Another Blog

Assalaamu’alaykum kepada para pembaca sekalian. Saya hanya ingin memberitahu bahwa blog saya ini, akan sangat jarang sekali saya kunjungi. Kalau Anda ingin berdiskusi dengan saya masalah-masalah postingan di sini, saya pun telah memosting beberapa permasalahan yang ada di website ini ke situs pribadi saya di http://www.abuaisyah.com. Namun tidak seluruh artikel di situs ini saya post di sana. Mungkin ke depannya bisa jadi saya pindahkan semua ke sana.

Kenapa begitu?

Pertama, blog ini usianya sudah sangat lama.

Kedua, saya sudah jarang login ke wordpress.

Ketiga, saya lebih banyak menulis di http://www.abuaisyah.com

Apabila anda ingin menambahkan pertemanan saya di facebook silakan akses facebook saya di http://www.facebook.com/romadhoni atau kalau anda ingin follow twitter saya, silakan follow http://www.twittercom/ahmad_muslim

Apabila Anda ingin menjalin bisnis atau kerja sama dengan saya, maka silakan kirim ke email saya di exblopz [at] gmail.com. Mohon maaf, saya tidak melayani diskusi agama lewat email. Karena email tersebut untuk bekerja. Kalau anda ingin diskusi silakan kirim pesan ke akun facebook saya.

Saya pun telah membuat sebuah Page di facebook dengan nama Al Firqotun Najiyah. Silakan lihat di https://www.facebook.com/AlFirqotunNajiyah?ref=hl

Saya sangat bersyukur dan memuji Allah dengan setinggi-tingginya pujian atas banyak kaum muslimin yang telah mengakses situs ini dan mengambil manfaat daripadanya. Saya hanyalah orang dha’if, yang bisa jadi banyak kesalahan dalam menuliskan artikel di blog ini. Masih banyak orang-orang yang lebih kredibel daripada saya yang bisa menulis lebih bagus dan lebih memberikan manfaat selain saya. Adapun kebaikan dari situs ini, maka itu dari Allah semata, adapun kesalahan semuanya berasal dari saya yang dha’if.

Akhirul da’wana, Wassalaamu’alaykum warohmatullohi wabarokaatuh.

Tips Agar Tidak Mengantuk Saat Khutbah Jum’at

Sholat Jum’at adalah sholat yang wajib bagi mereka yang bermukim di sebuah tempat dan dilakukan pada hari Jum’at. Sholat ini pula wajib bagi laki-laki, namun tidak diwajibkan buat perempuan. Namun tidaklah perempuan dilarang melaksanakan sholat Jum’at asalkan aman terhadap fitnah, yaitu disediakan tempat khusus yang terpisah dengan kaum laki-laki. Salah satu pahala yang besar yang ada pada sholat Jum’at adalah datang sebelum khatib naik mimbar.

Rasulullah SAW bersabda:

مَنِ اغْتسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَ نَّمَا قَرَّبَ بُدْ نَةً، وَمَنْ رَاحَ فىِ السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَ نَّمَاقَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِى السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَ نَّمَا قَرَّبَ كَبْشًااَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِى السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَ نَّمَاقَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِى السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَ نَّمَاقَرَّبَ بَيْضَةً، فَاِذَا خَرَجَ اْلاِمَامُ حَضَرَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُوْنَ الذِّكْرَ.

“Barang siapa yang mandi seperti mandi junub pada hari Jum’at, kemudian dia pergi ke masjid pada kesempatan pertama, maka pahalanya seperti pahala berkorban dengan seekor unta. Barang siapa pergi ke masjid pada kesempatan kedua, maka pahalanya seperti pahala berkorban dengan sapi. Barang siapa pergi ke masjid pada kesempatan ketiga, maka pahalanya seperti pahala berkorban dengan seekor kambing. Barang siapa pergi ke masjid pada kesempatan keempat, maka pahalanya seperti pahala berkorban dengan ayam. Barang siapa tiba ke masjid pada kesempatan kelima, maka pahalanya seperti pahala berkorban dengan sebutir telur. Jika imam (khatib) telah keluar, para malaikat hadir mendengarkan khutbah (tidak ada yang mencatat siapa yang datang setelah itu).” (HR. Muslim).

