Apa itu Hadits Hasan?

Mukaddimah

Yang dimaksud dalam kajian ini adalah bagian ke-dua dari klasifikasi berita yang diterima, yaitu Hasan Li Dzâtihi (Hasan secara independen).
Barangkali sebagian kita sudah pernah membaca atau mendengar tentang istilah ini, namun belum mengetahui secara persis apa yang dimaksud dengannya, siapa yang pertama kali mempopulerkannya, buku apa saja yang banyak memuat bahasan tentangnya?
Itulah yang akan kita coba untuk mengulasnya secara ringkas tapi padat, insya Allah.

Definisi

a. Secara bahasa (etimologi)
Kata Hasan (حسن) merupakan Shifah Musyabbahah dari kata al-Husn (اْلحُسْنُ) yang bermakna al-Jamâl (الجمال): kecantikan, keindahan.

b. Secara Istilah (teriminologi)
Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama hadits mengingat pretensinya berada di tengah-tengah antara Shahîh dan Dla’îf. Juga, dikarenakan sebagian mereka ada yang hanya mendefinisikan salah satu dari dua bagiannya saja.

Berikut beberapa definisi para ulama hadits dan definisi terpilih:

1. Definisi al-Khaththâby : yaitu, “setiap hadits yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya, ia merupakan rotasi kebanyakan hadits dan dipakai oleh kebanyakan para ulama dan mayoritas ulama fiqih.” (Ma’âlim as-Sunan:I/11)

2. Definisi at-Turmudzy : yaitu, “setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat yang tertuduh sebagai pendusta, hadits tersebut tidak Syâdzdz (janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut kami dinamakan dengan Hadîts Hasan.” (Jâmi’ at-Turmudzy beserta Syarah-nya, [Tuhfah al-Ahwadzy], kitab al-‘Ilal di akhirnya: X/519)

3. Definisi Ibn Hajar: yaitu, “Khabar al-Ahâd yang diriwayatkan oleh seorang yang ‘adil, memiliki daya ingat (hafalan), sanadnya bersambung, tidak terdapat ‘illat dan tidak Syâdzdz, maka inilah yang dinamakan Shahîh Li Dzâtih (Shahih secara independen). Jika, daya ingat (hafalan)-nya kurang , maka ia disebut Hasan Li Dzâtih(Hasan secara independen).” (an-Nukhbah dan Syarahnya: 29)

Syaikh Dr.Mahmûd ath-Thahhân mengomentari, “Menurut saya, Seakan Hadits Hasan menurut Ibn Hajar adalah hadits Shahîh yang kurang pada daya ingat/hafalan periwayatnya. Alias kurang (mantap) daya ingat/hafalannya. Ini adalah definisi yang paling baik untuk Hasan. Sedangkan definisi al-Khaththâby banyak sekali kritikan terhadapnya, sementara yang didefinisikan at-Turmudzy hanyalah definisi salah satu dari dua bagian dari hadits Hasan, yaitu Hasan Li Ghairih (Hasan karena adanya riwayat lain yang mendukungnya). Sepatutnya beliau mendefinisikan Hasan Li Dzâtih sebab Hasan Li Ghairih pada dasarnya adalah hadits lemah (Dla’îf) yang meningkat kepada posisi Hasan karena tertolong oleh banyaknya jalur-jalur periwayatannya.”

Definisi Terpilih

Definisi ini berdasarkan apa yang disampaikan oleh Ibn Hajar dalam definisinya di atas, yaitu:
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, yang kurang daya ingat (hafalannya), dari periwayat semisalnya hingga ke jalur terakhirnya (mata rantai terakhir), tidak terdapat kejanggalan (Syudzûdz) ataupun ‘Illat di dalamnya.”

Hukumnya

Di dalam berargumentasi dengannya, hukumnya sama dengan hadits Shahîh sekalipun dari sisi kekuatannya, ia berada di bawah hadits Shahih. Oleh karena itulah, semua ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya. Demikian juga, mayoritas ulama hadits dan Ushul menjadikannya sebagai hujjah kecuali pendapat yang aneh dari ulama-ulama yang dikenal keras (al-Mutasyaddidûn). Sementara ulama yang dikenal lebih longgar (al-Mutasâhilûn) malah mencantumkannya ke dalam jenis hadits Shahîh seperti al-Hâkim, Ibn Hibbân dan Ibn Khuzaimah namun disertai pendapat mereka bahwa ia di bawah kualitas Shahih yang sebelumnya dijelaskan.” (Tadrîb ar-Râwy:I/160)

Contohnya

Hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmudzy, dia berkata, “Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Ja’far bin Sulaiman adl-Dluba’iy menceritakan kepada kami, dari Abu ‘Imrân al-Jawny, dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ariy, dia berkata, “Aku telah mendengar ayahku saat berada di dekat musuh berkata, ‘Rasulullah SAW., bersabda, “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan pedang-pedang…” (Sunan at-Turmudzy, bab keutamaan jihad:V/300)

Hadits ini adalah Hasan karena empat orang periwayat dalam sanadnya tersebut adalah orang-orang yang dapat dipercaya (Tsiqât) kecuali Ja’far bin Sulaiman adl-Dlub’iy yang merupakan periwayat hadits Hasan –sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Hajar di dalam kitab Tahdzîb at-Tahdzîb-. Oleh karena itu, derajat/kualitasnya turun dari Shahîh ke Hasan.

Tingkatan-Tingakatannya

Sebagaimana hadits Shahih yang memiliki beberapa tingkatan yang karenanya satu hadits shahih bisa berbeda dengan yang lainnya, maka demikian pula halnya dengan hadits Hasan yang memiliki beberapa tingkatan.

Dalam hal ini, ad-Dzahaby menjadikannya dua tingkatan:
Pertama, (yang merupakan tingkatan tertinggi), yaitu: riwayat dari Bahz bin Hakîm dari ayahnya, dari kakeknya; riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya; Ibn Ishaq dari at-Tîmiy. Dan semisal itu dari hadits yang dikatakan sebagai hadits Shahih padahal di bawah tingkatan hadits Shahih.

Ke-dua, hadits lain yang diperselisihkan ke-Hasan-an dan ke-Dla’îf-annya, seperti hadits al-Hârits bin ‘Abdullah, ‘Ashim bin Dlumrah dan Hajjâj bin Artha’ah, dan semisal mereka.

Tingkatan Ucapan Ulama Hadits, “Hadits yang shahîh sanadnya” atau “Hasan sanadnya”

1. Ucapan para ulama hadits, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Shahih.”

2. Demikian juga ucapan mereka, “Ini adalah hadits yang Hasan sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Hasan” karena bisa jadi ia Shahih atau Hasan sanadnya tanpa matan (redaksi/teks)nya akibat adanya Syudzûdz atau ‘Illat.

Seorang ahli hadits bila berkata, “Ini adalah hadits Shahih,” maka berarti dia telah memberikan jaminan kepada kita bahwa ke-lima syarat keshahihan telah terpenuhi pada hadits ini. Sedangkan bila dia mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” maka artinya dia telah memberi jaminan kepada kita akan terpenuhinya tiga syarat keshahihan, yaitu: sanad bersambung, keadilan si periwayat dan kekuatan daya ingat/hafalan (Dlabth)-nya, sedangkan ketiadaan Syudzûdz atau ‘Illat pada hadits itu, dia tidak bisa menjaminnya karena belum mengecek kedua hal ini lebih lanjut.

Akan tetapi, bila seorang Hâfizh (penghafal banyak hadits) yang dipegang ucapannya hanya sebatas mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” tanpa menyebutkan ‘illat (penyakit/alasan yang mencederai bobot suatu hadits); maka pendapat yang nampak (secara lahiriah) adalah matannya juga Shahîhsebab asal ucapannya adalah bahwa tidak ada ‘Illat di situ dan juga tidak ada Syudzûdz.

Makna Ucapan at-Turmudzy Dan Ulama Selainnya, “Hadits Hasan Shahîh”

Secara implisit, bahwa ungkapan seperti ini agak membingungkan sebab hadits Hasan kurang derajatnya dari hadits Shahîh, jadi bagaimana bisa digabung antara keduanya padahal derajatnya berbeda?. Untuk menjawab pertanyaan ini, para ulama memberikan jawaban yang beraneka ragam atas maksud dari ucapan at-Turmudzy tersebut. Jawaban yang paling bagus adalah yang dikemukakan oleh Ibn Hajar dan disetujui oleh as-Suyûthy, ringkasannya adalah:

1. Jika suatu hadits itu memiliki dua sanad (jalur transmisi/mata rantai periwayatan) atau lebih; maka maknanya adalah “Ia adalah Hasan bila ditinjau dari sisi satu sanad dan Shahîh bila ditinjau dari sisi sanad yang lain.”

2. Bila ia hanya memiliki satu sanad saja, maka maknanya adalah “Hasan menurut sekelompok ulama dan Shahîh menurut sekelompok ulama yang lain.”

Seakan Ibn Hajar ingin menyiratkan kepada adanya perbedaan persepsi di kalangan para ulama mengenai hukum terhadap hadits seperti ini atau belum adanya hukum yang dapat dikuatkan dari salah satu dari ke-duanya.

Pengklasifikasian Hadits-Hadits Yang Dilakukan Oleh Imam al-Baghawy Dalam Kitab “Mashâbîh as-Sunnah”

Di dalam kitabnya, “Mashâbîh as-Sunnah” imam al-Baghawy menyisipkan istilah khusus, yaitu mengisyaratkan kepada hadits-hadits shahih yang terdapat di dalam kitab ash-Shahîhain atau salah satunya dengan ungkapan, “Shahîh” dan kepada hadits-hadits yang terdapat di dalam ke-empat kitab Sunan (Sunan an-Nasâ`iy, Sunan Abi Dâ`ûd, Sunan at-Turmdzy dan Sunan Ibn Mâjah) dengan ungkapan, “Hasan”. Dan ini merupakan isitlah yang tidak selaras dengan istilah umum yang digunakan oleh ulama hadits sebab di dalam kitab-kitab Sunan itu juga terdapat hadits Shahîh, Hasan, Dla’îf dan Munkar.

Oleh karena itulah, Ibn ash-Shalâh dan an-Nawawy mengingatkan akan hal itu. Dari itu, semestinya seorang pembaca kitab ini ( “Mashâbîh as-Sunnah” ) mengetahui benar istilah khusus yang dipakai oleh Imam al-Baghawy di dalam kitabnya tersebut ketika mengomentari hadits-hadits dengan ucapan, “Shahih” atau “Hasan.”

Kitab-Kitab Yang Di Dalamnya Dapat Ditemukan Hadits Hasan

Para ulama belum ada yang mengarang kitab-kitab secara terpisah (tersendiri) yang memuat hadits Hasan saja sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits Shahîh di dalam kitab-kitab terpisah (tersendiri), akan tetapi ada beberapa kitab yang di dalamnya banyak ditemukan hadits Hasan. Di antaranya yang paling masyhur adalah:

1. Kitab Jâmi’ at-Turmudzy atau yang lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzy. Buku inilah yang merupakaninduk di dalam mengenal hadits Hasan sebab at-Turmudzy-lah orang pertama yang memasyhurkan istilah inidi dalam bukunya dan orang yang paling banyak menyinggungnya.
Namun yang perlu diberikan catatan, bahwa terdapat banyak naskah untuk bukunya tersebut yang memuat ungkapan beliau, “Hasan Shahîh”, sehingga karenanya, seorang penuntut ilmu harus memperhatikan hal ini dengan memilih naskah yang telah ditahqiq (dianalisis) dan telah dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli (manuscript) yang dapat dipercaya.

2. Kitab Sunan Abi Dâ`ûd. Pengarang buku ini, Abu Dâ`ûd menyebutkan hal ini di dalam risalah (surat)-nya kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya menyinggung hadits Shahih dan yang sepertinya atau mirip dengannya di dalamnya. Bila terdapat kelemahan yang amat sangat, beliau menjelaskannya sedangkan yang tidak dikomentarinya, maka ia hadits yang layak. Maka berdasarkan hal itu, bila kita mendapatkan satu hadits di dalamnya yang tidak beliau jelaskan kelemahannya dan tidak ada seorang ulama terpecayapun yang menilainya Shahih, maka ia Hasan menurut Abu Dâ`ûd.

3. Kitab Sunan ad-Dâruquthny. Beliau telah banyak sekali menyatakannya secara tertulis di dalam kitabnya ini.

(SUMBER: Kitab Taysîr Musthalah al-Hadîts karya Dr. Mahmûd ath-Thahhân, h. 45-50)

Sumber: http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=70

Apakah Boleh Menuntut Ilmu Hanya dari Kaset Rekaman tanpa Menghadiri Majilis Ilmu?

Menuntut ilmu, belajar dien adalah wajib bagi umat islam. Setiap jiwa harus mengetahui terhadap ibadah mereka, setiap jiwa harus memahami dalil mereka mengerjakan sesuatu dalam ibadah, sebab setiap ibadah yang bukan berasal dari Allah dan Rasul-Nya maka ibadah tersebut tertolak, sebagaimana sabda beliau:

“Segala amalan yang bukan berasal dari kami (Allah dan Rasul-Nya), maka amalan itu tertolak”. [HR. Muttafaqun ‘alaih]

Ada pertanyaan: “Apakah cukup belajar ilmu agama dari hanya membaca buku, mendengarkan kaset-kaset kajian tanpa datang ke halaqah atau majlis ilmu?”

Jawaban: Mendengarkan dan belajar ilmu agama dari buku-buku para ulama, dan juga mendengarkan kaset-kaset rekaman kajian tidak diragukan lagi adalah lebih bermanfaat daripada membaca buku-buku yang lain, dan juga merupakan sebuah amalan yang mulia, karena dengan demikian kita bisa belajar banyak hal. Namun dengan duduk di halaqah dan majlis ilmu maka yang akan kita dapatkan adalah ghirah (semangat)  bahwa sebagai seorang penuntut ilmu kita diwajibkan belajar langsung dari ahli ilmu.

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafizhahullah menjelaskan:

Tidak dapat diragukan lagi bahwa mendengarkan ilmu melalui kaset terdapat faedah dan banyak manfaatnya, karena engkau mendengarkan ilmu dari ahli ilmu yang kokoh ilmunya, akan tetapi di sana terdapat perkara-perkara lain yang tidak didapati jika kita mendengarkan ilmu hanya melalui kaset-kaset diantaranya:

[1]. Duduk bersama para penuntut ilmu lainnya dalam sebuah halaqah di masjid, hal ini memberikan perkara-perkara ibadah dan jiwa bagi penunutut ilmu.

[2]. Mengambil manfaat dari petunjuk pengajar dalam ucapan, pandangan, pendidikan dan pengajarannya, cara mengingatkannya, jalannya, cara menyelesaikan perkara, bagaimana ketika menghadapi suatu perkara, bagaimana cara menjawab, bagaimana bermualamah dengan orang yang menyalahinya, dengan orang yang kurang baik adabnya, dengan orang-orang yang memuliakan secara berlebih-lebihan. Semua adab-adab ini diperoleh dari petunjuk para ulama dengan cara duduk menuntut ilmu dihadapan mereka.

[3]. Selain itu ada hal-hal berupa ibadah (yang dapat dicontoh dari para ulama) seperti rasa takut kepada Allah Jalla Jalaluhu. Sedangkan engkau jika melihat para ulama dalam membimbing manusia dalam beribadah, berdzikir, dan kesungguhan mereka dalam berbuat kebaikan, engkau akan terpengaruh dalam suatu perkara yang engkau memerlukannya yaitu istiqomah dan ketekunan dalam ibadah kepada Allah Jalla Jalaluhu.

Adapun mendengar ilmu melalui kaset, kamu hanya dapat mendengarkan ilmu akan tetapi tidak dapat melihat petunjuk para ulama, ibadahanya, shalatnya, kesegeraannya ke masjid, kesungguhannya untuk mengkhatamkan Al-Qur’an, hafalannya, shalat malamnya dan semisal itu, yang mana hal-hal tersebut hanyalah didapati dari berguru dan mendengarkan ilmu secara langsung. Oleh karena itu Ibnul Jauzi rahimahullah berkata : “Guru kami itu, tidaklah kami hadir di majlisnya kecuali manfaat yang kami dapati dari tangisannya (karena takut kepada Allah Jalla Jalaluhu), melebihi manfaat yang kami dapati dari ilmunya”. Beliau mendapatkan ilmu dari guru beliau, akan tetapi faedah yang beliau dapatkan dari tangisan, rasa takut guru beliau kepada Allah Jalla Jalaluhu, dan sikap wara’nya, lebih banyak dari mendapatkan ilmu guru beliau. [Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah, Edisi 02 Dzulqo’dah 1423/Januari 2003]

Jadi, sekalipun kita membaca buku para ulama, ataupun mendengarkan kaset-kaset kajian, tetap yang paling utama adalah kita datang ke majlis ilmu dan mendengar langsung dari orang yang ‘alim. Agar kita bisa mendapatkan kebaikan dan mendapatkan faedah-faedah duduk di majlis ilmu.

wallahua’alam bishawab.

Beriman Kepada Malaikat Allah

Alhamdulillahi. Asy-hadu anlaailaahaillallah wa asy-hadu anna muhammadarrasululloh. Wa Shallallahu’ala rasulillahi wa ‘alaa ‘aaliihi wa ash-habihi wa man tabi’ahum bi ihsaan ilaa yaumiddin.

Amma ba’du.

Orang Muslim beriman kepada malaikat-malaikat Allah Ta’alaa, bahwa mereka makhluk-Nya yang paling mulia, hamba-hamba-Nya yang dimuliakan di antara hamba-hamba-Nya, Allah Ta’alaa menciptakan mereka dari cahaya, sebagaimana Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar, dan menciptakan jin dari nyala api yang tidak ada asap di dalamnya, bahwa Allah Ta’alaa memberikan tugas kepada para malaikat, kemudian mereka menjalakannya. Di antara mereka ada yang ditugaskan menjaga hamba-hamba-Nya, ada yang ditugaskan mencatat amal perbuatan manusia, ada yang ditugaskan menjaga surga dan kenikmatannya, ada yang ditugaskan menjaga neraka dan siksanya, ada yang ditugaskan bertasbih pada malam hari, dan ada yang ditugaskan bertasbih pada siang hari tanpa merasa lelah sedikit pun.

