebentar,” kemudian ia bergegas ke tempat yang telah dipersiapkan dan sekembalinya, ia membawa barang-barang yang telah ia sembunyikan atau sebagiannya. Maka orang-orang itu mengira jika buah-buahan dan manisan itu merupakan karamahnya.
Al Hallaj termasuk tokoh dari orang-orang yang menekuni “kedigdayaan setan” dan “kekuatan palsu” itu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Semakin jauh seseorang dari Allah dan Rasul-Nya serta jalan kaum mukminin, maka ia semakin dekat dengan setan. Mampu terbang di angin, padahal setanlah yang membawanya. Digdaya menghadapi banyak manusia, akan tetapi, setannyalah yang beraksi. Dapat menyuguhkan makanan dan minuman, padahal setannyalah yang melakukannya. Orang-orang jahil mengira, jika itu merupakan karamah wali Allah yang bertakwa. Padahal bersumber dari tukang sihir, dukun dan orang-orang yang sepaham dengan mereka.”
Sebagian Kekufuran Al Hallaj
Ibnu Hauqal menuliskan, al Hallaj muncul dari Persia. Dia mendalami ibadah dan thariqat sufi. Fase demi fase ia alami, sampai akhirnya ia berpandangan: “Siapa saja yang membina raganya dalam ketaatan kepada Allah, menyibukkan hatinya dengan amalan-amalan, bersabar dari kenikmatan-kenikmatan, menahan diri dari syahwat, maka ia akan melaju ke tingkat kesucian, hingga dirinya akan lepas dari unsur kemanusiaannya. Bila ia telah suci, maka ruh Allah yang dulu masuk ke Isa akan menyatu pada dirinya, hingga ia pun menjadi manusia yang ditaati, mampu berkata kepada sesuatu, ‘jadilah’, maka terjadilah (kun fayakun).”
Al Hallaj menempuh cara ini untuk mengajak manusia agar mengikutinya. Dan ia pun berhasil memikat hati sejumlah orang dari kalangan umara, wuzara (pegawai), raja-raja, orang kuat dan orang umum.
‘Amr bin ‘Ustman al Makki telah menyatakan bahwa al Hallaj seorang kafir. Ia menceritakan: “Aku pernah bersamanya. Ia pun mendengar seseorang sedang membaca Al Qur’an, maka ia berkomentar, ‘aku bias mengarang (tulisan) seperti Al Qur’an’ , atau perkataan yang mirip dengan ini.”
Dia juga pernah menuliskan sebuah surat, yang ia awali dengan Minar-Rahmanir-Rahim, ila Fulan ibni Fulan (Dari Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang untuk Fulan bin Fulan).
Orang-orang pun berkata: “Sebelumnya engkau mengaku sebagai nabi. Sekarang engkau mengaku sebagai tuhan?”
Namun al Hallaj menjawab: “Tidak demikian. Akan tetapi, itulah bentuk penyatuan yang kami lakukan. Bukankah penulisnya adalah Allah? Bukankah saya dan tangan ini hanya alat belaka?”
Hari-Hari Terakhir Kebinasaan Al Hallaj
Pemerintah pada masa itu, yang menjadi menteri adalah Hamid bin al ‘Abbas. Beliau mendengar berita, kalau al Hallaj telah menyesatkan sejumlah orang dari
kalangan pegawai kesultanan. Kabar yang tersiar, ia sanggup menghidupkan orang-orang yang sudah mati, jin menjadi pelayannya dan menyediakan apa saja yang diinginkan al Hallaj. Bahkan seseorang yang bernama Muhammad bin ‘Ali al Qana-i al Katib menyembahnya. Orang ini pun ditangkap di rumahnya dan mengaku termasuk pengikut al Hallaj. Di dalam rumahnya, dijumpai tulisan-tulisan al Hallaj yang dibuat dengan kemasan yang mewah, ditemukan pula barang-barang al Hallaj, termasuk juga kotorannya.
