Bantahan atas mereka yang memakai dalil-dalil Shahih untuk memperkuat pendapat mereka tentang bolehnya Maulid.

Beberapa waktu lalu saya berdiskusi dengan orang yang tidak dikenal, karena memang kita belum kenalan yang langsung menanggapi link yang saya berikan tentang maulid. Selebihnya kami berdiskusi panjang lebar di twitter yang akhirnya dikarenakan keterbatasan waktu saya di jejearing sosial tersebut saya terpaksa menulis di blog ini. Di akhir diskusi saya meminta dia untuk memberikan dalil shohih yang berhubungan dengan maulid. Dan seperti yang sudah saya duga, dalilnya sama seperti orang-orang yang lain.

Dalil pertama:

artinya:”Berkata Abbas bin Abdulmuttalib radhiyallahu’anhu : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka Rasul saw menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka Abbas radhiyallahu’anhu memuji dengan syair yang panjang, diantaranya : “… dan engkau saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya”
[Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417]

Dalil kedua:

Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif :
Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa Keadaanmu?, ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (saw)” (shahih Bukhari hadits no.4813).

Nash Hadits yang asli:

Telah menceritakan kepada kami Al Hakam bin Nafi’ telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhri ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Urwah bin Az Zubair bahwa Zainab binta Abu Salamah telah mengabarkan kepadanya Ummu Habibah binti Abu Sufyan telah mengabarkan kepadanya bahwa ia pernah berkata, “Wahai Rasululloh nikahilah saudaraku binti Abu Sufyan.” Maka beliau balik bertanya: “Apakah suka akan hal itu?”. Lalu aku jawab, “Ya. Namun aku tidak mau ditinggal oleh Anda. Hanya saja aku suka bila saudariku ikut serta denganku dalam kebaikan”. Maka nabi shallallahu’alaihi wa salam pun bersabda: “Sesungguhnya hal itu tidak halal bagiku”. Aku berkata, “Telah beredar berita bahwa anda ingin menikahi binti Abu Salamah”. Beliau bertanya, “Anak wanita Ummu Salamah?”. Aku menjawab, “Ya”. Maka beliau pun bersabda, “Meskipun ia bukan anak tiriku, ia tidaklah halal bagiku. Sesungguhnya ia adalah anak saudaraku sesusuan. Tsuwaibah telah menyusuiku dan juga Abu Salamah. Karena itu, janganlah kalian menawarkan anak-anak dan saudari-saudari kalian kepadaku.” Urwah berkata, Tsuwaibah adalah bekas budak Abu Lahab. Waktu itu, Abu Lahab membebaskannya, lalu Tsuwaibah pun menyusui Rasululloh Shallallahu’alaihi wa salam. Dan ketika Abu Lahab meninggal, ia pun diperlihatkan kepada sebagian keluarganya di alam mimpi dengan keadaan yang memprihatinkan. Sang kerabat berkata kepadanya, “Apa yang telah kau dapatkan?” Abu Lahab berkata, “Setelah kalian, aku belum pernah mendapati sesuatu nikmat pun, kecuali aku diberi minum lantaran memerdekakan Tsuwaibah”. [HR. Bukhari no. 4711 versi Lidwa Pusaka]

Penjelasan saya. Siapapun tak akan mau dikatakan sebagai orang sesat, bahkan orang yang sudah jelas-jelas sesat seperti Qodariyah, maupun Khawarij tidak bakal mau dianggap orang sesat. Maka dari itulah mereka memakai dalil-dalil yang shahih sebagai pembenaran atas apa yang mereka lakukan.

Dalil pertama bercerita tentang salah seorang shahabat Abbas bin Abdul Muththalib radhiyallahu’anhu. Namun yang menjadi esensi dari dalil ini adalah sya’ir yang dibawakan oleh shahabat ini.

“…dan engkau saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang,
dan langit bercahaya dengan cahayamu,
dan kami kini dalam naungan cahaya itu
dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya”

Mungkin karena kata-kata kelahiran inilah sehingga dianggap sebagai pembolehan bagi mereka. Tapi saya sama sekali tidak melihat bahwa ini adalah sebuah perintah untuk beribadah (baca: maulid). Lalu apa sebenarnya makna dari hadits ini.

Hadits ini menjelaskan bahwa rasululloh shallallahu’alaihi wa salam mempunyai keistimewaan dan shahabat menyanjung beliau dengan syair yang berupa kiasan. Dan kiasan ini tidaklah berlebihan. Sebab kiasan ini kiasan yang benar, dan kiasan ini adalah qorinah. Dalam memahami sebuah dalil kita memaknai hukum asal lafazh adalah haqiqoh bukan majaz, terkecuali sebuah pertanda (qorinah).