Serta bahwa Allah Ta’alaa melebihkan sebagian malaikat atas sebagian malaikat yang lain di antara mereka ada malaikat-malaikat yang didekatkan kepada-Nya seperti Malaikat Jibril, Mlaaikat Mikail dan Malaikat Israfil, dan ada malaikat-malaikat yang tidak didekatkan kepada-Nya.

Orang Muslim mengimani itu semua karena petunjuk Allah Ta’alaa kepadanya, kemudian karena dalil-dalil wahyu dan dalil-dalil akal.

Dalil-dalil Wahyu

1. Perintah Allah ta’alaa untuk beriman kepada para malaikat dan penjelasan-Nya tentang mereka, misalnya pada firman-firman-Nya berikut ini:

artinya:“Barangsiapa kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya” [An-Nisa’: 136]

Firman Allah Ta’alaa:

artinya: “Barangsiapa menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail , maka sesungguhnya Allah adalah musuh bagi orang-orang kafir” [Al Baqarah:98]

Firman Allah Ta’alaa

artinya: “Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah)” [An-Nisa’:172]

Firman Allah Ta’alaa

artinya: “Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung Arasy Tuhanmu di atas mereka” [Al Haqqah:17]

Firman Allah Ta’alaa

artinya: “Dan Kami tidak menjadikan penjaga neraka melainkan dari malaikat” [Al Muddatstsir: 31]

Firman Allah Ta’alaa

artinya: “Dan malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan), ‘Salam sejahtera atas kalian karena kesabaran kalian.’ Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu” [Ar-Ra’du:23-24]

Firman Allah Ta’alaa

artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khlalifah) di muka bumi itu roang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’. Allah berfirman, ‘Sessungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui”. [Al Baqarah:30]

2. Penjelasan Rasululloh Shallallahu’alaihi wa salam tentang para malaikat dalam doa beliau ketika melakukanqiyamullail pada suatu malam

artinya: “Yaa Allah Tuhannya Jibril, Tuhannya Mikail, Tuhannya israfil. Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui alam ghaib dan alam nyata, Engkau memutuskan di antara hamba-hamba-Mu dalam apa yang mereka perselisihkan, berilah aku petunjuk kepada kebenaran yang mereka berselisih di dalamnya dengan izin-Mu, karena Engkau memberi petunjuk siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.” [HR Muslim]

Rasululloh Shallallahu’alaihi wa salam bersabda,

“Langit bersuara, dan ia layak bersuara. Di dalamnya tidak ada satu tempat pun untuk empat jari-jari, melainkan di atasnya terdapat malaikat yang sujud.” [HR. Ibnu Abi Hatim, hadits ini ada cacatnya]

Rasululoh Shallallahu’alaihi wa salam bersabda,

“Sesungguhnya Al-Bait Al Ma’mur dalam setiap hari dimasuki tujuh puluh ribu malaikat dan mereka tidak kembali kepadanya.” [HR Bukhari dan Muslim]

Rasululloh Shallallahu’alaihi wa salam bersabda,

“Pada hari Jum’at, di setiap pintu-pintu masjid terdapat malaikat-malaikat yang menulis. Orang pertama dan seterusnya. Jika imam telah duduk, maka para malaikat menutup buku catatannya, kemudian mereka mendengarkan dzikir.” [HR Imam Malik. Hadits shahih]

Rasululloh Shallallahu’alaihi wa salam bersabda,

“Terkadang Malaikat menjelma kepadaku seperti seoranglaki-laki kemudian ia berbicara kepadaku dan aku memahami apa yang ia ucapkan.” [HR. Al Bukhari]

Rasululloh Shallallahu’alaihi wa salam bersabda,

“Malaikat malam dan malaikat siang secara bergantian datang kepada kalian.” [HR Al Bukhari]

Rasululloh Shallallahu’alaihi wa salam bersabda,

“Allah menciptakan malaikat dari cahaya, menciptakan jin dari nyala api, dan menciptakan Adam dari apa yang disifatkan kepada kalian.” [HR. Muslim]

3. Penglihatan sejumlah besar shahabat kepada para Malaikat di Perang Badar, dan penglihatan mereka secara kolektif lebih dari sekali kepada Malaikat Jibril, penyampai wahyu, sebab terkadang Malaikat Jibril datang dalam bentuk serupa dengan Dihyah Al Kalbi, salah seorang sahabat yang tampan, dan para shahabat bisa melihatnya. Yang paling terkenal dalam hal ini ialah hadits Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu di Shahih Muslim di mana ia di dalamnya Rasululloh Shallallahu’alaihi wa salam bersabda, “Tahukah kalian siapa penanya tadi?” Para shahabat menjawabnya. “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”. Rasululloh shallallahu’alaihi wa salam bersabda, “Penanya tadi adalah Malaikat Jibril. Ia datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kepada kalian.”

4. Keimanan milyaran orang dari kaum Mukminin pengikut para rasul di semua zaman dan tempat kepada para malaikat, dan pembenaran mereka tentang penjelasan para rasul tentang para malaikat tersebut tanpa ragu-ragu.

Dalil-dalil Akal

1. Sesungguhnya akal tidak memustahilkan keberadaan para malaikat, dan tidak memungkirinya, karena akal hanya memustahilkan dan memungkiri pertemua dua hal yang saling berlawanan, seperti sesuatu itu tidak ada dan tidak ada pada saat yang sama, atau keberadaan dua hal yang saling bertentangan, seperti keberadaan gelap dan terang pada saat yang sama. Iman kepada para malaikat tidak mengharuskan itu semua.

2. Jika telah diterima kalangan mannusia, bahwa bekas sesuatu itu menunjukkan keberadaan sesuatu tersebut, maka para malaikat juga mempunyai bekas yang banyak sekali yang mengharuskan dan menegaskan keberadaan mereka, di antaranya:

a. Sampainya wahyu kepada para nabi, dan para rasul, sebab pada umumnya wahyu sampai pada mereka melalui perantaraan Malaikat Jibril yang ditugaskan menyampaikan wahyu. Ini bekas yang nyata yang tidak bisa dipungkiri, dan itu menegaskan dan menguatkan keberadaan para malaikat.

b. Banyak sekali manusia wafat karena nyawanya dicabut oleh malaikat. Ini juga bekas nyata yang menegaskan keberadaan Malaikat Pencabut Nywawa, dan malaikat-malaikat lainnya. Allah Ta’alaa berfirman:

artinya:”Katakanlah, ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa) kalian akan mematikan kalian’” [Q.S As-Sajdah:11]

c. Penjagaan malaikat terhadap manusia dari gangguan jin, dan gangguan syetan, serta kejahatan keduanya sepanjang hidup manusia. Manusia hidup di antara jin, dan syetan. Jin dan syetan bisa melihat manusia sedang manusia tidak dapat melihat keduanya, dan keduanya mampu mengganggu manusia, sedang manusia tidak sanggup mengganggu keduanya,atau bahkan menolak gangguan keduanya saja manusia tidak sanggup melakukannya. Itu semua adalah bukti keberadaan Malaikat Penjaga Manusia yang melindungi manusia, dan menolak gangguan dari mereka.

Allah Ta’alaa berfirman:

artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan dibelakangnya, mereka juga menjaga atas perintah Allah” [Q.S Ar-Ra’du:11]

3. Ketidak mampuan seseorang untuk melihat sesuatu, karena penglihatannya lemah, atau karena ia tidak mempunyai persiapan sempurna untuk melihat sesuatu tersebut itu tidak memungkiri keberadaan sesuatu tersebut, sebab di dunia ini banyak sekali hal-hal yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, namun sekarang bisa dilihat dengan jelas dengan perantara mikroskop.

[Minhajul Muslim Bab Keimanan Pasal Beriman kepada para malaikat Alaihimus-salam oleh Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi rahimahullah]

Mengarungi Samudra Hadist

Alhamdulillah. Seharusnya kita bersyukur kepada Allah terhadap para ahli hadits yang telah berjasa besar bagi kita. Lantaran atas usaha mereka, kita telah ditunjukkan sebuah jalan yang terang yang mana tidak akan membuat kita tersesat dan tidak membuat kita terjerumus ke dalam jurang kebinasaan. Dan saya benar-benar mengambil banyak hikmah dan pelajaran dari buku-buku mereka dan juga perjalanan hidup mereka. Boleh dibilang semenjak saya mengenal para ahli hadits ini, maka saya paling tidak lebih banyak membaca hadits dan mempelajarinya daripada bergelut di bidang yang lain.

Berikut saya ringkas dengan bahasa saya sendiri buku Pengantar Sejarah Tadwin Hadits yang ditulis oleh Syaikh Abdul Ghofar Ar Rahmani untuk masalah sejarah pengumpulan dan penulisan hadits.

Bicara soal hadits, maka kita telah mengenal beberapa buku hadits seperti Al Muwatha’ Imam Malik, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, dan jugaMusnad Ahmad bin Hambal. Shahih Bukhari dan Muslim, ditambah empat kitab sunan biasanya disebut dengan Kutubus Sittah. Namun ternyata buku-buku hadits itu tidak terbatas kepada apa yang saya sebutkan ini saja, banyak sekali bahkan kita tidak akan bisa menghitungnya lantaran buku-buku tersebut jumlahnya bisa jadi jutaan.

Sejarah pengumpulan hadits ini dimulai dari para shahabat. Di kalangan para shahabat mereka kebanyakan menghafal hadits yang mereka terima dari rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, dan sebagian lagi menulis. Dikarenakan hafalan mereka kuatlah maka banyak di antara mereka menghafalnya selain menulis. Contoh para penghafal ini seperti Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Abdullah bin Abbasradhiyallahu’anhu, Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu, Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhu, Abu Said Al Khudriradhiyallahu’anhu mereka menghafal lebih dari 1.000 hadits.

Sedangkan shahabat lain yang menghafal dibawah 1.000 hadits seperti Abdullah bin Amr bin Ashradhiyallahu’anhu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu. Mereka kurang lebih menghafal 500 sampai dibawah 1.000 hadits.

Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu’anhu, Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu, Ummu Salamah radhiyallahu’anha, Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu’anhu, Abu Dzar Al Ghifari radhiyallahu’anhu, Abu Ayyub Al Anshari radhiyallahu’anhu, Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, dan Muadz bin Jabbal radhiyallahu’anhu, mereka adalah kalangan para shahabat yang menghafal di bawah 500 hadits. Ingat, menghafal.

Setelah para shahabat ada juga dari kalangan tabi’in. Disebut tabi’in karena mereka mengikuti para shahabat, menjadi murid para shahabat. Dan kalangan setelah tabi’in disebut sebagai tabi’ut tabi’in, yaitu pengikut tabi’in, yang mana juga menjadi murid tabi’in. Di kalangan tabi’in terkenal juga seperti Sa’id bin Al Musayyib, Urwah bin Zubayr, Salim bin Abdillah bin Umar, Nafi’. Barangkali sebagian dari kita tidak asing mendengar nama-nama ini ada pada perawi hadits. Kalau kita membaca sanad hadits lengkap, maka kita akan sering mendengar nama-nama tabi’in ini setelah para shahabat. Mereka adalah orang yang berjasa mengumpulkan hadits-hadits dari para shahabat.

Bicara mengenai Periode pengumpulan hadits, maka terbagi menjadi empat periode. Dan masing-masing periode itu sebagian besar hadits dilakukan dengan cara ditulis. Apa saja empat periode tersebut?

Periode Pertama

Hadits pada masa ini dikumpulkan, dihafalkan dan ditulis oleh para shahabat. Namun sekalipun beberapa di antara mereka menulisnya, ternyata lebih banyak dihafalkan daripada ditulis. Karena sebagian dari para shahabat memang tidak bisa menulis pada masa itu. Dan mereka lebih mengandalkan hafalannya.

Karya tulis pada periode pertama ini seperti:

1. Shahifah Ash-Shadiqah

Ditulis oleh Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu’anhu. Beliau menulis dan mencatat apapun yang dikatakan oleh rasulullah shallallahu’alahi wa salam, hingga dari risalah beliau ada sampai lebih dari 1.000 hadits.

2. Shahifah Ash-Shahihah

Dinisbatkan kepada Humam bin Munabbih. Beliau termasuk murid terkenal Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Risalah ini ada semua di dalam musnad Ahmad dan juga ada di Bukhari dan Muslim tanpa ada satu perbedaan pun yang mencolok.

3. Shahifah Basyir bin Nahik

Juga murid dari Abu Hurairah raadhiyallahu’anhu, risalah ini telah disusun olehnya dan diteliti oleh Abu Hurairahradhiyallahu’anhu sendiri sebelum meninggal.

4. Musnad Abu Hurairah radhiyallahu’anhu

Musnad ini ditulis pada masa shahabat. Salinannya ada pada ayahanda Umar bin Abdul ‘Aziz radhiyallahu’anhu, yaitu Abdul ‘Aziz bin Marwan, seorang gubernur Mesir yang meninggal pada tahun 86 H. Musnad ini ditulis lagi oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah, dan sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan Jerman.

5. Shahifah Ali radhiyallahu’anhu

Imam Bukhari menelitinya dan di dalamnya terdapat pembahasan cukup besar mengenai zakat, amaliyah yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan di Madinah, Khutbah Hajjatil Wada’ dan petunjuk-petunjuk Islam.

6. Khutbah Terakhir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam

Pada masa Fathu Makkah, Nabi Shallallahu’aliahi wa salam, memerintahkan Abu Syah Yamani radhiyallahu’anhu untuk menuliskan khutbah terakhir beliau.

7. Shafiyah Jabir Radhiyallahu’anhu.

Murid beliau Wahb bin Munabbih dan Sulayman bin Qays Al-Asykari menghimpun riwayat Jabir radhiyallahu’anhu. Isinya mengenai permasalahan haji dan khutbatul hajjatul wada’.

8. Riwayat Aisyah Ash-Shiddiqah radhiyallahu’anha

Riwayat dari Aisyah ini ditulis oleh murid beliau Urwah bin Zubayr.

9. Ahadits Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu.

Ada cukup banyak kompilasi ahadits Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu. Sa’id bin Jubair diantaranya yang menghimpun ahadits beliau.

10. Shahifah Anas bin Malik radhiyallahu’anhu

Sa’id bin Hilal meriwayatkan bahwa Anas bin Malik radhiyallahu’anhu akan menyebutkan semua hadits yang beliau tulis dengan ingatan/hafalan. Ketika menunjukkan kepada kami, beliau mengatakan: “Saya mendengar langsung riwayat ini dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, saya akan menuliskannya dan membacanya kembali di hadapan rasulullah shallallahu’alaihi wa salam sehingga beliau menyetujuinya”

11. Amru bin Hazm radhiyallahu’anhu

Ketika beliau diangkat menjadi Gubernur dan dikirim ke Yaman, beliau diberi perintah dan petunjuk tertulis. Beliau tidak hanya menjaga petunjuk tersebut, namun juga beliau menambahkan 12 perintah rasulullah shallallahu’alahi wa salam dan beliau jadikan dalam bentuk buku.

12. Risalah Samurah bin Jundub radhiyallahu’anhu

Risalah ini adalah warisan yang diberikan oleh Samurah bin Jundub radhiyallahu’anhu kepada putranya. Dan warisan ini adalah “harta” yang besar.

13. Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu’anhu

14. Maktub Nafi’ radhiyallahu’anhu.

Sulayman bin Musa meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu mendiketkan hadits sedangkan Nafi’ menulisnya.

15. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu

Ma’an meriwayatkan bahwa ‘Abdurahman bin Abdullah bin Mas’ud mengeluarkan buku-buku, ketika beliau membuka penutup buku tersebut, beliau berkata: “Ayahku yang menulis ini”

Periode Kedua

Periode ini dimulai pertengahan abad kedua Hijriyah, dan sejumlah tabi’in mulai menyusun buku. Para penghimpun hadits pada periode kedua ini seperti:

1. Muhammad bin Syihab Az Zuhri (wafat 124 H) kita mengenalnya dengan sebutan Imam Az Zuhri.

Beliau disebut sebagai imam hadits terbesar di zamannya karena menimba ilmu dari orang-orang besar. Dari para shahabat seperti Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu, Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Sahl bin Sa’adradhiyallahu’anhu. Dari kalangan tabi’in seperti Sa’id bin Al Musayyib rahimahullah, Mahmud bin Rabi’ahrahimahullah.

Beliau juga mempunyai murid seperti Imam Al Auza’i rahimahullah, Imam Malik rahimahullah, Sufyan bin ‘Uyainahrahimahullah. Dan mereka juga termasuk imam-imam besar.

Pada tahun 101 H beliau diperintahkan oleh Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah untuk mengumpulkan dan menghimpun hadits. Selain itu juga, Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah memberikan perintah kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar Muhammad bin ‘Amru bin Hazm untuk menuliskan semua ahadits yang dimiliki oleh ‘Umrah bintu ‘Abdirahman dan Qasim bin Muhammad.

Ketika Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah memerintahkan semua orang yang bertanggung jawab di negara Islam untuk mengumpulkan ahadits, kumpulan itu terbentuk sebuah buku. Ketika mereka sampai ke ibukota Damaskus, salinan kopi buku tersebut dikirimkan ke semua penjuru negeri Islam. Setelah Imam Az Zuhri rahimahullah mulai mengumpulkan ahadits, ahli ilmu lainnya mulai turut bergabung bersama beliau, yang terutama diantara mereka adalah:

2. ‘Abdul Malik bin Juraij rahimahullah (wafat 150H) di Makkah

3. Imam Al Auza’i rahimahullah (wafat 157H) di Syam.

4. Mu’ammar bin Rasyid rahimahullah (wafat 153H) di Yaman.

5. Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah (wafat 161H) di Kufah.