Selanjutnya, Hamid bin al ‘Abbas meminta Khalifah al Muqtadir Billah rahimahullah untuk menangani kasus ini. Dan akhirnya Khalifah memberikan mandate kepada Hamid untuk menuntaskannya. Maka dipanggillah para pengikut al Hallaj.
Dalam proses interogasi, terungkaplah pengakuan para pengikutnya ini, jika al Hallaj mengaku sebagai tuhan bersama Allah dan sanggup menghidupkan orang mati. Namun al Hallaj menampik tuduhan tersebut. Dia membela diri, kalau masih bertauhid, menyembah Allah, mengerjakan shalat. Lisannya bahkan selalu beristighfar. Saat itu, ia dalam keadaan dibelenggu dengan rantai dan mengenakan baju besi. Di dua kakinya terdapat tiga belas rantai. Sedangkan baju besinya sampai ke lutut, dan rantai pun menutupi lututnya.
Ulama pun dikumpulkan. Mereka sepakat jika al Hallaj telah melakukan kekufuran dan perbuatan zindiq. Dia seorang tukang sihir dan pendusta.
Di antara pengikutnya, terdapat dua orang yang bertaubat, yaitu Abu Ali Harun bin ‘Abdul ‘Aziz al Auraji dan ad-Dabbas. Dua orang ini menceritakan rusaknya keyakinan al Hallaj, dan dakwahnya yang menyesatkan manusia, berupa kedustaan, perbuatan fujur (maksiat), tipuan-tipuan dan praktek sihirnya. Istri dari anaknya, Sulaiman juga memberikan kesaksian, jika al Hallaj pernah mencoba memperkosanya saat ia tertidur. Akan tetapi, ia cepat terjaga, sehingga al Hallaj berkilah dengan berkata: “bangunlah untuk shalat.”
Di sebuah majlis terakhir yang diadakan, datanglah Qadhi Abu ‘Umar Muhammad bin Yusuf. Al Hallaj dihadapkan kepadanya. Sebuah kitab karya al Hallaj, yang diambil dari salah satu rumah pengikutnya, terdapat pernyataannya: “Siapa saja yang terlewatkan ibadah haji, hendaknya ia membangun rumah dan melakukan thawaf di sekelilingnya, sebagaimana Ka’bah, disertai bersedekah untuk 30 anak yatim dengan sedekah. Sungguh perbuatan ini telah mewakili kewajiban haji.”
Orang-orang bertanya tentang pendapatnya ini: “Dari mana engkau memperoleh pernyataan ini?”
Al Hallaj menjawab: “Dari Hasanul Bashri dalam Kitabush-Shalah,” maka Qadhi Abu ‘Umar menampiknya: “Engkau berdusta, wahai zindiq! Aku telah membaca kitab itu dan (pernyataan yang kau sampaikan) tidak ada di sana.”
Maka menteri meminta para saksi untuk mendengarkan pernyataan tersebut. Mereka pun sepakat tentang kufurnya perkataan al Hallaj, hingga kemudian sepakat menjatuhkan hukuman mati baginya.
Selanjutnya, Hamid sebagai menteri, meminta pernyataan Qadhi Abu Umar dan para ulama yang hadir saat itu, bahwa al Hallaj telah kafir. Lembaran pernyataan ini dikirimkan ke al Muqtadir Billah.
Al Muqtadir Billah rahimahullah kemudian menyerahkan eksekusinya kepada kepala syurthah (kepolisian) Muhammad bin ‘Abdish-Shamad agar mencambuknya seribu kali. Jika belum mati juga, maka dipenggal lehernya. Eksekusi itu dilaksanakan hari Selasa tanggal 24 Dzul Qa’dah 309 H.