Dalam hal ini Allah telah berfirman:

Artinya: “Telah datang kepada kalian cahaya dan sebuah kitab” [Al Ma’idah: 15]

Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini: “Allah Ta’ala mengabarkan dalam Al Qur’an Al Karim bahwa Ia mengutus Nabi-Nya yang mulia” [Tafsir Ibnu Katsir]

Namun apakah dalil ini bisa dianggap sebagai pembolehan maulid? Jawabnya tentu saja tidak. Seandainya memang benar ini dijadikan sebagai pembolehan maulid, yang pertama kali melakukannya adalah Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, sebab beliau adalah anak dari Abbas bin Abdul Muththalib radhiyallahu’anhu. Yang mana tidak ada satupun ilmu yang disembunyikan dari sang ayah kepada anak. Dan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu menjadi salah seorang shahabat yang memahami Al Qur’an turunnya beserta tafsirnya. Dan ini dikenal luas oleh para shahabat. Apakah Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma merayakan maulid?

Penjelasan dalil kedua:

Abu Lahab sudah pasti masuk neraka. Allah telah menceritakannya di dalam surat Al Lahab. Adapun Abu Lahab diberikan minum lantaran memerdekakan Tsuwaibah bukanlah sebuah dasar pembolehan maulid. Hadits ini tidak ada hubungannya dengan maulid. Justru hadits ini menceritakan tentang saudara sepersusuan, dan juga keistimewaan rasululloh shallallahu’alaihi wa salam, dan juga keistimewaan memerdekakan budak. Tidak diceritakan di hadits ini bahwasannya ada perintah untuk merayakan maulid. Apakah Abu Lahab dibebaskan dari neraka karena merayakan maulid?

Kalau memang demikian berarti maulid itu bukan dari Islam, karena yang melakukannya adalah orang-orang musyrik???

Dari dalil di atas sudah jelas, dalil yang dibawakan tidak nyambung. Kalau pun nyambung ya disambung-sambungin. Alhasil sampai sekarang tidak ada satupun dalil yang shahih tentang maulid nabi.

Benarkah Sholahuddin Al-Ayyubi Pencetus Perayaan Maulid Nabi shalallahu’alaihi wa sallam

Oleh : Al-Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf

Alkisah

Ada sebuah kisah yang cukup masyhur di negeri nusantara ini tentang peristiwa pada saat menjelang Perang Salib. Ketika itu kekuatan kafir menyerang negeri Muslimin dengan segala kekuatan dan peralatan perangnya. Demi melihat kekuatan musuh tersebut, sang raja muslim waktu itu, Sholahuddin al-Ayyubi, ingin mengobarkan semangat jihad kaum muslimin. Maka beliau membuat peringatan maulid nabi. Dan itu adalah peringatan maulid nabi yang pertama kali dimuka bumi.

Begitulah cerita yang berkembang sehingga yang dikenal oleh kaum Muslimin bangsa ini, penggagas perayaan untuk memperingati kelahiran Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam ini adalah Imam Sholahuddin al Ayyubi. Akan tetapi benarkah cerita ini? Kalau tidak, lalu siapa sebenarnya pencetus peringatan malam maulid nabi? Dan bagaimana alur cerita sebenarnya?

Kedustaan Kisah Ini

Anggapan bahwa Imam Sholahuddin al Ayyubi adalah pencetus peringatan malam maulid nabi adalah sebuah kedustaan yang sangat nyata. Tidak  ada satu pun kitab sejarah terpercaya –yang secara gamblang dan rinci menceritakan kehidupan Imam Sholahuddin al Ayyubi- menyebutkan  bahwa beliau lah yang pertama kali memperingati malam maulid nabi.

Akan tetapi, para ulama ahli sejarah justru menyebutkan kebalikannya, bahwa yang pertama kali memperingati malam maulid nabi adalah para raja dari Daulah Ubaidiyyah, sebuah Negara (yang menganut keyakinan) Bathiniyyah Qoromithoh meskipun mereka menamakan dirinya sebagai Daulah Fathimiyyah.

Merekalah yang dikatakan oleh Imam al Ghozali: “Mereka adalah sebuah kaum yang tampaknya sebagai orang Syiah Rafidhah padahal sebenarnya mereka adalah orang-orang kafir murni.” Hal ini dikatakan oleh al Miqrizi dalam al-Khuthoth: 1/280, al Qolqosyandi dalam Shubhul A’sya: 3/398, as Sandubi dalam Tarikh Ihtifal Bil Maulid hal.69, Muhammad Bukhoit al Muthi’I dalam Ahsanul Kalam hal.44, Ali Fikri dalam Muhadhorot beliau hal.84, Ali Mahfizh dalam al `Ibda’ hal.126.