6. Imam Hammad bin Salamah rahimahullah (wafat 167H) di Bashra

7. Abdullah bin Al Mubarok rahimahullah (wafat 181H) di Khurasan.

8. Malik bin Anas rahimahullah (93-179H)

Imam Malik merupakan salah satu imam besar yang berguru kepada Imam Az-Zuhri, Imam Nafi’ dan ulama-ulama besar lainnya. Murid beliau ada 900 orang dan pelajaran beliau ini menyebar sampai ke Hijaz, Syam, Mesir, Afrika dan Andalusia (Spanyol). Murid-murid beliau antara lain:

– Laits bin Sa’ad rahimahullah (wafat 175H)

– Abdullah bin Al Mubarak rahimahullah (wafat 181H)

– Imam Asy Syafi’i rahimahullah (wafat 204H)

– Imam Muhammad bin Hasan Asy Syaibani rahimahullah (wafat 189H)

Karya Tulis pada periode Kedua

1. Al Muwatho’ Imam Malik

Buku ini ditulis dalam rentang waktu tahun 130 Hijriyah sampai 141 Hijriyah. Buku ini memiliki kurang lebih 1.720 hadits, di mana isinya ada 600 hadits marfu’ (terangkat sampai kepada Nabi Shallallahu’alaihi wa salam), 222 hadits mursal (ada perawi shahabat yang digugurkan), 617 hadits mauquf (terhenti sampai di tabi’in), 275 sisanya adalah ucapan dari tabi’un.

2. Jami’ Sufyan Ats-Tsauri

3. Jami’ Abdullah ibnul Mubarok

4. Jami’ Imam Al Auza’i.

5. Jami’ Ibnu Juraij

6. Kitabul Akhraj karya Qadhi Abu Yusuf

7. Kitabul Atsar karya Imam Muhammad

Periode Ketiga

Periode ini dimulai dari abad kedua hijriyah sampai akhir abad keempat. Pada masa ini hadits nabi, atsarshahabat dan aqwal (ucapan) tabi’in dipisahkan, dikategorikan, dan dibedakan. Riwayat yang maqbulah(diterima) dihimpun secara terpisah dan buku-buku pada abad kedua diperiksa kembali dan di-tashhih(diautentikasi). Selama periode ini pula bukan hanya riwayat yang dikumpulkan, tetapi juga mulai diformulasikan macam-macam ilmu yang berkaitan dengan hadits hingga sampai 100 macam ilmu, dan juga ribuan buku mengenai ilmu-ilmu itu juga ditulis.

Imam Hazimi (wafat 784H) penulis Kitabul I’tibar fi Naskhi mengatakan: “Macam dan jenis ilmu Mustholahul Hadits mencapai hampir 100 macam, dan tiap pembahasan memiliki ilmunya sendiri. Apabila seorang penuntut ilmu menghabiskan umurnya untuk mempelajarinya niscaya tidak akan cukup.” (Lihat Tadiribur Ridwan hal.9). Ibnu Sholah sendiri, menyebutkan 65 macam jenis ilmu ini di dalam bukunya ‘Ulumul Hadits.

‘Ulumul Hadits

1. Asma’ur Rijal

Pada ilmu ini, keadaan, lahir, wafat, guru dan murid-murid dikumpulkan dan dihimpun secara terperinci, dan berdasarkan perincian perawi ini, seorang perawi mendapatkan predikat shidiq (terpercaya), tsiqoh (kredibilitas) atau ketidak tsiqoh-an-nya. Ilmu ini sangat menarik dan ada rincian sebanyak 500.000 perawi telah disusun.

Banyak buku mengenai ilmu ini ditulis, di antaranya:

– Tahzibul Kamil karya Imam Yusuf Al-Mizzi (wafat 742H), salah satu buku penting dalam ilmu ini.

– Tahzibut Tahzib karya Imam Al Hafizh Ibnul Hajar rahimahullah.

– Tadzkiratul Huffazh karya Al-Allamah Adz Dzahabi (wafat 748H).

– ‘Izzuddin Ibnul ‘Atsir (wafat 630H) juga menulis buku berjudul Asadul Ghobah fi Asma’is Shohabah.

2. Ilmu Mustholahul Hadits (‘Ushulul Hadits)

Dengan ilmu inilah standar dan hukum hadits serta keshahihan dan kedha’ifan suatu hadits dapat ditegakkan. Buku yang terkenal dalam bidang ilmu ini adalah:

-Ulumul Hadits al-Ma’ruf bi Muqoddimati Ibn Ash Sholah oleh Abu Umar ‘Utsman bin Ash Sholah (wafat 557H)

– Taujihun Nazhor karya Al-Allamah Thahir bin Shalih Al Jaza’iri (wafat 1338H)

– Qowaidut Tahdits karya Al-Allamah Sayyid Jamaluddin Al Qashimi (wafat 1332H)

3. Ilmu Ghoribul Hadits

Di dalam ilmu ini, kata-kata dan makna yang sulit diteliti dan dipelajari. Diantara buku-buku dalam ilmu ini adalah:

– Al Fa’iq karya Az Zamakhsyari.

– An Nihayah karya Al Ma’ruf ibnu Atsir.

4. Ilmu Takhrijul Hadits.

Dari ilmu ini kita dapat menemukan dimana (sumber) suatu hadits yang berkaitan dengan ilmu tertentu yang banyak ditemukan dari buku-buku tafsir, aqidah ataupun fiqih, seperti:

– Al Hidayah karya Burhanuddin Ali bin Abi Bakr Al Marghani (wafat 592H).

– Ihya’ Ulumuddin karya Abu Hamid Al-Ghazali (wafat 505H)

Kedua buku di atas banyak memiliki riwayat tanpa sanad atau sumber. Apabila seseorang ingin mengetahui derajat atau sumber hadits pada kedua buku ini dari buku hadits terkenal, maka buku-buku pertama yang bisa dirujuk adalah:

– Nashbur Rayah karya Al Hafizh Zaila’i (wafat 792H)

– Kitabut Diroyah karya Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani (wafat 852H)

– Al Mughni an Hamlil Ashfar karya Al Hafizh Zainuddin Al-Iraqi (wafat 806H)

5. Ilmu Al Hadits Al Maudhu’ah

Dalam ilmu ini, ahli ilmu menuliskan sebuah buku khusus, dimana mereka memisahkan antara hadits maudhu’(palsu) dengan hadits shahih. Diantara buku terbaik yang dikenal seperti:

– Fawa’id Al Majmu’ah karya Al Qodhi Asy Syaukani (wafat 1255H)

– ‘Ilalul Masnu’ah karya Jalaluddin Asy Syuyuthi (wafat 911H). Judul lengkapnya ‘Ilalul Masnu’ah fil Ahadits Al Maudu’ah merupakan buku ringkasan kitabul Maudhu’at karya Ibnul Jauzy rahimahullah.

6. Ilmu Nasikh Wal Mansukh

Ilmu ini adalah ilmu tentang nash yang membatalkan/abrogasi (nasikh) dan yang dibatalkan/diabrogasi (mansukh). Di antara buku yang ditulis dalam bidang ini adalah buku-buku karya Ahmad bin Ishaq ad-Dainari (wafat 318H), Muhammad bin Bahr Al-Ishbahani (wafat 322H), Hibatullah bin Salamah (wafat 410H). Dalam ilmu ini, salah satu karya yang terkenal adalah Kitabul I’tibar karya Muhammad Musa Al Hazimi (wafat 784H).

7. Ilmu At-Taufiq Baynal Hadits

Di dalam ilmu ini, ahadits shahihah yang paling kontradiktif (tanaqudh) satu dengan lainnya, dibahas dan diselesaikan.

– Imam Asy Syafi’ie rahimahullah (wafat 204H) adalah orang pertama yang membicarakan ilmu ini di dalam buku beliau berjudul Ar Risalah, yang dikenal dengan ilmu Mukhtaliful Hadits.

– Karya Imam Ath Thohawi rahimahullah (wafat 321H), Musykilul Atsar juga merupakan buku yang bermanfaat.

8. Ilmu Mukhtalif wal Mu’talaf

Ilmu ini menyebutkan nama-nama perawi, kunyah (julukan), gelar, orang tua, ayah atau guru mereka, yang sama/mirip antara perawi satu dengan yang lainnya, sehingga seorang peneliti dapat melakukan kesalahan karenanya. Buku Ibnu Hajar (wafat 852H) yang berjudul Ta’birul Munabbih adalah salah satu contoh utama dalam ilmu ini.

9. Ilmu Athroful Hadits

Ilmu ini memudahkan untuk mencari sebuah riwayat dan buku hadits serta para perawinya dapat ditemukan di dalam ilmu ini. Sebagai contoh, penggalan pertama hadits : “Sesungguhnya setiap ‘amal itu tergantung niatnya…”, apabila anda ingin mendapatkan semua kata pada hadits tersebut sekaligus perawinya, maka anda perlu merujuk pada ilmu ini dan buku-buku yang ditulis dalam bidang ilmu ini, seperti:

– Kitab Tuhfatul Asyraf karya Al Hafizh Al Muzanni (wafat 742H). Buku ini mengandung daftar seluruh hadits di dalam kutubus sittah (kitab induk hadits yang enam). Al Muzanni menghabiskan waktu selama 26 tahun untuk karyanya ini yang melibatkan pengkategorisasian yang melelahkan. Setelah upaya yang besar ini akhirnya buku beliau ini dapat diselesaikan.

10. Fiqhul Hadits

Di dalam ilmu ini, semua hadits shahih yang berkaitan dengan ahkam dan perintah dikumpulkan. Di dalam bidang ilmu ini, buku-buku yang dapat diambil faidahnya adalah:

– I’lamul Muwaqqin karya Syaikhul Islam Ibnul Qayyim Al Jauziyah (wafat 751H)

– Hujjatullah Al-Balighah karya Syah Waliyullah Ad-Dihlawi (wafat 1176H)

Selain itu, ada juga buku-buku yang ditulis berkenaan dengan permasalahan dan topik lainnya, seperti misalnya dalam bidang harta:

– Kitabul Amwal yang terkenal, karya Abu ‘Ubaid Qasim bin Sallam (wafat 224H)

– Kitabul Akhraj karya Qadhi Abu Yusuf (wafat 182H)

Bagi mereka para pengingkar hadits (ingkarus sunnah), maka mereka adalah sasaran dari pemahaman yang bathil. Bagi mereka buku-buku di bawah ini bisa memberikan faidah, apabila mereka mau menelaahnya:

– Kitabul Umm karya Imam Asy Syafi’ie rahimahullah (wafat 204H) juz VII.

– Ar Risalah karya Imam Asy Syafi’ie (wafat 204H)

– Al Muwafaqat karya Imam Abu Ishaq Asy Syathibi (wafat 790H), juz VI.

– Ash Showa’iqul Mursalah karya Ibnul Qayyim Al Jauziyah (wafat 751H), juz II dan

– Al Ahkam karya Ibnu Hazm Al Andalusi (wafat 456H)

Penyusunan buku pada periode ketiga

1. Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah ( 164-241H )

Karya beliau yang paling utama adalah Musnad Ahmad yang tersusun dari 30.000 hadits dalam 24 juz dan kebanyakan riwayat terdapat di dalam buku ini. Buku ini disusun berdasarkan nama-nama shahabat dalam pengkategoriannya. Buku ini kemudian dikategorikan sesuai tema oleh ulama Mesir bernama Muhaddits Muhammad Ahmad Syakir mengambil tanggung jawab mengakategorisasikan buku ini berdasarkan tema dan sejauh ini beliau telah mencetak 15 jilid.

2. Imam Muhammad bin Isma’il Al Bukhari rahimahullah (194-246H)

Shahih Al Bukhari adalah karya utama Imam Bukhari. Judul lengkap buku beliau ini adalah Al Jami’ Ash Shahih Al Musnad Al Mukhtashor min Umuri Rasulillahi Shallallahu ‘alaihi wa salam wa ayyamihi. Beliau menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk menyusun buku ini. Jumlah murid beliau yang membaca buku shahih ini bersama beliau adalah sebanyak 90.000 orang. Terkadang, dalam satu kali pertemuan, yang menghadiri majilis beliau mencapai 30.000 orang. Standar penelitian Imam Bukhari terhadap hadits adalah yang paling ketat dibandingkan ulama hadits lainnya.

3. Imam Muslim bin Hajjaj Al Qushayri rahimahullah (202-261H)

Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Bukhari adalah termasuk guru-guru beliau. Adapun Imam At Tirmidzi, Abu Hatim Ar Razi dan Abu Bakr bin Khuzaimah termasuk murid-murid beliau. Buku beliau memiliki derajat tertinggi dalam pengkategorisasian (tabwib).

4. Abu Dawud Asy’ats bin Sulayman As Sijistani rahimahullah (204-275H)

Karya utama beliau dikenal dengan sebutan Sunan Abi Dawud. Buku beliau ini, utamanya menggabungkan antara riwayat-riwayat yang berkaitan dengan ahkam dengan ringkasan (kompendium) permasalahan fiqih yang berkaitan dengan hukum. Bukunya tersusun dari 4.800 hadits.

5. Imam Abu Isa At Tirmidzi rahimahullah (209-279H)

Buku beliau, Jami’ At Tirmidzi menyebutkan seputar permasalahan fiqih dengan penjelasan terperinci.

6. Imam Ahmad bin Syu’aib An Nasa’i rahimahullah (wafat 303H)

Bukunya dikenal dengan Sunan Nasa’i.

7. Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Al Qazdiani rahimahullah (wafat 273H)

Bukunya dikenal dengan sunan Ibnu Majah.

Selain buku-buku di atas sebenarnya banyak lagi buku-buku yang lain. Buku Bukhari, Muslim dan Tirmidzi disebut dengan Jami’, disebabkan buku mereka mengandung masalah Aqo’id, ibadah, akhlaq, khobar dan lainnya. Adapun Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Majah disebut dengan Sunan, karena buku-buku ini mengandung hadits yang menyinggung masalah duniawi (mu’amalah).

Thobaqot (tingkatan) buku-buku Hadits

1. Berdasarkan landasan dan istilah hadits serta keterpercayaan para perawinya, Muwatho’ Imam Malik, Shahih Bukhari, dan Shaih Muslim, memiliki derajat tertinggi.

2. Abu Dawud, at Tirmidzi dan An Nasa’i, keterpercayaan para perawinya di bawah kategori pertama, namun mereka masih dianggap dan dipercaya. Kategori ini juga mencakup Musnad Ahmad.

3. Ad Darimi (wafat 225H), Ibnu Majah, Al Baihaqi, Ad Daruquthni (wafat 358H) buku-buku ath Thabrani (wafat 360H), buku-buku ath Thohawi (wafat 321H), Musnad Imam Asy Syafi’ie dan Mustadrak Al Hakim (wafat 405H), buku-buku ini mengandung semua macam hadits, baik yang shahih maupun yang dha’if.

4. Buku-buku Ibnu Jarir Ath Thohawi (wafat 310H), buku-buku Al Khathib Al Baghdadi (wafat 463H), Abu Nu’aim (wafat 403H), Ibnu ‘Asakir (wafat 571H), Ad Dailami (wafat 509H) penulis Firdaus, Al Kamil karya Ibnu Adi (wafat 35H), buku-buku ibnu Marudiyah (wafat 410H), Al Waqidi (wafat 207H), dan buku-buku lainnya termasuk dalam kategori ini. Kesemua buku-buku ini adalah himpunan riwayat yang mengandung riwayat-riwayat palsu (maudhu’). Sekiranya buku-buku ini diteliti, niscaya akan banyak faedah yang diperoleh.

Periode Keempat

Periode ini, dimulai dari abad kelima hijriyah sampai hari ini. Karya-karya yang telah dihasilkan pada periode ini antara lain:

1. Penjelasan (syarah), catatan kaki (hasiyah) dan penterjemahan buku-buku hadits ke dalam berbagai bahasa.

2. Lebih banyak buku-buku dalam ilmu hadits yang disebutkan, disyarh dan diringkas.

3. Para ulama, dengan kecerdasannya dan didorong kebutuhan mereka terhadap ilmu hadits, menyusun buku-buku hadits yang dicuplik dari buku-buku yang telah ditulis dan disusun pada abad ketiga. Diantaranya adalah:

– Misykatus Mashabih karya Waliyuddin Khathib. Di dalam buku ini, riwayat-riwayatnya disusun berdasarkan masalah aqidah, ibadah, mu’amalah dan akhlaq.

– Riyadhus Shalihin min Kalimil Sayyidil Mursalin atau dikenal dengan Riyadhus Shalihin karya Imam Abu Zakarya Yahya bin Syarf An Nawawi (wafat 676H). pensyarh kitab Shahih Muslim. Buku ini menghimpun masalah akhlaq dan adab secara umum. Tiap temanya senantiasa diawali dengan ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan tema. Hal ini merupakan ciri utama buku ini, dan metode ini pula yang merupakan ciri utama buku ini, metode ini pula yang ditempuh oleh Shahih Bukhari.

– Muntaqa Al Akhbar karya Mujaddid Ad-Din Abul Barakat Abdus Salam bin Taimiyah (wafat 652H). Beliau adalah kakek dari Syaikhul Islam Taqiyuddin Ahmad Ibnu Taimiyah (wafat 728H). Qadhi Asy Syaukani menulis sebuah syarah buku ini dalam 8 jilid, yang berjudul Nailul Authar.

– Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al Asqolani (wafat 852H), pensyarah kitab Shahih Bukhari.

Buku ini, utamanya tersusun atas hadits-hadits yang berkaitan dengan ibadah dan mu’amalah. Syarh(penjelasan) buku ini dilakukan oleh Muhammad Isma’il Ash-Shan’ani (wafat 1182H) di dalam buku beliau yang berjudul Subulus Salam Syarh Bulughul Maram. Adalagi syarh dalam bahasa Farsi (Persia) yang ditulis oleh Syaikh Nawwab Shiddiq Hasan Khan Al Bupali (wafat 1307) yang berjudul Masakul Khatam Syarh Bulughil Maram.

Selesai ringkasan.

Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar dan Salahuddin Al Ayubi pro Maulid Nabi?