Menjelang eksekusi hukuman mati, al Hallaj mengalami kegelisahan. Dia pun memperlihatkan penyesalan dengan bertaubat dan berpegang dengan Sunnah, namun tidak diterima. Sekiranya ia dibiarkan hidup, tentu banyak orang jahil yang terpedaya lagi dengannya. Pasalnya, ia memiliki khaza’balat buhtaniyah (dongeng-dongeng dusta) dan ahwal syaithaniyah (keajaiban sihir). Sehingga hanya orang-orang yang terpukau dengan kejadian-kejadian aneh yang mengagungkan al Hallaj.
Hembusan Khurofat Pasca Kematiannya
Pada detik-detik kematiannya, tidak terlihat sedikitpun karamah. Apa yang didengung-dengungkan, bahwa tetesan darahnya membentuk lafazh Allah, atau sungai Tigris berhenti mengalir, atau sebaliknya, air tampak pasang dan kejadian aneh lainnya, itu hanyalah kedustaan semata.
Ibnu Taimiyah rahimahullah memberi sanggahan dengan pernyataannya: “Cerita-cerita ini tidak menjadi buah bibir, kecuali pada orang-orang yang jahil atau munafik. Para zindiq dan musuh Islam telah melakukan rekayasa, supaya tersebar opini bahwa syari’at Muhammad bin ‘Abdullah telah membunuh salah satu wali
Allah, manakala orang-orang mendengar cerita-cerita ini.
Padahal telah terbunuh banyak nabi, para pengikut dekatnya, para sahabat nabi kita, kalangan tabi’in dan orang-orang shalih lainnya yang tidak terukur jumlahnya, dan mereka meninggal oleh pedang-pedang kaum fujjar (orang-orang jahat), kuffar dan zhalim dan lainnya, akan tetapi tidak ada tetesan darah mereka yang membentuk nama Allah. Selain itu, darah hukumnya najis, maka tidak boleh dipakai untuk menulis nama Allah. Apakah al Hallaj lebih baik dari mereka itu? Apakah darah al Hallaj lebih suci dari darah mereka?”
Setelah kematiannya, ditetapkan larangan menjual atau membeli kitab-kitab karangan al Hallaj.
Begitulah akhir kehidupan al Hallaj sang pendusta. Orang ini dibunuh karena kekufurannya, dan telah terbukti melalui pengakuannya sendiri serta berdasar
kesaksian orang lain. Vonis mati dijatuhkan berdasarkan kesepakatan para ulama kaum Muslimin. Bila ada yang menilai vonis matinya tidak berdasarkan kebenaran,
kalau ia bukan seorang munafik yang mulhid, maka ia seorang jahil dhall (tak berilmu lagi sesat).
Penyebab al Hallaj dihukum mati, karena banyaknya kekufuran yang ada pada dirinya. Sebagian saja sudah cukup untuk menyeretnya dihukum mati, apalagi bila
disebutkan secara keseluruhan. Dia bukan termasuk dari kalangan orang-orang bertakwa.
Adapun para fuqaha, sudah dikutip lebih dari seorang ulama dan imam mengenai ijma’ (kesepakatan) mereka atas hukuman mati bagi al Hallaj. Dia terbunuh dalam
keadaan kafir, seorang pendusta, penipu dan tukang sihir.
Maraji’:
– Al Bidayah wan-Nihayah, Ibnu Katsir,
Takhrij Ahmad bin Sya’ban Ahmad
, Muhammad bin ‘Adi, dan Abdul Halim, Cetakan I Tahun 1422 H / 2003 M.
– Jami’ur-Rasail, Ibnu Taimiyah, Tahqiq Muhammad Rasyad Salim, dengan judul
Risalah Fil Jawabi ‘An Sualin ‘Anil Hallaji: Hal Kana Shidiqqiqan An Zindiqan, hlm 187-199.
– Taqdisul Asykhasi fil-Fikrish-Shufi,
Muhammad Ahmad Luh, Darul-Ibnil-Qayyim dan Dar Ibni ‘Affan, Cetakan I Tahun 1423 H / 2002 M.
Dikutip dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007M
Filed under: Aqidah, Artikel, Tauhid | 89 Comments »