Imam Ahmad bin Ali al Miqrizi berkata: “Para kholifah Fathimiyyah mempunyai banyak perayaan setiap tahunnya. Yaitu perayaan tahun baru, perayaan hari asyuro, perayaan maulid nabi, maulid Ali bin Abi Tholib, maulid Hasan, maulid Husein, maupun maulid Fathimah az Zahro’, dan maulid kholifah. (Juga ada) perayaan awal Rojab, awal Sya’ban, nisfhu Sya’ban, awal Romadhon, pertengahan Romadhon, dan penutup Ramadhon…” [al Mawa’izh:1/490]

Kalau ada yang masih mempertanyakan: bukankah tidak hanya ulama yang menyebutkan bahwa yang pertama kali membuat acara peringatan maulid nabi ini adalah raja yang adil dan berilmu yaitu Raja Mudhoffar penguasa daerah Irbil?

Kami jawab: Ini adalah sebuah pendapat yang salah berdasarkan yang dinukil oleh para ulama tadi. Sisi kesalahan lainnya adalah bahwa Imam Abu Syamah dalam al Ba’its `Ala Inkaril Bida’ wal h\Hawadits hal.130 menyebutkan bahwa raja Mudhoffar melakukan itu karena mengikuti Umar bin Muhammad al Mula, orang yang pertama kali melakukannya. Hal ini juga disebutkan oleh Sibt Ibnu Jauzi dalam Mir’atuz Zaman: 8/310. Umar al Mula  ini adalah salah seorang pembesar sufi, maka tidaklah mustahil kalau Syaikh Umar al Mula ini mengambilnya dari orang-orang Ubaidiyyah.

Adapun klaim bahwa Raja Mudhoffar sebagai raja yang adil, maka urusan ini kita serahkan kepada Allah akan kebenarannya. Namun, sebagian ahli sejarah yang sezaman dengannya menyebutkan hal yang berbeda.

Yaqut al Hamawi dalam Mu’jamul Buldan 1/138 berkata: “Sifat raja ini banyak kontradiktif, dia sering berbuat zalim, tidak memperhatikan rakyatnya, dan senang mengambil harta mereka dengan cara yang tidak benar.” [lihat al Maurid Fi `Amanil Maulid kar.al Fakihani – tahqiq Syaikh Ali- yang tercetak dalam Rosa’il Fi Hukmil Ihtifal Bi Maulid an Nabawi: 1/8]

Alhasil, pengingatan maulid nabi pertama kali dirayakan oleh para raja Ubaidiyyah di Mesir. Dan mereka mulai menguasai Mesir pada tahun 362H. Lalu yang pertama kali merayakannya di Irak adalah Umar Muhammad al Mula oleh Raja Mudhoffar pada abad ketujuh dengan penuh kemewahan.

Para sejarawan banyak menceritakan kejadian itu, diantaranya al Hafizh Ibnu Katsir dalam Bidayah wan Nihayah: 13/137 saat menyebutkan biografi Raja Mudhoffar berkata: “Dia merayakan maulid nabi pada bulan Robi’ul Awal dengan amat mewah. As Sibt berkata: “Sebagian orang yang hadir disana menceritakan bahwa dalam hidangan Raja Mudhoffar disiapkan lima ribu daging panggang, sepuluh ribu daging ayam, seratus ribu gelas susu, dan tiga puluh ribu piring makanan ringan…”

Imam Ibnu Katsir juga berkata: “Perayaan tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh agama dan para tokoh sufi. Sang raja pun menjamu mereka, bahkan bagi orang sufi ada acara khusus, yaitu bernyanyi dimulai waktu dzuhur hingga fajar, dan raja pun ikut berjoget bersama mereka.”

Ibnu Kholikan dalam Wafayat A’yan 4/117-118 menceritakan: “Bila tiba awal bulan Shofar, mereka menghiasi kubah-kubah dengan aneka hiasan yang indah dan mewah. Pada setiap kubah ada sekumpulan penyanyi, ahli menunggang kuda, dan pelawak. Pada hari-hari itu manusia libur kerja karena ingin bersenang-senang ditempat tersebut bersama para penyanyi. Dan bila maulid kurang dua hari, raja mengeluarkan unta, sapi, dan kambing yang tak terhitung jumlahnya, dengan diiringi suara terompet dan nyanyian sampai tiba dilapangan.” Dan pada malam mauled, raja mengadakan nyanyian setelah sholat magrib di benteng.”

Setelah penjelasan diatas, maka bagaimana dikatakan bahwa Imam Sholahuddin al Ayyubi adalah penggagas maulid nabi, padahal fakta sejarah  menyebutkan bahwa beliau adalah seorang raja yang berupaya menghancurkan Negara Ubaidiyyah. [1]

Siapakah Gerangan Sholahuddin al Ayyubi [2]

Beliau adalah Sultan Agung Sholahuddin Abul Muzhoffar Yusuf bin Amir Najmuddin Ayyub bin Syadzi bin Marwan bin Ya’qub ad Duwini. Beliau lahir di Tkrit pada 532 H karena saat itu bapak beliau, Najmuddin, sedang menjadi gubernur daerah Tikrit.