Sebagian orang selalu mencari-cari dalil untuk membenarkan amalan tanpa tuntunan yang ia lakukan. Di antara cara yang dilakukan adalah menjadikan perkataan ulama Ahlus Sunnah sebagai argumen untuk mendukung bid’ah mereka. Inilah yang terjadi dalam perayaan Maulid Nabi. Di antara perkataan ulama Ahlus Sunnah yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, disalahpahami oleh sebagian kalangan sehingga beliau pun disangka mendukung perayaan Maulid. Begitu pula ada perkataan lain dari Ibnu Hajar Al ‘Asqolani mengenai hal ini. Ibnu Hajar adalah di antara ulama yang memiliki ketergelinciran dalam masalah Maulid. Nantinya kami juga akan membahas syubhat (kerancuan) lainnya yang sengaja disuarakan oleh para simpatisan Maulid seperti pemutarbalikkan sejarah Maulid yang disangka dipelopori oleh Shalahuddin Al Ayubi. Semoga Allah memudahkan untuk mengungkap yang benar dan yang batil. Allahumma yassir wa a’in (Ya Allah, mudahkan dan tolonglah).

Kerancuan Pertama: Salah Paham dengan Perkataan Ibnu Taimiyah

Di salah satu website yang kami telusuri, ada perkataan Syaikhul Islam sebagai berikut, “Merayakan maulid dan menjadikannya sebagai kegiatan rutin dalam setahun sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian orang, akan mendapatkan pahala yang besar sebab tujuannya baik dan mengagungkan Rasulullah SAW.

Perkataan beliau inilah yang menjadi dasar sebagian kalangan yang menyatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung Maulid. [1]

Kalimat selengkapnya terdapat dalam kitab Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim sebagai berikut.

فتعظيم المولد واتخاذه موسما قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعيظمه لرسول الله صلى الله عليه وآله وسلم كما قدمته لك أنه يحسن من بعض الناس ما يستقبح من المؤمن المسدد ولهذا قيل للامام أحمد عن بعض الأمراء إنه أنفق على مصحف ألف دينار ونحو ذلك فقال دعه فهذا أفضل ما أنفق فيه الذهب أو كما قال  مع أن مذهبه أن زخرفة المصاحف مكروهة وقد تأول بعض الأصحاب أنه أنفقها في تجديد الورق والخط وليس مقصود أحمد هذا وإنما قصده أن هذا العمل فيه مصلحة وفيه أيضا مفسدة كره لأجلها فهؤلاء إن لم يفعلوا هذا وإلا اعتاضوا الفساد الذي لا صلاح فيه مثل أن ينفقها في كتاب من كتب الفجور ككتب الأسماء أوالأشعار أو حكمة فارس والروم

Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara tahunan, hal ini terkadang dilakukan oleh sebagian orang.Mereka pun bisa mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang aku telah jelaskan sebelumnya bahwasanya hal itu dianggap baik oleh sebagian orang tetapi tidak dianggap baik oleh mukmin yang mendapat taufik.

Oleh karena itu, diceritakan kepada imam Ahmad mengenai beberapa pemimpin (umaro’) bahwasanya mereka menginfaqkan 1000 dinar untuk pencetakan Mushaf. Maka beliau berkata, “Biarkan mereka melakukan itu, itulah infaq terbaik yang dapat mereka lakukan dengan emas” atau sebagaimana yang Imam Ahmad katakan. Padahal menurut madzhab Imam Ahmad, makruh hukumnya memperindah mushaf. Namun sebagian pengikut Imam Ahmad menafsirkan maksud Imam Ahmad adalah beliau memakruhkan memperbaharui kertas dan khothnya. Namun sebenarnya maksud Imam Ahmad bukanlah seperti yang ditafsirkan ini. Imam Ahmad memaksudkan bahwa memperindah mushaf ini ada mashlahat (manfaat) di satu sisi dan ada pula mafsadatnya (bahayanya). Inilah yang beliau makruhkan.

Namun perlu diketahui bahwa jika mereka (para umara’) tidak melakukan hal  ini (yaitu memperindah mushaf), tentu mereka akan melakukan hal-hal lain yang tidak berfaedah. Misalnya para umara’ tersebut malah menyalurkan infaq mereka untuk mencetak buku-buku tidak bermoral: buku cerita yang hanya menghabiskan waktu, buku sya’ir (yang sia-sia belaka) dan buku filsafat dari Persia dan Romawi.[2] Demikian perkataan beliau rahimahullah.

Jika seseorang membaca teks di atas secara utuh, insya Allah dia tidak memiliki pemahaman yang keliru. Lihat baik-baik perkataan beliau di atas: ”Mereka pun bisa mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang aku telah jelaskan sebelumnya bahwasanya hal itu dianggap baik oleh sebagian orang tetapi tidak dianggap baik oleh mukmin yang mendapat taufik”. Dari perkataan beliau ini menunjukkan bahwa perayaan Maulid tidak dianggap baik oleh orang-orang yang mendapat taufik. Jika ada yang menganggap amalan Maulid itu baik, maka dia adalah orang yang keliru. Maka ini menunjukkan bahwa Maulid bukanlah amalan yang baik.

Coba kita lihat kembali perkataan Syaikhul Islam lainnya dalam kitab yang sama (Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim) agar kita tidak salah keliru dengan perkataan beliau di atas. Dalam beberapa lembaran sebelumnya, Syaikhul Islam mengatakan,

وكذلك ما يحدثه بعض الناس إما مضاهاة للنصارى في ميلاد عيسى عليه السلام وإما محبة للنبي صلى الله عليه و سلم وتعظيما له والله قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد لا على البدع من اتخاذ مولد النبي صلى الله عليه و سلم عيدا مع اختلاف الناس في مولده فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضى له وعدم المانع منه ولو كان هذا خيرا محضا أو راجحا لكان السلف رضي الله عنهم أحق به منا فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه و سلم وتعظيما له منا وهم على الخير أحرص وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته وطاعته واتباع أمره وإحياء سنته باطنا وظاهرا ونشر ما بعث به والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان فإن هذه هي طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسا

Begitu pula halnya dengan kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian orang. Boleh jadi perbuatan mereka menyerupai tingkah laku Nashrani sebagaimana Nashrani pun memperingati kelahiran (milad) ‘Isa ‘alaihis salam. Boleh jadi maksud mereka adalah mencintai dan mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh jadi Allah memberi ganjaran kepada mereka dikarenakan kecintaan dan kesungguhan mereka, dan bukan bid’ah maulid Nabi yang mereka ada-adakan sebagai perayaan. Padahal perlu diketahui bahwa para ulama telah berselisih pendapat mengenai tanggal kelahiran beliau. Apalagi merayakan maulid sama sekali tidak pernah dilakukan oleh para salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in). Padahal ada faktor pendorong (untuk memuliakan nabi) dan tidak ada faktor penghalang di kala itu. Seandainya merayakan maulid terdapat maslahat murni atau maslahat yang lebih besar, maka para salaf tentu lebih pantas melakukannya daripada kita. Karena sudah kita ketahui bahwa mereka adalah orang yang paling mencintai dan mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kita. Mereka juga tentu lebih semangat dalam kebaikan dibandingkan kita. Dan perlu dipahami pula bahwa cinta dan pengagungan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sempurna adalah dengan ittiba’ (mengikuti)  dan mentaati beliau yaitu dengan mengikuti setiap perintah, menghidupkan ajaran beliau secara lahir dan batin, menyebarkan ajaran beliau dan berjuang (berjihad) untuk itu semua dengan hati, tangan dan lisan. Inilah jalan hidup para generasi utama dari umat ini, yaitu kalangan Muhajirin, Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.”[3]

Kami rasa sudah jelas jika kita memperhatikan penjelasan beliau yang kedua ini. Jelas sekali beliau menyatakan perayaan Maulid itu tidak ada salafnya (pendahulunya) artinya amalan yang tidak ada tuntunannya, bahkan merayakan Maulid sama halnya dengan Natal yang dirayakan oleh Nashrani. Lantas dengan penjelasan beliau ini apakah masih menuduh beliau rahimahullah mendukung maulid?!

Mohon jangan menukil perkataan beliau sebagian saja, cobalah pahami perkataan beliau secara utuh di halaman-halaman lainnya dalam kitab Iqtidho’. Simak baik-baik perkataan beliau di atas: “Boleh jadi Allah memberi ganjaran kepada mereka dikarenakan kecintaan dan kesungguhan mereka, dan bukan bid’ah maulid Nabi yang mereka ada-adakan sebagai perayaan.” Dari sini, beliau menggolongkan maulid sebagai bid’ah karena memang tidak pernah diadakan oleh para salaf dahulu (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in). Namun perayaan ini dihidupkan dan diada-adakan oleh Dinasti ‘Ubaidiyyun[4]. Dan ingat, beliau katakan bahwa mudah-mudahan mereka mendapat pahala karena mengangungkan dan mencintai beliau, namun bukan pada acara bid’ah maulid yang mereka ada-adakan.Mohon pahami baik-baik perkataan beliau ini. Semoga Allah beri kepahaman.

Lebih tegas lagi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan mengenai Maulid Nabi dapat dilihat dalam Majmu’ Al Fatawa sebagai berikut.

وَأَمَّا اتِّخَاذُ مَوْسِمٍ غَيْرِ الْمَوَاسِمِ الشَّرْعِيَّةِ كَبَعْضِ لَيَالِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ الَّتِي يُقَالُ : إنَّهَا لَيْلَةُ الْمَوْلِدِ أَوْ بَعْضِ لَيَالِيِ رَجَبٍ أَوْ ثَامِنَ عَشَرَ ذِي الْحِجَّةِ أَوْ أَوَّلِ جُمْعَةٍ مِنْ رَجَبٍ أَوْ ثَامِنِ شَوَّالٍ الَّذِي يُسَمِّيهِ الْجُهَّالُ عِيدَ الْأَبْرَارِ فَإِنَّهَا مِنْ الْبِدَعِ الَّتِي لَمْ يَسْتَحِبَّهَا السَّلَفُ وَلَمْ يَفْعَلُوهَا وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ .

“Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ‘Idul Abror (lebaran ketupat)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya. Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.[5]

Renungkan perkataan beliau baik-baik. Apakah bisa dipahami dari perkataan terakhir ini bahwa beliau mendukung Maulid? Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita sekalian agar bisa membedakan mana yang benar dan mana yang keliru.

Kerancuan Kedua: Ibnu Hajar Al ‘Asqolani Membolehkan Maulid Nabi

Perkataan berikut kami nukil dari kitab Al Hawiy yang ditulis oleh Imam As Suyuthi.[6]

وقد سئل شيخ الإسلام حافظ العصر أبو الفضل بن حجر عن عمل المولد فأجاب بما نصه: أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة وإلا فلا قال وقد ظهر لي تخريجها على أصل ثابت وهو ما ثبت في الصحيحين من أن النبي صلى الله عليه وسلم قدم المدينة فوجد اليهود يصومون يوم عاشوراء فسألهم فقالوا هو يوم أغرق الله فيه فرعون ونجى موسى فنحن نصومه شكرا لله تعالى فيستفاد منه فعل الشكر لله على ما من به في يوم معين من إسداء نعمة أو دفع نقمة ويعاد ذلك في نظير ذلك اليوم من كل سنة والشكر لله يحصل بأنواع العبادة كالسجود والصيام والصدقة والتلاوة وأي نعمة أعظم من النعمة ببروز هذا النبي نبي الرحمة في ذلك اليوم وعلى هذا فينبغي أن يتحرى اليوم بعينه حتى يطابق قصة موسى في يوم عاشوراء ومن لم يلاحظ ذلك لا يبالي بعمل المولد في أي يوم من الشهر بل توسع قوم فنقلوه إلى يوم من السنة وفيه ما فيه – فهذا ما يتعلق بأصل عمله، وأما ما يعمل فيه فينبغي أن يقتصر فيه على ما يفهم الشكر لله تعالى من نحو ما تقدم ذكره من التلاوة والإطعام والصدقة وإنشاد شيء من المدائح النبوية والزهدية المحركة للقلوب إلى فعل الخير والعمل للآخرة وأما ما يتبع ذلك من السماع واللهو وغير ذلك فينبغي أن يقال ما كان من ذلك مباحا بحيث يقتضي السرور بذلك اليوم لا بأس بإلحاقه به وما كان حراما أو مكروها فيمنع وكذا ما كان خلاف الأولى

Syaikhul Islam Hafizh di masa ini, Abul Fadhl Ibnu Hajar ditanya mengenai amalan Maulid, beliau pun menjawab dengan redaksi sebagai berikut:

“Asal  melakukan maulid adalah bid’ah, tidak diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama, akan tetapi didalamnya terkandung kebaikan-kebaikan dan juga kesalahan-kesalahan. Barangsiapa melakukan kebaikan di dalamnya dan menjauhi kesalahan-kesalahan, maka ia telah melakukan buid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Saya telah melihat landasan yang kuat dalam hadist sahih Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab, “Itu hari dimana Allah menenggelamkan Firaun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa untuk mensyukuri itu semua.” Dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa boleh melakukan syukur pada hari tertentu di situ terjadi nikmat yang besar atau terjadi penyelamatan dari mara bahaya, dan dilakukan itu tiap bertepatan pada hari itu. Syukur bisa dilakukan dengan berbagai macam ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, membaca al-Qur’an dll. Apa nikmat paling besar selain kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di muka bumi ini. Maka sebaiknya merayakan maulid dengan melakukan syukur berupa membaca Qur’an, memberi makan fakir miskin, menceritakan keutamaan dan kebaikan Rasulullah yang bisa menggerakkan hati untuk berbuat baik dan amal sholih. Adapun yang dilakukan dengan mendengarkan musik dan memainkan alat musik, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum pekerjaan itu. Kalau perkara yang dilakukan ketika itu mubah maka hukum merayakannya mubah, kalau itu haram maka hukumnya haram dan kalau itu kurang baik maka begitu seterusnya”.[7]

Sanggahan untuk kerancuan di atas:

Pertama: Yang harus dipahami dari setiap perkataan ulama bahwa mereka tidaklah ma’shum, artinya mereka tidaklah luput dari kesalahan dan ketergelinciran. Oleh karenanya, seharusnya yang jadi pegangan adalah dalil. Janganlah bersikap mengambil pendapat mereka yang ganjil berdasarkan selera dan hawa nafsu. Jika ketergelinciran dan kekeliruan mereka yang diambil, maka pasti kita pun akan menuai kejelekan.

Sulaiman At Taimi mengatakan,

لَوْ أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ اِجْتَمَعَ فِيْكَ الشَّرُّ كُلُّهُ

Seandainya engkau mengambil setiap ketergelinciran ulama, maka pasti akan terkumpul padamu kejelekan.” Setelah mengemukakan perkataan ini, Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, ”Ini adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama, saya tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal ini.”

Al Auza’i mengatakan,

مَنْ أَخَذَ بِنَوَادِرِ العُلَمَاءِ خَرَجَ مِنَ الإِسْلاَمِ

Barangsiapa yang mengambil pendapat yang ganjil dari para ulama, maka ia bisa jadi keluar dari Islam.” Asy Syatibi menyampaikan adanya ijma’ (kesepakatan para ulama) bahwa mencari-cari pendapat yang ganjil dari para ulama tanpa ada pegangan dalil syar’i adalah suatu kefasikan dan hal ini jelas tidak dibolehkan.[8]

Kedua: Ibnu Hajar rahimahullah telah mengatakan di atas: “Asal  melakukan maulid adalah bid’ah, tidak diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama”, maka sebenarnya perkataan beliau ini sudah cukup untuk menyatakan tercelanya perayaan Maulid. Cukup sebagai sanggahannya,

لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ

Seandainya amalan tersebut (perayaan maulid) baik, tentu mereka (para sahabat dan tabi’in) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”

Ketiga: Justru dalil  puasa Asyura di atas bisa berbalik pada orang yang pro Maulid. Jika puasa Asyura adalah dalil untuk memperingati Maulid, maka tentu para salaf dahulu akan menjadikannya sebagai dalil. Sudah dipastikan bahwa mereka telah berijma’ (bersepakat) tidak merayakan maulid karena tidak satu pun di antara generasi awal Islam yang merayakannya. Argumen yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah sebenarnya telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan) para ulama salaf dari sisi pemahaman dan pengamalan. Siapa saja yang menyelisihi ijma’ salaf, berarti ia telah keliru. Karena para salaf tidaklah mungkin bersatu melainkan dalam petunjuk.

Keempat: Menyimpulkan dibolehkannya perayaan Maulid dari puasa Asyura adalah pendalilan yang terlalu memberat-beratkan diri dan pendalilan semacam ini tertolak. Karena ingatlah bahwa Maulid adalah ibadah dan bukan amalan sosial sebagaimana kata sebagian orang. Buktinya adalah yang merayakan maulid ingin merealisasikan cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun lewat jalan yang keliru. Dan juga setiap yang merayakannya pasti ingin cari pahala. Bagaimana mungkin ini dikatakan bukan ibadah?! Jika perayaan tersebut adalah ibadah, maka landasannya adalah dalil dan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan hanya sangkaan baik semata. Jika masih mengklaim bahwa Maulid adalah bid’ah hasanah, maka cukup kami sanggah dengan perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.”[9]

Ibnu ‘Umar mengatakan,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.[10]

Kelima: Ingatlah bahwa mengenai puasa Asyura ada dorongan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukannya. Hal ini jauh berbeda dengan perayaan Maulid yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak mendorong untuk melakukannya.[11]

Kerancuan Ketiga: Shalahuddin Al Ayubi Mempelopori Peringatan Maulid

Di negeri ini lebih terkenal kalau Shalahuddin Al Ayubi adalah pelopor Maulid Nabi dalam rangka menyemangati para pemuda.

Kami merasa aneh kenapa pejuang Sunnah yang anti Rafidhah (Syi’ah) malah diklaim sebagai pemrakarsa perayaan Maulid. Perlu diketahui bahwa Shalahuddin Al Ayubi adalah seorang raja dan panglima Islam. Beliau bahkan yang melenyapkan perayaan Maulid yang sebenarnya diprakarsai oleh Dinasti Fatimiyyun sebagaimana dinyatakan oleh banyak ahli sejarah. Berikut perkataan ahli sejarah mengenai Maulid Nabi.

Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.”[12]

Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.

Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun).[13]

Lalu siapakah sebenarnya ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun)?

Al Qodhi Al Baqillaniy menulis kitab khusus untuk membantah Fatimiyyun yang beliau namakan “Kasyful Asror wa Hatkul Astar (Menyingkap rahasia dan mengoyak tirai)”. Dalam kitab tersebut, beliau membuka kedok Fatimiyyun dengan mengatakan, “Mereka adalah suatu kaum yang menampakkan pemahaman Rafidhah (Syi’ah) dan menyembunyikan kekufuran semata.”

Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqiy mengatakan, “Tidak disangsikan lagi, jika kita melihat pada sejarah kerajaan Fatimiyyun, kebanyakan dari raja (penguasa) mereka adalah orang-orang yang zholim, sering menerjang perkara yang haram, jauh dari melakukan perkara yang wajib, paling semangat dalam menampakkan bid’ah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, dan menjadi pendukung orang munafik dan ahli bid’ah. Perlu diketahui, para ulama telah sepakat bahwa Daulah Bani Umayyah, Bani Al ‘Abbas (‘Abbasiyah) lebih dekat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, lebih berilmu, lebih unggul dalam keimanan daripada Daulah Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit berbuat bid’ah dan maksiat daripada Daulah Fatimiyyun. Begitu pula khalifah kedua daulah tadi lebih utama daripada Daulah Fatimiyyun.”

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik (banyak bermaksiat) dan paling kufur.”[14]

Bani Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun juga menyatakan bahwa mereka memiliki nasab (silsilah keturunan) sampai Fatimah. Ini hanyalah suatu kedustaan. Tidak ada satu pun ulama yang menyatakan demikian.

Ahmad bin ‘Abdul Halim juga mengatakan dalam halaman yang sama,  “Sudah diketahui bersama dan tidak bisa disangsikan lagi bahwa siapa yang menganggap mereka di atas keimanan dan ketakwaan atau menganggap mereka memiliki silsilah keturunan sampai Fatimah, sungguh ini adalah suatu anggapan tanpa dasar ilmu sama sekali. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al Israa’: 36). Begitu juga Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali orang yang bersaksi pada kebenaran sedangkan mereka mengetahuinya.” (QS. Az Zukhruf: 86). Allah Ta’ala juga mengatakan saudara Yusuf (yang artinya), “Dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui.” (QS. Yusuf: 81). Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun ulama yang menyatakan benarnya silsilah keturunan mereka sampai pada Fatimah.”[15]

Begitu pula Ibnu Khallikan mengatakan, “Para ulama peneliti nasab mengingkari klaim mereka dalam nasab [yang katanya sampai pada Fatimah].”[16]

‘Abdullah At Tuwaijiriy mengatakan, “Al Qodhi Abu Bakr Al Baqillaniy dalam kitabnya ‘yang menyingkap rahasia dan mengoyak tirai Bani ‘Ubaidiyyun’, beliau menyebutkan bahwa Bani Fatimiyyun adalah keturunan Majusi. Cara beragama mereka lebih parah dari Yahudi dan Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara mereka mengklaim ‘Ali sebagai ilah (Tuhan yang disembah) atau ada sebagian mereka yang mengklaim ‘Ali memiliki kenabian. Sungguh Bani Fatimiyyun ini lebih kufur dari Yahudi dan Nashrani.

Al Qodhi Abu Ya’la dalam kitabnya Al Mu’tamad menjelaskan panjang lebar mengenai kemunafikan dan kekufuran Bani Fatimiyyun. Begitu pula Abu Hamid Al Ghozali membantah aqidah mereka dalam kitabnya Fadho-ihul Bathiniyyah (Mengungkap kesalahan aliran Batiniyyah).”[17]

Bagaimana mungkin Shalahuddin menghidupkan perayaan Maulid sedangkan beliau sendiri yang menumpas ‘Ubaidiyyun?! Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni rahimahullah mengatakan,

صَلَاحِ الدِّينِ الَّذِي فَتَحَ مِصْرَ ؛ فَأَزَالَ عَنْهَا دَعْوَةَ العبيديين مِنْ الْقَرَامِطَةِ الْبَاطِنِيَّةِ وَأَظْهَرَ فِيهَا شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ

Sholahuddin-lah yang menaklukkan Mesir. Beliau menghapus dakwah ‘Ubaidiyyun yang menganut aliran Qoromithoh Bathiniyyah (aliran yang jelas sesatnya, pen). Shalahuddin-lah yang menghidupkan syari’at Islam di kala itu.[18]

Dalam perkataan lainnya, Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni rahimahullah mengatakan,

فَتَحَهَا مُلُوكُ السُّنَّة مِثْلُ صَلَاحِ الدِّينِ وَظَهَرَتْ فِيهَا كَلِمَةُ السُّنَّةِ الْمُخَالِفَةُ لِلرَّافِضَةِ ثُمَّ صَارَ الْعِلْمُ وَالسُّنَّةُ يَكْثُرُ بِهَا وَيَظْهَرُ

“Negeri Mesir kemudian ditaklukkan oleh raja yang berpegang teguh dengan Sunnah yaitu Shalahuddin. Beliau yang menampakkan ajaran Nabi yang shahih di kala itu, berseberangan dengan ajaran Rafidhah (Syi’ah). Di masa beliau, akhirnya ilmu dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin terbesar luas.”[19][20]

Dari penjelasan ini, sangat mustahil jika kita katakan bahwa Shalahuddin Al Ayubi yang menjadi pelopor perayaan Maulid, padahal beliau sendiri yang menumpas ‘Ubaidiyyun. Sungguh, jika ada yang menyatakan bahwa Shalahuddin sebagai pelopor Maulid, maka ini sama saja memutar balikkan sejarah. Sejarah yang benar, Shalahuddin itu menumpas ‘Ubaidiyyun sebelum diadakan perang salib karena ‘Ubaidiyyun yang sebenarnya melemahkan kaum muslimin dengan maulid yang mereka ada-adakan. Namun inilah kenyataan sejarah yang direkayasa yang diputarbalik dan disebar di negeri ini. Hanya Allah yang beri taufik.

Kerancuan Keempat: Argumen Peringatan Maulid dengan Puasa Senin Kamis

Berikut adalah kerancuan lainnya dari kalangan pro Maulid. Mereka mengatakan, “Rasulullah SAW sendiri mensyukuri atas kelahirannya. Dalam sebuah hadits dinyatakan:

عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم

“Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (H.R. Muslim, Abud Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah dan Baghawi).”[21]

Sanggahan terhadap syubhat di atas:

Pertama: Bagaimana mungkin dalil di atas menjadi pendukung untuk merayakan hari kelahiran beliau[?] Ini sungguh tidak tepat dalam berdalil. Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa pada tanggal kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan itu kalau benar pada tanggal tersebut beliau lahir. Karena dalam masalah tanggal kelahiran beliau masih terdapat perselisihan. Yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan adalah puasa pada hari Senin bukan pada 12 Rabiul Awwal[!] Seharusnya kalau mau mengenang hari kelahiran Nabi dengan dalil di atas, maka perayaan Maulid harus setiap pekan bukan setiap tahun.

Kedua: Ingatlah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya menjadikan hari Senin untuk berpuasa namun juga hari kamis. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.[22] Sehingga hadits yang dikemukakan kalangan pro Maulid bukan menunjukkan bahwa beliau ingin memperingati hari kelahirannya.

Ketiga: Jika memperingati maulid adalah dalam rangka bersyukur kepada Allah atas kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka cara memperingatinya adalah dengan berpuasa sebagaimana yang beliau contohkan. Namun kami belum ketahui ada yang bersyukur dengan cara seperti ini. Yang ada bentuk syukurnya adalah dengan membaca shalawat tanpa tuntunan, bahkan ada pula yang memperingatinya dengan bermusik ria.[23]

Demikian pembahasan kami mengenai beberapa syubhat yang ada dari para simpatisan Maulid. Namun masih banyak syubhat dan kerancuan lainnya, moga-moga lain waktu bisa kami lengkapi insya Allah. Kerancuan dan jawaban lainnya bisa dilihat di artikel kami sebelumnya di sini. Intinya, syubhat yang dimunculkan tidak terlepas dari dua kemungkinan, yaitu boleh jadi dengan anggapan baik semata (tanpa dalil) dan boleh jadi dengan dalil namun salah dalam memahami.

Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Cukuplah maksud kami ini sebagaimanan yang dikatakan oleh Nabi Syu’aib,

إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Huud: 88)

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Disempurnakan berkat pertolongan Allah di Pangukan-Sleman, Jum’at – 12 Rabi’ul Awwal 1431 H (26/02/2010)

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id


[1] Syubhat ini dikemukakan di salah satu web pro Maulid Nabi. Silakan lihat link berikut >>http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1150&Itemid=1 . Begitu pula Syubhat ini dilontarkan oleh pemilik blog Salafytobat di sini >>http://salafytobat.wordpress.com/2009/03/04/sunnah-maulid-nabi-allah-pun-merayakan-maulid-nabi-nabi/ .

 

[2] Lihat Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim li Mukholafati Ash-haabil Jahiim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tahqiq & Ta’liq: Dr. Nashir ‘Abdul Karim Al ‘Aql, 2/126-127, Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1419 H

[3] Lihat Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim, 2/123-124.

[4] Coba lihat pembahasan tentang “Sejarah Kelam Maulid Nabi” di sini >> http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/2925-sejarah-kelam-maulid-nabi.html atau di sini >> http://muslim.or.id/manhaj/antara-cinta-nabi-dan-perayaan-maulid-nabi-2.html . Insya Allah akan kami singgung pula dalam penjelasan selanjutnya.

[5] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,  25/298, Darul Wafa’,

[6] Lihat Al Hawi Lil Fatawa, As Suyuthi, 1/282, Asy Syamilah

[7] Syubhat ini disampaikan dari web pro Maulid Nabi di link berikut >>http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1150&Itemid=1

[8] Lihat Kasyful Jaani, Muhammad At Tiijani, hal. 96, Asy Syamilah.

[9] HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid.

[10] Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah

[11] Sanggahan ini kami olah dengan beberapa tambahan dari Al Bida’ Al Hawliyah, ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz bin Ahmad At Tuwaijiri, hal. 159-161, Darul Fadhilah, cetakan pertama, tahun 1421 H.

[12] Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 145-146

[13] Dinukil dari Al Maulid, hal. 20

[14] Majmu’ Al Fatawa, 35/127

[15] Idem.

[16] Wafayatul A’yan, 3/117-118

[17] Al Bida’ Al Hawliyah, 142-143

[18] Majmu’ Al Fatawa, 35/138

[19] Majmu’ Al Fatawa, 3/281.

[20] Untuk mengetahui selengkapnya mengenai Shalahuddin Al Ayubi apakah mendukung Maulid, silakan baca di buku “Benarkan Shalahudin Al Ayubi mengerjakan Maulid Nabi?”, yang ditulis oleh Al Ustadz Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, Maktabah Muawiyah bin Abi Sofyan.

[21] Syubhat ini dijadikan dalil bolehnya perayaan Maulid Nabi di web pada link berikut >>http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1150&Itemid=1 .

[22] HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. LihatShahihul Jaami’ no. 4897.

[23] Lihat sanggahan dalam kitab Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 176.

artikel dari muslim.or.id

Shalawat Butuh Kepada Tuntunan

Alhamdulillahi. Asy-hadu anlaa ilaahaillallah wa asy-hadu anna muhammadan ‘abduhu warasuluh. Allahumma shalli ‘alaa muhammadin wa ‘alaa aalihi wa ash-habihi waman tabi’ahum bi-ihsaan ilaa yaumiddin.

Amma ba’du.

Shalawat adalah salah satu ibadah terbesar yang mana disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana Allah telah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

artinya:“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman,bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [Q.S. Al Ahzab:56]

Namun,apakah shalawat itu boleh dengan do’a apa saja? Dengan cara apapun,dengan lafazh-lafazh apapun,karena ia adalah do’a sebagaimana do’a secara umum?

Jawabannya adalah tidak boleh. Sesuai dengan kaidah ushul,lafazh-lafazh yang tidak ada atau tidak diajarkan atau tidak dicontohkan oleh Rasululloh Shallallahu’alaihi wa salam berasal dari Qiyas. Sedangkan Qiyas gugur apabila ada dalil Shahih yang menetapkannya. Dalam pembahasan Ustadz Badrus Salam ketika membahas buku Qowaidus Tahdist,beliau menyampaikan seorang ulama berkata,

“Qiyas itu ibarat memakan bangkai,yang mana kita diharamkan untuk memakannya terkecuali dalam keadaan darurat”

Jadi apabila tidak ditemukan nash,maka kita boleh memakai qiyas,namun qiyas ini tidak boleh bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Sebab qiyas pun tetap harus kembali merujuk ke pemahaman yang shahih. Inilah Aqidah dan Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah. Demikianlah juga tentang shalawat,selama ada dalil tentang lafazh cara bershalawat,maka lafazh-lafazh yang lainnya adalah bathil.

Dalil-dalilnya antara lain:

Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Hamzah telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Hazim dan Ad Darawardi dari Yazid dari Abdullah bin Khabbab dari Abu Sa’id Al Khudri dia berkata,kami bertanya:“Wahai Rasululloh,kami telah mengetahui salam kepadamu,lalu bagaimanakah kami bershalawat?”beliau menjawab:“Ucapkanlah:ALLAHUMMA SHALI ‘ALAA MUHAMMAD ‘ABDIKA WARASUULIKA KAMAA SHALAITA ‘ALAA IBRAHIIM WA BAARIK ‘ALAA MUHAMMAD WA’ALAA AALII MUHAMMAD KAMAA BARAKTA ‘ALAA IBRAHIIM WA ‘ALAA AALIIBRAHIIM.

[HR. Bukhari no. 5881]

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Abdullah bin Abu Bakr dari Ayahnya dari ‘Amru bin Sulaim Az Zuraqi dia berkata;telah mengabarkan kepadaku Abu Humaid As Sa’idi bahwa mereka berkata:“Wahai Rasulullah,bagaimana kita bershalawat kepadamu?”beliau bersabda:“Ucapkanlah ALLAHUMMA SHALI ‘ALAA MUHAMMADIN WA AZWAJIHI WA DZURRIYYATIHII KAMAA SHALAITA ‘ALAA AALI IBRAHIM WA BAARIK ‘ALAA MUHAMMADIN WA AZWAJIHI WA DZURRIYYATIHI KAMAA BARAKTA ‘ALAA ALII IBRAHIM HAMIDUN MAJIID.

[HR. Bukhari no. 5883]

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya at-Tamimi dia berkata;saya membaca di hadapan Malik dari Nu’aim bin Abdullah Al Mujmir bahwa Muhammad bin Abdullah Zaid Al-Anshari dari Abdullah bin Zaid yang dia adalah orang yang diberi petunjuk dalam hal panggilan untuk shalat (adzan),dia telah menceritakan dari Abu Mas’ud Al-Anshari dia berkata,“Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam mendatangi kami sedangkan kami berada dalam majlis Sa’ad bin Ubadah,maka Basyir bin Sa’ad berkata kepadanya,‘Allah memerintahkan kami untuk mengucapkan shalawat atasmu wahai rasulullah,lalu bagaimana cara bershalawat atasmu?’Perawi berkata,“Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam diam hingga kami berangan-angan bahwa dia tidak menanyakannya kepada beliau. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,“Katakanlah,ALLAHUMMA SHOLLI ‘ALAA MUHAMMAD WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD,KAMA SHOLAITA ‘ALAA AALI IBRHOHIIMA WABARIK ‘ALAA MUHAMMAD WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA BAAROKTA ‘ALAA AALI IBROHIIMA FIL ‘ALAAMIINA INNAKA HAMIDUN MAJID”

[HR. Muslim no. 613]

Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami Al Hakam dia berkata,saya mendengar Abdurrahman bin Abu Laila dia berkata,Ka’ab bin ‘Ujrah pernah menemuiku,lalu dia berkata:“Maukah kamu aku beri petunjuk? Sesungguhnya Nabi shallallahu’alaihi wa salam pernah keluar menemui kami,lalu kami bertanya:“Wahai Rasulullah,kami mengetahui salam kepadamu,lalu bagaimanakah caranya bershalawat kepadamu? Beliau menjawab:“UcapkanlahALLAHUMMA SHALLI ‘ALAA MUHAMMAD WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA SHALAITA ‘ALAA IBRAHIIM INNAKA HAMIIDUN MAJIID. ALLAHUMMA BAARIK ‘ALAA MUHAMMAD WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA BARAKTA ‘ALAA AALI IBRAHIIM INNAKA HAMIIDUN MAJIID.””

[HR. Bukhari no. 5880]

Telah bercerita kepada kami Qais bin Hafsh dan Musa bin Isma’il keduanya berkata telah bercerita kepada kami ‘Abdul Wahid bin Ziyad telah bercerita kepada kami Abu Farwah Muslim bin Salim Al Hamdaniy berkata telah bercerita kepadaku ‘Abdullah bin ‘Isa dia mendengar ‘Abdur Rahman bin Abi Laila berkata;Ka’ab bin ‘Ujrah menemui aku lalu berkata,“Maukah kamu aku hadiahkan suatu hadiah yang aku mendengarnya dari Nabi Shallallahu’alaihi wa salam.”Aku jawab:“Ya,hadiahkanlah aku”. Lalu ia berkata:“Kami pernah bertanya kepada rasululloh shallallahu’alaihi wa salam,“Wahai rasululloh,bagaimana cara kami bershalawat kepada tuan-tuan kalangan ahlu bait sementara Allah telah mengajarkan kepada kami cara menyampaikan salam kepada kalian?””. Maka beliau bersabda:“Ucapkanlah ALLAHUMMA SHALLI ‘ALAA MUHAMMAD WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA SHALAITA ‘ALAA IBRAHIIM INNAKA HAMIIDUN MAJIID. ALLAHUMMA BAARIK ‘ALAA MUHAMMAD WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA BARAKTA ‘ALAA AALI IBRAHIIM INNAKA HAMIIDUN MAJIID.“”

[HR. Bukhari no. 3119]

Hadits Bukhari no. 4424 Lafazh shalawatnya sama seperti hadits Bukhari no. 3119 namun dari jalan Abdullah bin Yusuf dari Al Laits dari Ibnu Al Haad dari Abdullah bin Khabbab dari shahabat Abu Sa’id Al Khudri

Begitu banyak para shahabat yang meriwayatkan dan bertanya tentang cara bershalawat maka tak ayal lagi,shalawat atas Nabi Shallallahu’alaihi wa salam harus sesuai dengan tuntunan. Sebagaimana Sholat juga harus sesuai dengan tuntunan Beliau Shallallahu’alaihi wa salam. Dan,dari setiap riwayat shalawat tidak ada satupun riwayat yang memberikan atau menyisipkan kata-kata “SAYYIDINA”atau “SAYYIDINA WA MAULANA”tidak pernah ada.