Beliau belajar kepada para ulama zamannya seperti Abu Thohir as Silafi, al Faqih Ali bin Binti Abu Sa’id, Abu Thohir bin Auf, dan lainnya.

Nuruddin Zanki (raja pada saat itu) memerintah beliau untuk memimpin pasukan perang untuk masuk Mesir yang saat itu di kuasai oleh Daulah Ubaidiyyah sehingga beliau berhasil menghancurkan mereka dan menghapus Negara mereka dari Mesir.

Setelah Raja Nuruddin Zanki wafat, beliau yang menggantikan kedudukannya. Sejak menjadi raja beliau tidak lagi suka dengan kelezatan dunia. Beliau adalah seorang yang punya semangat tinggi dalam jihad fi sabilillah, tidak pernah didengar ada orang yang semisal beliau.

Perang dahsyat yang sangat monumental dalam kehidupan Sholahuddin al Ayyubi adalah Perang Salib melawan kekuatan kafir salibis. Beliau berhasil memporak porandakan kekuatan mereka, terutama ketika perang di daerah Hithin.

Muwaffaq Abdul Lathif berkata: “Saya pernah datang kepada Sholahuddin saat beliau berada di Baitul Maqdis (Palestina, red), ternyata beliau  adalah seorang yang sangat dikagumi oleh semua yang memandangnya, dicintai oleh siapapun baik orang dekat maupun jauh. Para panglima dan prajuritnya sangat berlomba-lomba dalam beramal kebaikan. Saat pertama kali aku hadir di majelisnya, ternyata majelis beliau penuh dengan para ulama, beliau banyak mendengarkan nasihat dari mereka.”

Adz Dzahabi berkata: “Keutamaan Sholahuddin sangat banyak, khususnya dalam masalah jihad. Beliau pun seorang yang sangat dermawan dalam hal memberikan harta benda kepada para pasukan perangnya. Beliau mempunyai kecerdasan dan kecermatan dalam berfikir, serta tekad yang kuat.”

Sholahuddin al Ayyubi wafat di Damaskus setelah subuh pada hari Rabu 27 Shofar 589 H. Masa pemerintahan beliau adalah 20 tahun lebih.

________
Footnote:

[1] Untuk lebih lengkapnya tentang sejarah peringatan maulid nabi dan hokum memperingatinya, silahkan dilihat risalah Akhuna al- Ustadz Abu Ubaidah “Polemik Perayaan Maulid Nabi”

[2] Disarikan dari Siyar A’lamin Nubala’: 15/434 no.5301

Sumber: Diketik ulang dari Majalah al Furqon Edisi 09 Thn.XIII, Robi’uts Tsani 1430/April 2009, Hal.57-58

Pembahasan Maulid Nabi

Bismillahirahmaanirrahiim,

Alhamdulillah. Wa shallawatu ‘alaa rasulillahi wa ‘alaa ‘alihi wa ash habihi waman tabi’ahum bi ihsan ‘illaa yaumiddin. Amma Ba’du.

Tak henti-hentinya kita membahas maulid nabi, bukan berarti tidak ada bahasan yang lain, namun sebagai sebuah upaya untuk melawan syubhat-syubhat yang terlontar dan juga jumlah orang yang awam terhadap masalah ini masih lebih banyak daripada orang yang faham terhadap permasalahan maulid ini. Kita mencoba untuk membahas secara lebih baik lagi.

Beribadah itu Harus Sesuai dengan Contoh Allah dan Rasul-Nya.

Allah berfirman:

artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu dan telah Kucukupkan rizqiku bagimu, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu” (Q.S. Al Maidah : 3)

Rasululloh Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dari hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu’anha,

“Barangsiapa yang beramal tanpa bersumber dari kami (Allah dan Rasul-Nya) maka amalnya tertolak”. [HR. Muttafaqun ‘alaihi]

Dari Amir bin Abdullah ibnuz Zubair dari ayahnya, ia berkata, “Saya berkata kepada az-Zubair, ‘Saya tidak pernah mendengar engkau menceritakan suatu hadits yang engkau terima dari Rasulullah saw. sebagaimana si Anu dan si Anu menceritakannya.’ Zubair berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya saya ini tidak pernah berpisah dari beliau saw., tetapi saya pernah mendengar beliau saw. bersabda, ‘Barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menempati tempat duduknya di neraka.'” [HR. Bukhari Kitab Ilmu Bab ke-39 hadits no. 72] Continue reading