Wallahu a’lam bishawab.

catatan:

-Hadits-haditsnya saya mengambil dari lidwa pustaka yang mungkin untuk penomorannya berbeda dengan cetakan lainnya.

Memahami Bid’ah

alhamdulillah. Asy-hadu anlaa ilaahaillallah wa asy-hadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh Laa nabiya ba’dahu. Allahumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad Kamaa sholaita ‘alaa aali ibrahiim innaka hamidun majiid,Allahumma baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baraktaa ‘alaa aali ibrahiim innaka hamidun majiid.

Amma ba’du.

Tulisan ini adalah bantahan saya terhadap tulisan: http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/17/kesalahpahaman-bidah/

Syari’at Islam adalah syari’at yang sangat mulia. Di mana Allah sangat menyayangi hamba-Nya khususnya umat muslim. Allah memberikan segala bentuk tuntunan baik dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah ibadah dan juga masalah-masalah yang sama sekali tidak berhubungan langsung dengan ibadah. Allah telah berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

artinya:“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu,dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu” [Q.S. Al-Maidah:3]

Islam telah sempurna dan jalan ini tidak akan berkurang dan bertambah,sedangkan permasalahan manusia dari waktu ke waktu,dari zaman ke zaman akan terus bertambah. Kita runut saja dari ketika pertama kali semenjak Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam wafat,di zaman para shahabat Al Qur’an belum dibukukan,kemudian Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu membukukannya,sehingga dikenal dengan sebutan mushaf utsmani. Hal ini tentu saja merupakan hal baru dalam agama karena sebelumnya tidak pernah ada pemikiran tentang dibukukannya Al Qur’an hingga menjadi mushaf.

Namun ternyata hal ini bukanlah bid’ah,karena apa yang diijtihadkan oleh Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu dan para shahabat ridwanu ‘alaihi ajma’in bukanlah merupakan perkara yang bisa disebut bid’ah. Sebab tidak ada maksud syari’at yang hilang ataupun bertambah dengan adanya pembukuan Al Qur’an ini,malah Al Qur’an bisa tersebar ke seluruh dunia dan manusia banyak mendapatkan hidayah karenanya,dan karenanya pulalah Islam dikenal sampai ke seluruh penjuru dunia hingga sekarang.

Islam adalah salah satu rahmat yang diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla dari langit kepada manusia. Dengan Islam maka orang-orang akan selamat,dan dengan Islam pulalah manusia bisa mengusai dunia ini. Tanpanya hanyalah kerusakan yang terjadi,tanpa Islam maka tidaklah keadilan bisa ditegakkan dan tidaklah akhlaq manusia bisa diperbaiki. Namun ternyata di dalam Islam sendiri setelah munculnya firqoh-firqoh sesat pokok-pokok identitas dan ciri-ciri Islam mulai tersamar. Yang haq dianggap bathil,sedangkan yang bathil dianggap haq. Sunnah dianggap bid’ah dan bid’ah dianggap sunnah. Manusia mulai lupa kepada siapa mereka harus berpaling ketika ada masalah dalam urusan agama ini. Manusia akhirnya hanya mengikut kepada da’i-da’i yang malah menjerumuskan mereka ke dalam jahanam.

Allah hanya meridhai satu agama,yaitu Islam. Dan Allah hanya meridhai orang-orang yang kembali kepada jalan salaful ummah. Yaitu jalan umat generasi terbaik dan di dalam Al Qur’an selalu diulang-ulang masalah Ridha Allah terhadap manusia yang kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah.

Dalil pertama bahwa Allah ridha kepada siapapun yang mengembalikan urusan mereka,mengembalikan pemahaman mereka kepada rasulullah shallallahu’alaihi wa salam beserta para shahabatnya adalah

وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

artinya:“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya;mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [Q.S. At Taubah:100]

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

artinya:“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu,dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu” [Q.S. Al-Maidah:3]

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ

artinya:“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha kepada-Nya. Yang demikian itu ialah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhan-Nya” [Q.S. Al Bayyinah:7-8]

لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

artinya:“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,sekalipun orang-orang itu bapak-bapak,atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah,bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” [Q.S. Al Mujaadilah:22]

Dan masih banyak lagi yang lainnya. Ayat-ayat di atas menyebutkan tentang orang-orang yang mendapatkan ridha dari Allah. Selalu Allah berfirman dengan beriman dan beramal sholeh. Bukankah banyak yang beriman dan beramal sholeh,jadi setiap orang Islam pasti diridhoi oleh Allah? Ternyata tidak. Karena ada hadits yang menolak bahwa setiap umat Islam pasti selamat.

Syaikh Muhammad Jamil Zainu hafizhahullah dalam buku Al Firqotun Najiyah memberikan dalil-dalil,di antaranya:

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam bersabda,“Aku wasiatkan kepadamu agar engkau bertakwa kepada Allah,patuh dan ta’at,sekalipun yang memerintahkanmu seorang budak Habsyi. Sebab barangsiapa hidup (lama) di antara kamu tentu akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Karena itu,berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Pegang teguhlah ia kuat-kuat. Dan hati-hatilah terhadap setiap perkara yang diada-adakan itulah bid’ah,sedang setiap bid’ah adalah sesat” [HR. Nasa’i dan Tirmidzi,hadits hasan shahih]

Dalam hadits lain

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam bersabda,“Ketahuilah,sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab telah terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan,tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan satu golongan di dalam surga,yaitu Al-Jama’ah” [HR. Ahmad dan yang lainnya. Al Hafizh menggolongkan haditsnya hasan]

Dari riwayat Tirmidzi

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam bersabda,“Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka,kecuali satu yaitu yang aku dan para shahabatku meniti di atasnya” [Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ 5219]

Dari dalil-dalil di atas seolah-olah ayat dan hadits tersebut bertentangan,karena yang di atas dikatakan bahwa Islam sudah pasti selamat,lalu kenapa ada yang sampai masuk neraka? Maka jawabannya juga telah jelas di dalam dalil tersebut. Maksud ayat Al Qur’an di atas yaitu beriman dan beramal sholeh adalah Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti manhaj yang shahih. Inilah yang mengakibatkan keridhaan Allah,inilah yang mengakibatkan seseorang bisa selamat dengannya,dan termasuk golongan pilihan dari 73 golongan sehingga,72 golongan masuk neraka dan 1 golongan masuk ke dalam surga.

Meniti jalan golongan yang selamat hukumnya wajib sedangkan menolaknya adalah berdosa dan termasuk dosa besar bagi mereka yang mengaku Islam tapi tidak mengikuti jalan salafush sholih.

Membantah Syubhat-syubhat

Kemudian ada sekelompok orang,yang mana mereka menyalahkan wahabi dan salafi. Mereka anggap wahabi dan salafi keliru dalam menafsirkan kata-kata bid’ah. Mereka menganggap salah fahamnya wahabi dan salafi ini sangat berat,bahkan bisa menimbulkan perpecahan. Apakah kesalahannya?

Pertama,kata mereka:“Apa yang dilakukan oleh kaum Salafi &Wahabi dalam dakwahnya yang mengajak umat untuk langsung kembali kepada al-Qur’an &Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam,apalagi dengan pemahaman secara tekstual,harfiah,tersurat terhadap ayat-ayat atau hadis-hadis tersebut,adalah bagaikan mengurai kembali benang yang sudah selesai disulam. Artinya,semua itu sudah dikerjakan oleh para ulama terdahulu,dan kesimpulan-kesimpulan hukum dari proses panjang yang rumit dalam mengkaji dalil dengan menggunakan metodologi yang maksimal sudah dihasilkan. Mengapa justru umat yang seharusnya tidak perlu bersusah payah melakukan hal yang sama (apalagi tanpa kemampuan yang dimiliki para ulama tersebut) dan tinggal memanfaatkan pembahasan para ulama itu malah diajak oleh kaum Salafi &Wahabi untuk menggali lagi dasar-dasar agama tersebut.”

Maka saya jawab:Telah saya jelaskan dimuka syari’at Islam telah sempurna. Sedangkan masalah manusia terus bertambah. Sedangkan zaman makin lama makin tersamar antara yang haq dan yang bathil,maka dibutuhkanlah ulama yang bisa menjelaskan mana yang haq dan mana yang bathil. Siapakah ulama-ulama yang bisa menjelaskan ini semua,tentunya mereka yang beramal sholih,dan faham tentang masalah-masalah ushluhuddin,faham masalah-masalah hadits,fiqih dan sebagainya.

Ibadah dan permasalahan di dalam Islam tidak bisa dipikirkan melalui akal semata. Dan tidak setiap orang bisa berijtihad,semuanya harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Justru Allah sendirilah yang berfirman agar kita kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah ketika kita berselisih.

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

artinya:“Hai orang-orang yang beriman,ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul,dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [Q.S. An Nisaa’:59]

Justru salafi,mengajak manusia untuk menta’ati ulil amri yaitu para ulama yang kembali kepada jalan salafush sholih,yang kembali kepada manhaj yang benar. Mengembalikan maksud dari ayat dan hadits kepada maksud yang diinginkan olehRasulullah shallallahu’alaihi wa salam,bukan maksud ulama,bukan maksud ustadz dan siapapun manusia yang tidak punya hak untuk membuat syari’at ini. Seorang ulama pernah berkata:

“Qiyas itu ibarat makan bangkai,tidak akan boleh dimakan terkecuali dalam keadaan darurat”

Apakah maksud dari mereka ini adalah setiap permasalahan di dalam agama ini harus didahulukan dengan Qiyas? Apabila benar demikian maksudnya,maka ini adalah sebuah kesalahan yang fatal. Apabila maksudnya adalah salafiyin tidak perlu lagi mempelajari apa yang sudah disampaikan oleh para ulama,karena sudah pernah mereka bahas,maka jawaban ini juga tidak masuk akal. Berapa banyak permasalahan fiqih yang sampai sekarang terus berkembang. Sebagai contoh adalah rokok,bagaimana menghukumi rokok? Apakah bisa masalah ini diselesaikan dengan apa yang sudah diuraikan oleh para ulama terdahulu? Tidak tentu saja.

Justru masalah-masalah kontemporer seperti masalah rokok,narkoba,foto dan masalah-masalah yang lainnya perlu pembahasan lagi,terlebih lagi sekarang banyak manusia yang melakukan ibadah-ibadah yang tidak ada dasar hukumnya. Pergaulan manusia semakin luas,teknologi semakin maju dan perkembangan manusia terus menimbulkan berbagai macam persoalan baik itu persoalan dalam masalah agama,maupun dalam kehidupan sosial. Hanya orang bodoh yang menganggap “kita tidak perlu membahas masalah-masalah fiqih lagi”

Kedua,kata mereka:“Hadist Nabi yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu adalah sesat,adalah masih dapat menerima pengecualian,karena lafadz kullu bid’atin adalah isim yang dimudlafkan kepada isim nakirah,sehingga dlalalah-nya adalah bersifat ‘am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian. Untuk itulah dijelaskan oleh hadits yang lain dengan istilah “di dalam Islam” atau “urusan kami”.

Arti kata-kata “kebid’ahan di dalam Islam” ,“dalam urusan kami” ialah kebid’ahan dalam hal yang telah ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’alaa yakni berupa kewajiban,larangan dan pengharaman atau disebut ibadah mahdah (ibadah ketaatan),Ibadah yang mau tidak mau harus dilaksanakan dan ditaati bagi seluruh muslim,perkara syariat,Ibadah yang disyaratkan bagi seluruh umat Islam,ibadah yang wajib mengikuti apa yang telah dijelaskan/disampaikan/dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa salam.

Sedangkan kebid’ahan dalam hal perbuatan/ibadah yang Allah subhanahu wa ta’alaa telah diamkan/bolehkan tentu dibolehkan. Logikanya segala sesuatu yang Allah swt telah diamkan/bolehkan tentu juga perkara baru,bid’ah,inovasi,kreatifitas dibolehkan asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Bahkan perbuatan/ibadah yang Allah subhanahu wa ta’alaa telah diamkan/bolehkan,sebagian adalah termasuk perbuatan/ibadah yang Allah swt anjurkan sehingga bagi muslim yang melaksanakaannya akan mendapatkan kebaikan/pahala.

Perbuatan/ibadah yang Allah subhanahu wa ta’alaa telah diamkan/bolehkan dinamakan ibadah ghairu mahdah,ibadah kebaikan,amal kebaikan,amal sholeh,perbuatan/ibadah yang tidak disyaratkan atau tidak dikerjakan tidaklah berdosa,perbuatan/ibadah yang dianjurkan mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam namun boleh dikerjakan sesuai dengan kesadaran,keinginan dan kebutuhan kita sendiri asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Kebid’ahan dalam ibadah ghairu mahdah disebut bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban,maka jangan kamu sia-siakan dia;dan Allah telah memberikan beberapa batas,maka jangan kamu langgar dia;dan Allah telah mengharamkan sesuatu,maka jangan kamu pertengkarkan dia;dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu,Dia tidak lupa,maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni,dihasankan oleh an-Nawawi).”

Saya jawab:

Kaidah dalam masalah fiqih adalah:

“Setiap ibadah adalah haram,melainkan ada dalil yang mengharuskannya. Dan setiap urusan dunia adalah halal,terkecuali yang dilarang oleh dalil”

Lalu apa maksud dari ibadah yang Allah Subhanahu wa ta’alaa telah diamkan berarti boleh? Dari mana kaidah ini? Lalu apa maksud ibadah sebenarnya?

Ibadah adalah penghambaan diri kepada Allah ta’alaa dengan menta’ati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya,sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Ibadah juga berarti segala perkataan dan perbuatan,baik lahir maupun bathin,yang dicintai dan diridhoi oleh Allah. Dan sebuah amalan ibadah akan diterima apabila ikhlas karena Allah semata dan sesuai dengan tuntunan. [Kitabut Tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At Tamimy]

Imam Nawawi rahimahullah dalam Arba’in Nawawi menjelaskan tentang hadits pertama dalam kitab Arba’in Nawawi Imam Ahmad rahimahullah berkata:“Ada Tiga hadits yang merupakan poros agama,yaitu hadits Úmar,hadits Aísyah,dan hadits Nu’man bin Basyir.” Perkataan Imam Ahmad rahimahullah tersebut dapat dijelaskan bahwa perbuatan seorang mukallaf bertumpu pada melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Inilah halal dan haram. Dan diantara halal dan haram tersebut ada yang mustabihat (hadits Nu’man bin Basyir). Untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dibutuhkan niat yang benar (hadits Úmar),dan harus sesuai dengan tuntunan syariát (hadits Aísyah).

Niat baik saja tidaklah cukup dalam suatu amalan. Hal ini dengan tegas dijelaskan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.Dari Ibunda kaum mu’minin,Ummu Abdillah ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha,dia berkata:”Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:”Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari kami,maka (amalan) itu tertolak.” (HR. Bukhori dan Muslim). Dan dalam riwayat Muslim:“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami,maka itu tertolak.”

Hadits ini jelas sekali mengatakan urusan (amrun). Urusan apakah yang dimaksudkan oleh rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam kalau bukan urusan agama? Apakah rasulullah shallallahu’alaihi wa salam berbicara tentang masalah cara memasak makanan? Ataukah cara menunggang kuda? Ataukah cara pergi ke Baitullah? Wallahi tidak.

Lihat hadits-hadits berikut:

“Jauhilah hal-hal yang baru (muhdatsat),karena setiap yang baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”[Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan teksnya milik Abu Dawud 4/201 no. 4608,Ibnu Majah 1/15 No. 42,At-Tirmidzi 5/44 no. 2676 dan beliau berkata bahwa ini hadits hasan shahih dan hadits ini dishahihkan oleh Al Albaniy dalam Dhilaalul Jannah fii Takhriijissunnah karya lbnu Abi Ashim:no. 27,Lihat Minhaj Al Firqotun Najiyah-Jalan Golongan yang Selamat Syaikh Muhammad Jamil Zainu]

“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebagus-bagusnya tuntunan adalah tuntunan Mnbammad dan urusan yang paling jelek adalah sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) dan setiap yang diada-adakan (dalam agama) itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setap kesesatan itu (tempatnya) di neraka.”[Dikeluarkan dengan lafadz ini oleh An- Nasa’i dalam As-Sunan 3/188 dan asal hadits dalam Shahih Muslim 3/153. Untuk menambah wawasan coba lihat kitab Khutbat Al-Haajah,karya Al-Albany,Lihat Minhaj Al Firqotun Najiyah-Jalan Golongan yang Selamat Syaikh Muhammad Jamil Zainu]

Dari dalil-dalil di atas jelas masalah ihdaats,muhdats,bid’ah adalah dalam urusan agama. Kalau memang ini adalah segala urusan kenapa Rasululloh Shallallahu’alaihi wa salam menyetarakan Kalamullah dengan tuntunan Muhammad,lalu dikatakan yang paling jelek adalah sesuatu yang diada-adakan? Kalau memang hal tersebut adalah bid’ah secara umum,maka tentunya setiap hal yang baru harus dijauhi. Namun ternyata tidak. Sebab yang dimaksud oleh rasulullah shallallahu’alaihi wa salam adalah bid’ah dalam urusan agama.

Maka dalam masalah ini bid’ah adalah segala sesuatu yang tidak ada atau tidak pernah ada pada masa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam,kemudian disandarkan kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam,atau disandarkan kepada Islam,yang mana Islam tidak pernah ada satupun dalil yang menshahih-kannya,maka inilah yang disebut sebagai bid’ah yang dimaksud oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.

Maka dalam beribadah harus dengan 3 hal,yang tanpa 3 hal ini tidak akan diterima. Yaitu niat,ikhlas dan sesuai tuntunan.

Masalah ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah akan dibahas pada selanjutnya jawaban selanjutnya Insya Allah.

Ketiga,kata mereka:“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda:

Maknanya:“Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim dalam Shahih-nya)

Perhatikan perkataan Rasulullah shallallahu’alaihi wa salam,“Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik” maknanya adalah bid’ah dalam ibadah kebaikan atau ibadah ghairu mahdah

Pendapat Imam Syafi’i –semoga Allah meridlainya

Perkara-perkara yang baru (al muhdats) terbagi dua,Pertama:perkara baru yang bertentangan dengan kitab,sunnah,atsar para sahabat dan ijma’,ini adalah bid’ah dlalalah,kedua:perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satu dari hal-hal di atas,maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela” (Diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam kitabnya “Manaqib asy-Syafi’i”,Juz I,h. 469)

Imam as Syafii rahimahullah berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat,maka hal itu adalah bid’ah yang dlalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut,maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”

Perhatikan perkataan Imam Syafii rahimahullah “apa yang baru terjadi dari kebaikan” maknanya adalah bid’ah dalam ibadah kebaikan atau ibadah ghairu mahdah

Contoh ibadah ghairu mahdah ,berdoa dan bersholawat

Berdoa dan bersholawat bukanlah ibadah mahdah atau ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah swt sebagai kewajiban atau ibadah yang tidak wajib artinya jika ditinggalkan tidaklah berdosa

Berdoa dan bersholawat adalah termasuk ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan atau ibadah ghairu mahdah namun termasuk pula ibadah yang dianjurkan sehingga bagi yang mengerjakan akan mendapatkan kebaikan / pahala.

Oleh karenanya berdoa dan bersholawat dapat dikerjakan sesuai dengan kesadaran,keinginan dan kebutuhan kita sendiri asalkan memperhatikan adab berdoa dan bersholawat.

Kita boleh berdoa menggunakan bahasa Indonesia namun dianjurkan mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa salam.

Kita boleh bersholawat sesuai dengan kesadaran,keinginan dan kebutuhan kita sendiri atau berdasarkan keinginan kita mengungkapkan kecintaan kepada Rasulullah saw namun dianjurkan mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw seperti sholawat ibrahimiyah. Bacaan sholawat dalam bahasa kita yang sering diucapkan adalah “Salam dan Sholawat atas junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa salam”. Contoh sholawat lain yang diucapkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah yang artinya “Ya Allah,limpakanlah shalawat atas Nabi kami,Muhammad,selama orang-orang yang ingat menyebut-Mu dan orang-orang yang lalai melupakan untuk menyebut-Mu ””

Saya jawab:

Tidaklah setiap golongan atau firqoh-firqoh sesat melainkan mereka selalu membawakan dalil shahih untuk mendukung pendapat mereka,sedangkan yang berbeda dengan pemahaman mereka,maka mereka tolak atau bahkan mereka tafsirkan dengan tafsiran-tafsiran yang tidak pernah ditafsirkan demikian sebelumnya oleh para ulama. Berbeda dengan ahlussunnah wal jama’ah,firqotun najiyah,salafush sholih,mereka membawakan dalil untuk mereka fahami,kemudian mereka amalkan. Jadi para salafush sholih malah melihat dalil dulu baru beribadah,bukan beribadah dulu baru memilih dalil. Inilah perbedaan yang mendasar antara ahlussunnah dan ahlu bid’ah pada umumnya.

Contohnya adalah,mereka membawakan dalil

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda:

Maknanya:“Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim dalam Shahih-nya)

Yang kemudian dalil ini mereka jadikan berpijak atas perilaku mereka. Apa perilaku mereka ? Yaitu berbuat bid’ah,yang mereka anggap bid’ah itu adalah ibadah ghairu mahdhah.

Untuk definisi ibadah sudah saya jelaskan di awal. Lalu apakah maksud dari ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah? Ibadahmadhah adalah setiap bentuk ibadah yang terkait ritualisasi seperti sholat,puasa,wudhu dan sebagainya. Sedangkan ibadahghairu mahdhah adalah kebalikan dari ibadah mahdhah,yang bentuknya bukan ritualisasi.

Perhatikan ini!!

Para ulama menjadikan perkara ibadah menjadi dua macam. Macam pertama adalah ibadah yang murni ibadah (ibadah mahdhoh). Ibadah yang satu ini harus melalui wahyu,tanpa wahyu seseorang tidak mungkin mengamalkannya. Contohnya adalah shalat,puasa,dan dzikir. Ibadah jenis pertama ini tidak boleh seseorang membuat kreasi baru di dalamnya,sebagaimana nanti akan dijelaskan.

Sedangkan macam kedua adalah ibadah ghoiru mahdhoh (bukan murni ibadah). Macam kedua ini,asalnya adalah perkara mubah atau perkara dunia. Namun karena diniatkan untuk ibadah,maka bernilai pahala. Seperti berdagang,jika diniatkan ikhlas karena Allah untuk menghidupi keluarga,bukan semata-mata untuk cari penghidupan,maka nantinya bernilai pahala. [Lihat pembahasan dalam kitab Tahdzib Tashil Al Aqidah Al Islamiyah,Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz AL Jibrin,hal. 39-40,Maktabah Al Mulk Fahd,cetakan pertama,1425 H—sumber muslim.or.id]

Maksud dari hadits tentang barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapat pahala…dst,bukan berarti merintis ibadah. Ingatlah dalil-dalil yang sudah saya kemukakan di atas,bahwa Islam sudah sempurna dan karena itulah tidak perlu ditambah-tambahi. Dan setiap urusan dalam agama tertolak terkecuali ada dalilnya,maka maksud dari sebuah perkara yang baik ini adalah baik di mata Allah dan Rasul-Nya yaitu sesuai dengan dalil. Sebab hadits ini ada padanannya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:“Demi Allah! Jika Allah memberikan hidayah (kepada) seseorang dengan perantara dakwahmu,itu lebih baik bagimu dari seekor unta merah” [Hadits shahih,muttafaqun ‘alaih—sumber islam-download.net]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk,maka baginya ada pahala yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka.” [Hadits Shahih,Riwayat Muslim no. 2674—sumber islam-download.net].

Inilah maksud dari merintis sesuatu. Bagaimanakah seseorang mengetahui bahwa hal yang dilakukannya baik selain dengan pertimbangan dari Al Qur’an dan As sunnah,sesuai dengan petunjuk nabinya? Apakah ia mengadakan perkara-perkara sendiri seperti “bersholawat 4000x” misalnya. Apakah hal ini baik? Darimana dia bisa tahu baik? Ingatlah Islam telah sempurna dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak lagi menerima wahyu,dan beliau telah menyampaikan seluruh hal yang telah beliau terima dari Rabb semesta alam untuk disampaikan kepada umatnya. Tugas beliau telah selesai,lalu kemudian ada manusia yang hidup di zaman ini membuat sesuatu yang tidak pernah beliau sampaikan sebelumnya. Bagaimana tanggapan Anda terhadap orang ini? Sungguh orang ini benar-benar durhaka kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Seolah-olah ia lebih tahu perkara yang baik yang mana rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam tidak lebih mengetahuinya.

Ustadz Firanda hafizhahullah menyampaikan di dalam blog-nya pada catatan “Semua Bid’ah adalah Kesesatan”:

“Maka sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Semua bid’ah adalah kesesatan”termasuk dari jawaami’ul kalim (kalimat yang singkat namun mengandung makna yang luas-pen),tidak ada satupun yang keluar darinya (yaitu dari keumumannya-pen),dan ia merupakan pokok yang agung dari ushuul Ad-Diin…maka setiap orang yang mengadakan perkara yang baru dan menyandarkannya kepada agama padahal tidak ada pokok agama yang dijadikan sandaran maka ia adalah sesat,dan agama berlepas darinya. Dan sama saja apakah dalam permasalahan keyakinan atau amal ibadah baik yang dzohir maupun yang batin” (Jaami’ul uluum wal hikam hal 252)

Ibnu Hajar Al-Haitami berkata,

“Bahwasanya bid’ah syar’iyah pasti sesat berbeda dengan bid’ah secara bahasa” (Al-Fataawa Al-Hadiitsiyah hal 206)

Tentang masalah sholawat,sesungguhnya sholawat sendiri sudah ada dalil shohih yang menjadi tuntunannya. Di mana dalil shohih tersebut berulang kali para shahabat bertanya tentang tata cara bershalawat. Sekarang bagaimana hukumnya apabila ada dalil shohih kemudian bertemu dengan qiyas?

Sebagai contoh ada orang yang membuat sholawat-sholawat sendiri,seperti sholawat badar,sholawat nariyah,kemudian ada dalil shohih tentang sholawat,maka manakah yang diambil? Qiyas ataukah dalil? Seluruh ulama dan ijma’akan mengambil dalil yang shohih tersebut. Masalah sholawat-sholawat yang shahih sudah saya bahas di hal yang lain.

Syubhat Bid’ah Hasanah

Ustadz Firanda hafizhahullah menuliskan dalam pembahasan Syubhat-syubhat Para Pendukung Bid’ah:

Dari Harmalah bin Yahya berkata,“Saya mendengar Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i berkata,“Bid’ah itu ada dua,bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela, maka bid’ah yang sesuai dengan sunnah adalah terpuji dan bid’ah yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah yang tercela”,dan Imam Asy-Syafi’i berdalil dengan perkataan Umar bin Al-Khottob tentang sholat tarawih di bulan Ramadhan “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”(Hilyatul Auliya’9/113)

Pertama :Sangatlah jelas bahwasanya maksud Imam As-Syafi’i rahimahullah adalah pengklasifikasian bid’ah ditinjau dari sisi bahasa. Oleh karenanya beliau berdalil dengan perkataan Umar bin Al-Khottoob:”Sebaik-baik bid’ah adalah ini (yaitu sholat tarawih berjamaah)”. Padahal telah diketahui bersama –sebagaimana telah lalu penjelasannya- bahwasanya sholat tarwih berjamaah pernah dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua :Kita menafsirkan perkataan Imam As-Syafi’i rahimahullah ini dengan perkataannya yang lain sebagaimana disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam Tahdziib Al-Asmaa’wa Al-Lughoot (3/23)

“Dan perkara-perkara yang baru ada dua bentuk,yang pertama adalah yang menyelisihi Al-Kitab atau As-Sunnah atau atsar atau ijma’,maka ini adalah bid’ah yang sesat. Dan yang kedua adalah yang merupakan kebaikan,tidak seorang ulamapun yang menyelisihi hal ini (bahwasanya ia termasuk kebaikan-pen) maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela”(lihat juga manaqib As-Syafi’i 1/469)

Lihatlah Imam As-Syafi’i rahimahullah menyebutkan bahwa bid’ah yang hasanah sama sekali tidak seorang ulama pun yang menyelisihi. Jadi seakan-akan Imam Asy-Syafi’i menghendaki dengan bid’ah hasanah adalah perkara-perkara yang termasuk dalam bab al-maslahah al-mursalah,yaitu perkara-perkara adat yang mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan tidak terdapat dalil (nas) khusus,karena hal ini tidaklah tercela sesuai dengan kesepakatan para sahabat meskipun hal ini dinamakan dengan muhdatsah (perkara yang baru) atau dinamakan bid’ah jika ditinjau dari sisi bahasa.

Berkata Ibnu Rojab,“Adapun maksud dari Imam Asy-Syafi’i adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwasanya pokok dari bid’ah yang tercela adalah perkara yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam syari’ah yang bisa dijadikan landasan,dan inilah bid’ah yang dimaksudkan dalam definisi syar’i (terminology). Adapun bid’ah yang terpuji adalah perkara-perkara yang sesuai dengan sunnah yaitu yang ada dasarnya dari sunnah yang bisa dijadikan landasan dan ini adalah definisi bid’ah menurut bahasa bukan secara terminology karena ia sesuai dengan sunnah”(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 267)

Ketiga :Oleh karena itu tidak kita dapati Imam Asy-Syafii berpendapat dengan suatu bid’ahpun dari bid’ah-bid’ah yang tersebar sekarang ini dengan dalih hal itu adalah bid’ah hasanah. Karena memang maksud beliau dengan bid’ah hasanah bukanlah sebagaimana yang dipahami oleh para pelaku bid’ah zaman sekarang ini.

Membahas Tauhid dan Bid’ah Lebih Urgen daripada Membahas Selainnya

Kedua hal ini,yaitu Tauhid dan Bid’ah adalah dua hal yang sangat penting untuk dibahas. Karena keduanya adalah pokok dan akar permasalahan umat saat ini. Kita lihat betapa banyak orang-orang yang masih berbuat syirik. Betapa banyak juga orang-orang yang masih berbuat bid’ah,mereka beribadah yang mana ibadah itu tidak sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Padahal mengaku sebagai umat Muhammad Shallallahu’alaihi wa salam adalah konsekuensi dari makna Syahadat Asy-haduanna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh.

Oleh karena itulah kecintaan kita terhadap Islam,terhadap ajaran yang mulia ini dimulai dari sini. Dengan seseorang berlepas diri dari bid’ah,maka ia telah kembali kepada jalan yang benar. Ia telah menjadi pewaris sunnah,karena setiap bid’ah mengandung tuduhan keji,yaitu menganggap rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam khianat dalam menyampaikan risalah.

Karena itulah demi menjaga ajaran ini para muhaddits telah mengumpulkan hadits-hadits nabi dan telah meneliti para perawi serta sanadnya dengan sedetail-detailnya. Tidaklah agama ini akan terjaga terkecuali oleh para ahli hadits. Dan para ulama pun mengatakan tiadalah ahlussunnah melainkan mereka adalah ahli hadits. Di akhir zaman ini,setiap manusia mengaku mereka kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Tidaklah itu Syi’ah,tidaklah itu Murji’ah,tidaklah itu Mu’tazilah,tidaklah itu Jahmiyah,mereka semua mengatakan kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Hal itu mereka lakukan agar mendapatkan banyak pengikut. Namun tafsiran-tafsiran yang mereka kemukakan jauh daripada apa yang menjadi maksud dari RasulullahShallallahu ‘alaihi wa salam dan para shahabatnya.

Maka dalam beragama tidaklah lepas dari 3 hal,yaitu Al Qur’an,Al Hadits dan perkataan para shahabat,dalam hal ini bagaimana para shahabat memahami dalil dan mengamalkannya. Apabila seseorang mendapati ketiga hal itu ada pada dirinya,maka selamatlah ia—insya Allah.

Sebab-sebab Timbulnya Bid’ah di Kalangan Kaum Muslimin

1. Ghuluw

Tidaklah bencana bagi seorang muslim sehingga ia melakukan ghuluw,yaitu sikap berlebihan. Dengan sebab inilah kita bisa lihat bagaimana dengan mudahnya seseorang mengkafirkan saudaranya sendiri lantaran ia tak sefaham dengan pendapatnya,dan dengan mudahnya ia mengatakan bahwa dirinya adalah satu-satunya orang yang paling sholih dan yang paling beriman,selainnya kafir. Kita bisa jumpai hal ini pada kelompok-kelompok khawarij.

Apakah khawarij hanya ada pada zaman Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu saja? Tidak. Justru khawarij akan tetap ada sampai akhir zaman. Dan mereka pada setiap zaman akan ditumpas habis,kemudian muncul lagi lalu ditumpas habis,seterusnya,sampai muncullah Dajjal dan mereka akan menjadi pasukan-pasukan Dajjal.

Selain khawarij,ada pula kelompok-kelompok yang ghuluw dalam beribadah,seperti orang-orang thoriqot sufi. Mereka beribadahnya masya Allah,dzikirnya ribuan,sholatnya semalaman,namun apa yang mereka lakukan tidaklah ada contohnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam. Demikian juga kelompok Jabriyah maupun Qodariyah,demikian juga Syi’ah yang memiliki sifat berlebihan kepada ahlul bait.

Seseorang yang mempunyai sifat berlebihan mereka sedikit demi sedikit akan seperti para ahlu bid’ah lainnya. Orang yang terlalu keras ibadahnya,maka ia akan cepat mengalami futur. Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam memberitahukan bahwa orang yang ghuluw bakal kalah.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi wa salam bersabda:“Rusak binasalah orang-orang yang suka berlebih-lebihan -melebihi kadar kemampuan dirinya sendiri-.”Beliau Shallallahu’alaihi wa salam menyabdakan ini tiga kali. [Riwayat Muslim] Almutanaththi’una yaitu orang-orang yang berlebih-lebihan dalam segala perkara. [Riyadhus Shalihin Bab 328 Makruhnya Memaksa-maksakan Keindahan Dalam Bercakap-cakap Dengan Jalan Berlagak Sombong Dalam Mengeluarkan Kata-kata Dan Memaksa-maksakan Diri Untuk Dapat Berbicara Dengan Fasih Atau Menggunakan Kata-kata Yang Asing -Sukar Diterima- Serta Susunan Yang Rumit-rumit Dalam Bercakap-cakap Dengan Orang Awam Dan Yang Seumpama Mereka Itu,Pustaka Amani Jakarta]

Contohnya telah banyak. Orang-orang yang dahulu keras dan ghuluw,akhirnya mereka pun akan jatuh kepada kefuturan. Mereka yang dulunya sering sholat setiap malam,namun kemudian futur karena mereka terlalu ghuluw dalam beribadah.

2. Senang Dipuji

Salah satu bencana seorang muslim sehingga timbul pada dirinya sebab-sebab bid’ah adalah senang dipuji. Sebab apabila seseorang dipuji,maka ia merasa besar dan merasa dirinya lebih beriman,lebih sholih daripada orang yang lain. Sedangkan para salaf bukanlah orang yang gila pujian.

Dari Abu Bakrah radhiyallahu’anhu bahwasanya ada seorang lelaki disebut-sebut namanya di sisi Nabi shallallahu’alaihi wa salam,lalu ada lelaki lain memujinya dengan menunjukkan kebaikannya,kemudian Nabi shallallahu’alaihi wa salam bersabda:“Celaka engkau,engkau telah mematahkan lehernya.”Beliau shallallahu’alaihi wa salam mengucapkan ini berulang-ulang. Selanjutnya sabdanya lagi:“Jikalau seorang diantara engkau semua perlu harus memuji,maka hendaklah mengatakan:“Saya kira ia adalah demikian,demikian,apabila memang orang itu diketahuinya benar-benar seperti itu,sedang yang kuasa memperhitungkan amalannya adalah Allah juga dan tiadalah seseorang itu akan dianggap suci oleh Allah -hanya disebabkan banyaknya pujian yang diperolehnya dari orang-orang-.”[Muttafaq ‘alaih—Riyadhus Shalihin Bab 360 Makruhnya Memuji di muka orang yang dipuji jikalau dikhawatirkan timbulnya kerusakan padanya seperti ujub,tetapi boleh bagi seseorang yang aman hatinya dari sifat demikian,Pustaka Amani Jakarta]

Dan kebanyakan para ahlu bid’ah lebih senang melakukan bid’ahnya dikarenakan mereka ingin dipuji. Sehingga mereka enggan dan segan mengikuti jalan yang benar,karena apabila mengikuti sunnah-sunnah nabinya mereka akan hilang atau lepas dari pujian-pujian yang sebelumnya dulu mereka dapatkan,kemudian mereka takut dikatakan sesat dan dikatakan telah keluar dari kelompoknya dikarenakan kembali kepada sunnah.

 

3. Gila Popularitas

Gila popularitas termasuk sifat sum’ah,yaitu ingin didengar. Dan ini adalah penyakit hati yang harus diberangus. Karena penyakit sum’ah adalah penyakit yang mana pelakunya akan dimasukkan ke neraka pertama kali oleh Allah Azza wa jalla. Sebagaimana hadits shohih yang masyhur yaitu tentang tiga kelompok orang yang dimasukkan ke dalam neraka pertama kali dari anak Adam,yaitu orang yang mati dalam jihad fii sabilillah namun agar dipuji oleh orang sebagai pahlawan,kemudian orang dermawan yang ingin dipuji kedermawanannya,dan orang qori’,atau pengajar Al Qur’an yang ingin dipuji atau didengar bahwa ia adalah orang sholih yang mengajarkan ilmu dien.

Kenapa saya katakan gila popularitas bisa menjerumuskan orang ke dalam hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana orang-orang yang gila popularitas seperti para selebriti. Mereka akan melakukan apa saja dengan membuat sensasi,entah itu sensasinya benar adanya,ataupun hanya berita bohong. Mereka senang dengan hal itu,karena mereka ingin popularitas. Dan tak kalah dengan itu semua di kalangan ahli ilmu pun demikian. Mereka yang gila popularitas akan melakukan hal-hal yang akan membuat ia lebih populer di kalangan umat. Sehingga umat pun akan nanggap ustadz atau kyai tersebut. Sehingga tak jarang para ustadz tersebut punya ciri khas dengan cara dakwah mereka,entah itu dianggap ustadz pelawak,atau ustadz kera sakti dan sebagainya. Mereka sedikit sekali memberikan ilmu dalam pengajiannya bahkan setiap pengajian selesai coba tanya siapapun yang mengikutinya,apa yang disampaikan oleh ustadz tersebut,maka mereka tak akan bisa menjelaskan apa yang baru saja disampaikan.

4. Pengaruh dari luar Islam

Pengaruh dari luar Islam ini banyak. Sebagai contoh orang-orang Yahudi yang menjadikan kuburan-kuburan para nabi menjadi tempat ibadah. Hal ini kita bisa jumpai di Indonesia,juga di Iran di mana kuburan orang-orang sholih dijadikan tempat ibadah.

Imam Bukhari dalam Kitab Sholat meriwayatkan sebuah hadits:

Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa salam bersabda,“Allah melaknat orang Yahudi karena mereka membangun tempat-tempat ibadah di kuburan-kuburan para nabi mereka.”

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam bersabda:“Janganlah engkau semua menjadikan rumah-rumahmu itu sebagai kuburan -yakni tidak pernah shalat sunnah atau membaca al-Quran di dalamnya-,sehingga sepi dari ibadah. Sesungguhnya syaitan itu lari dari rumah yang di dalamnya itu dibacakan surat al-Baqarah.”[Riwayat Muslim,Diriwayatkan oleh Imam Nawawi di dalamRiyadhus Shalihin Bab 183. Anjuran Membaca Surat-surat Atau Ayat-ayat Yang Tertentu,hadits no. 1015,Pustaka Amani Jakarta]

Kalau Anda pergi ke makan para wali,maka tak pelak lagi anda akan lihat kuburan-kuburan mereka dijadikan masjid,dan dibuat sholat! Ini adalah salah satu bentuk bid’ah yang diada-adakan di dalam Islam dan sesuatu yang dibenci oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa salam.

5. Menempatkan akal sebagai hakim atas masalah-masalah syar’i

Salah satu bentuk jeleknya bid’ah adalah menempatkan akal di atas wahyu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak pernah berkata atas hawa nafsu beliau.

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى

artinya:“Dan tiadalah yang diucapkannya itu merupakan kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain wahyu yang diwahyukan” [Q.S. An Najm:3-4]

Dan tidaklah syari’at bagaimana caranya sholat,bagaimana caranya bersholawat,bagaimana juga caranya beribadah yang lainnya merupakan ijtihad rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Semuanya adalah wahyu yang diwahyukan. Dan kebanyakan manusia yang berbuat bid’ah itu memahami syari’at dengan ra’yu (akal) dan hawa nafsunya. Mereka menganggap ibadah yang pas dengan hati mereka dianggap yang paling benar. Padahal tidak demikian.

Sehingga kita bisa lihat bagaimana kaum sufi yang mendahulukan “perasaan baik” mereka ketika menelaah suatu ibadah yang mereka ada-adakan. Mereka selalu berkata,“Bukankah ini kebaikan?” Sebagaimana yang telah dikemukakan di muka bahwa niat baik saja tidaklah cukup. Tetapi tetap kembali kepada dalil,sudah sesuai dengan dalil atau tidak.

Akibat Bid’ah

Orang-orang yang berbuat bid’ah,maka mereka terkena hukuman yang berat yang mana telah disampaikan oleh rasulullahShallallahu ‘alaihi wa salam dalam sebuah hadits shahih.

“Barangsiapa yang berdusta atas namaku,maka Allah telah menyiapkan singgasana untuknya di neraka” [HR. Bukhari]

Maka cukuplah ini sebagai pelajaran bagi kita untuk berhati-hati dalam beramal. Orang yang bertakwa maka mereka adalah orang yang berhati-hati dalam setiap hal,baik dalam beramal,dalam beribadah dan dalam hal-hal yang lain. Sebab mereka takut kalau-kalau ibadahnya tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’alaa. Bisa jadi ibadahnya tertolak lantaran tidak sesuai tuntunan dan syari’at,bisa jadi ibadahnya tidak ikhlas,karena ada penyakit riya’,ujub,sum’ah. Bisa jadi ibadahnya tersebut tercampuri hawa nafsu. Hanya kepada Allah-lah kita memohon pertolongan dari ini semua.

Kesimpulan

1. Islam telah sempurna,maka siapapun yang menambah ataupun mengurangi sesuatu di dalam dienul Islam,maka dia telah menuduh rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak amanat.

2. Bid’ah adalah perbuatan yang diada-adakan di dalam masalah agama,bukan masalah keduniaan.

3. Ibadah tetap mengacu kepada dalil. Sedangkan ibadah-ibadah ghairu mahdhoh yang ditunjukkan oleh kalangan yang membela bid’ah,mereka malah ada dalil-dalilnya.

4. Sholawat tetap ada tuntunannya.

5. Golongan yang selamat adalah yang kembali kepada apa yang dibawa oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan para shahabatnya.

6. Ibadah itu tidak berdasarkan ra’yu,namun berdasarkan dalil dan pemahaman salafush sholih.

7. Bid’ah adalah sesuatu yang harus kita hindari dan kita berlindung kepada Allah dari hal ini,kemudian kita berusaha menjauhi hal-hal yang bisa menyebabkan seseorang jatuh kepada bid’ah.

8. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak pernah berbicara dengan hawa nafsunya,melainkan apapun yang diucapkan beliau shallallahu ‘alaihi wa salam adalah wahyu yang diwahyukan. Demikian juga harusnya sikap seorang mukmin yang beriman kepada beliau,maka tidak selayaknya dalam urusan agama mereka berqiyas. Qiyas boleh dilakukan asalkan tidak ada dalil lagi yang menjelaskan,dan tidak setiap orang berqiyas,namun yang boleh adalah ahlu ilmi yang mana mereka punya kemampuan memilah antara yang haq dan yang bathil dari syari’at ini

Wallahu a’lam bishawab.

Maraji:

1. Ringkasan Shahih Bukhari dan Muslim di dalam hadits web.4

2. Riyadhus Shalihin Pusta Amani,jakarta

3. Minhaj Al Firqotun Najiyah Syaikh Muhammad Jamil Zainu.

4. Al I’tisham Imam Asy Syathibi

5. Majalah Al Furqon edisi 12 thn 8 terbitan tahun 1430 H/2009 M

6. Kumpulan Fatwa Ulama Al Manhaj

7. Blog ustadz Firanda Andirja http://www.firanda.com

8. blog http://www.muslim.or.id/

Kenapa Iblis bisa Kafir?

Dulu ketika saya masih saya masih SD atau SMP, pernah ada yang bilang bahwa kita sama Iblis itu masih lebih beriman Iblis. Soalnya Iblis itu langsung bicara sama Allah, dan Iblis juga tahu bahwa Allah itu satu-satunya tuhan di semesta raya ini. Saya yang masih awam tentu saja manggut-manggut dengan pendapat seperti itu, bahkan itu bisa memacu seseorang untuk lebih banyak beribadah agar tidak seperti Iblis. Yang akhirnya tujuan dari ibadah itu sendiri adalah ingin bisa bertemu dengan Allah (di dunia), sehingga orang-orang yang mempunyai pemikiran seperti ini biasanya adalah orang-orang sufi dan orang-orang yang menganggap Allah bisa menyatu dengan mereka. Hal ini menggelitik saya untuk membahas tentang permasalahan ini. Saya bagi 3 pembahasan, pertama pembahasan makna tauhid, pembatal-pembatal Islam, sebab-sebab dan alasan Iblis dikafirkan.

Makna Tauhid

Yang pertama makna tauhid. Tauhid adalah mengesakan Allah dalam setiap peribadatan. Tauhid merupakan dasar keimanan yang paling dasar. Pondasi yang akan menguatkan sebuah bangunan, sehingga apabila bangunan itu terkena gempa, badai, atau apapun juga apabila pondasinya kuat, maka bangunan itu tidak akan rubuh. Apabila pondasinya saja tidak kuat bahkan hancur, niscaya tidak akan bisa bangunan itu berdiri, bahkan tumbang.

Allah berfirman dalam Surat Al Baqarah ayat 34:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

Artinya: “Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para Malaikat “Sujudlah kamu sekalian kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”.

Dari ayat ini kita bisa mendapatkan pelajaran yang paling berharga yang mana di ayat ini juga termasuk di dalamnya banyak syubhat-syubhat yang biasanya dilontarkan kepada orang-orang awam yang tidak faham terhadap ayat ini. Di dalam ayat ini Allah memberikan perintah, yang mana setiap perintah yang berasal dari Allah secara langsung maka itu wajib dita’ati. Tidak ada pilhan kedua, ketiga dan seterusnya yang mana Allah telah tetapkan. Sebagaimana Allah telah berfirman kepada matahari untuk terbit dari barat, sebagaimana juga Allah berfirman kepada lautan untuk tidak meluap, maka setiap makhluk tunduk kepada firman Allah dan hanya orang-orang kafir saja yang tidak tunduk kepada perintah-Nya. Continue reading

Dilarang Bersumpah Mendahului Allah

Nash Hadits

Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Jundab bahwa Rasulullah menyampaikan bahwa seorang laki-laki berkata, “Demi Allah, Allah tidak mengampuni fulan.”Dan bahwa Allah berfirman, “Siapakah gerangan yang bersumpah mendahului Aku bahwa Aku tidak mengampuni fulan. Aku telah mengampuni fulan dan membatalkan amalmu.” Atau seperti yang dia sabdakan.

Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Di kalangan Bani Israil terdapat dua orang laki-laki bersaudara. Salah seorang dari keduanya berbuat dosa, sementara yang lain bersungguh-sungguh dalam beribadah. Orang yang bersungguh-sungguh melihat kawannya selalu melakukan dosa, maka dia berkata kepadanya, ‘Berhentilah.’

Suatu hari dia melihat temannya berbuat dosa lagi, maka dia berkata kepadanya, ‘Berhentilah.’ Kawannya menjawab, ‘Biarkan diriku. Ini antara aku dengan Tuhanku. Apakah kamu diutus sebagai pengawasku?’ Dia
berkata, ‘Demi Allah, Allah tidak mengampunimu atau Allah tidak memasukkanmu ke dalam Surga.’

Lalu keduanya mati. Keduanya berkumpul di sisi Rabbul alamin. Maka Dia berfirman kepada orang yang bersungguh-sungguh, ‘Apakah kamu mengetahui tentang Aku, atau apakah kamu mampu atas apa yang ada di tangan-Ku?’ Dia berfirman kepada pelaku dosa, ‘Pergilah, masuklah ke dalam Surga dengan rahmat-Ku.’ Dan berfirman kepada yang lain, ‘Bawalah orang ini ke Neraka.”

Abu Hurairah berkata, “Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, dia telah mengucapkan satu kalimat yang    mencelakai dunia dan Akhiratnya.”

Takhrij Hadits

Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam Kitabul Bir was Shilah wal Adab, 4/2022, no. 2618. Lihat Syarah Shahih Muslim Nawawi, 16/133.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya dalam Kitabul Adab, bab larangan tentang berbuat aniaya, no. 1901. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud, 3/926, no. 4097.

Penjelasan Hadits

Tidak patut bagi ahli ibadah ini untuk bersumpah mendahului Allah, karena segala urusan adalah milik Allah. Apa yang Dia kehendaki, pasti terjadi. Dan apa yang tidak, maka tidak akan terjadi. Dia memberikan dan menahan kebaikan, mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya, menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya, serta memberi petunjuk dan kesesatan. Bukan sepatutnya seorang hamba menahan Tuhannya untuk mengampuni fulan atau membatalkan amal fulan. Orang yang perlu dikasihani ini telah berbicara – seperti yang dikatakan oleh Abu Hurairah, perawi hadis – dengan satu kalimat yang menghanguskan dunia dan Akhiratnya.

Allah mengambil ruh keduanya. Keduanya berkumpul di sisi-Nya. Allah mencela dan menyalahkan orang yang bersumpah mendahului Allah, “Apakah kamu mengetahui Aku? Ataukah kamu mampu terhadap apa yang ada di tangan-Ku?” Lalu Allah memerintahkan agar dia dimasukkan ke Neraka, sementara orang yang berdosa dimasukkan ke Surga.

PELAJARAN HADITS

1. Berkata atas nama Allah tanpa ilmu termasuk dosa terbesar yang menghanguskan amal pelakunya. Seperti klaim laki-laki ini, bahwa Allah tidak mengampuni fulan. Allah Maha Mampu untuk melakukan apa yang Dia inginkan dan rahmat-Nya sangat luas.

2. Hendaknya seorang muslim berhati-hati dalam bermuamalah dengan Tuhannya. Dia harus bersikap dengan sikap ubudiyah, mentaati-Nya, menjalankan perintah-Nya, bersabar dalam berdakwah dan tidak terburu-buru dalam menghukumi mereka.

3. Takut terhadap su’ul khatimah. Ahli ibadah ini masuk Neraka dan pelaku dosa itu masuk Surga.

4. Hadis ini mengandung dalil bagi Ahlus Sunnah, bahwa Allah mengampuni dosa tanpa taubat jika berkehendak, sebagaimana Dia mengampuni pelaku dosa ini padahal dia tekun berlaku dosa seperti yang tertangkap dari hadis.

[Diambil dari Shahih Qashash, oleh Dr. Umar Sulayman Al-Asyqor, penerbit Pustaka Elba]

SANGGAHAN TERHADAP MEREKA YANG EKSTRIM DALAM MENETAPKAN KEMAMPUAN MANUSIA DAN MENIADAKAN KEHENDAK ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Adapun pendapat kedua, yaitu pendapat golongan yang ekstrim dalam menetapkan kemampuan manusia, maka pendapat inipun bertentangan dengan nash dan kenyataan. Sebab banyak ayat yang menjelaskan bahwa kehendak manusia di bawah (tidak lepas dari) kehendak Allah.

Firman Allah:

“Artinya : (Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” [At-Takwir: 28-29]

“Artinya : Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.” [Al-Qashash : 68]

“Artinya : Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (Surga), dan menunjuki orang yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus (Islam).” [Yunus : 25]

Mereka yang menganut pendapat ini sebenarnya telah mengingkari salah satu aspek dari rububiyah Allah, dan berprasangka bahwa ada dalam kerajaan Allah ini apa yang tidak dikehendaki dan tidak diciptakanNya. Padahal Allah-lah yang menghendaki segala sesuatu, menciptakannya dan menentukan qadar (taqdir)nya.

Sekarang, kalau semuanya kembali kepada kehendak Allah dan segalanya berada di Tangan allah, lalu apakah jalan dan upaya yang akan ditempuh seseorang apabila dia telah ditakdirkan Allah tersesat dan tidak mendapat petunjuk? Continue reading