Sumber: http://m.dakwatuna.com/2012/01/18071/ibadah-jumat-yang-memprihatinkan/#ixzz1tCktuKHP

 

Dalam hadits lain disebutkan:

إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ, وَقَفَتِ الْمَلاَئِكَةُ عَلَى بَابِ الْمَسْجِدِ يَكْتُبُوْنَ اْلأَوَّلَ فَاْلأَوَّلَ وَمَثَلُ الْمُهَجِّرِ كَمَثَلِ الَّذِى يُهْدِى بَدَنَةً, ثُمَّ كَالَّذِى يُهْدِى بَقَرَةً, ثُمَّ كَبْشًا, ثُمَّ دَجَاجَةً, ثُمَّ بَيْضَةً،  فَاِذَا خَرَجَ اْلاِمَامُ طَوَوْا صُحُفَهُمْ, يَسْتَمِعُوْنَ الذِّكْرَ.

“Jika tiba hari Jumat, para malaikat berdiri di pintu-pintu masjid menulis yang hadir pertama dan yang seterusnya. Dan perumpamaan orang yang berangkat pertama adalah seperti orang yang berkorban seekor unta, kemudian seperti orang yang berkorban sapi, kemudian seekor domba, kemudian seekor ayam, kemudian sebutir telur. Jika imam telah hadir, maka mereka menutup buku catatan dan menyimak dzikir (khutbah).” (HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah).
Sumber: http://m.dakwatuna.com/2012/01/18071/ibadah-jumat-yang-memprihatinkan/#ixzz1tClA5fTi

 

Rasulullah SAW bersabda:

وَاِذَ قُلْتَ لِصَا حِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاْلاِمَامُ يَخطُبُ أَنْصِتْ فَقَدْ لَغَوْتَ.

“Bila engkau katakan kepada temanmu pada hari Jumat “diam” sewaktu imam berkhutbah, maka sesungguhnya engkau telah menyia-nyiakan (shalat Jum’atmu)” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sumber: http://m.dakwatuna.com/2012/01/18071/ibadah-jumat-yang-memprihatinkan/#ixzz1tClmNyVt

Itu tadi dalil-dalil seputar sholat Jum’at. Intinya keutamaan sholat Jum’at adalah Anda datang sebelum khotib naik mimbar, kemudian diam ketika hotib memberikan ceramahnya. Namun ada sebuah hal yang perlu dijadikan sebuah renungan. Tiap kali khutbah, terkadang karena kita capek, trus angin yang masuk masjid sepoi-sepoi membuat mata kita nyaman alias ngantuk.

Berikut tips-tips dari saya pribadi yang sudah saya buktikan ampuh untuk mengusir ngantuk ketika khutbah berlangsung. Karena ini tips dari saya, tentunya akan berbeda pula tips-tips dari orang lain.

1. Sebelum berangkat sholat Jum’at usahakan mandi junub terlebih dahulu, biar badan segar dan sejuk. Dan karena badan segar dan sejuk, ngantuk pun hilang. Badan segar membuat anda semangat, apalagi untuk sholat jum’at.

2. Kalau masih mengantuk, maka jangan sarapan terlalu banyak paginya. Karena sarapan terlalu banyak akan membuat anda mengantuk.

3. Kalau Anda tidak bekerja di hari Jum’at atau bekerja setelah sholat Jum’at, maka tidur dulu sejenak sebelum sholat Jum’at bisa jadi salah satu solusinya.

4. Kalau ketiga cara di atas masih gagal, mungkin salah satu cara yang sedikit ampuh adalah minum kopi sebelum berangkat sholat Jum’at. Kopi bisa jadi salah satu cara yang ampuh untuk membuat kita terjaga dan tidak mengantuk.

5. Kalau Anda masih mengantuk geser tempat duduk, atau ganti tempat duduk (kalau masih ada yang kosong). Atau Anda bisa mengambil air wudhu dan berwudhu lagi.

6. Kalau Anda tetap mengantuk, maka bawa catatan dan catat isi khutbah. Hal ini diperbolehkan oleh para ulama. Karena isi khutbah adalah ilmu dan dengan mencatatnya ilmu tersebut telah diikat. Yang tidak diperbolehkan adalah membuat kegiatan yang sia-sia ketika khutbah berlangsung, namun menulis ilmu yang ada pada khutbah itu bukanlah perbuatan yang sia-sia dan salah satu ibadah.

7. Harus punya niat yang kuat bahwa pada saat khutbah nanti ingin benar-benar memahami isi khutbah, mendengarkan ceramah dan tidak akan mengantuk. Tanpa komitmen dari awal, anda akan mengantuk nantinya.

Demikian 7 tips yang bisa saya sampaikan. Mungkin kalau ada yang mau menambahkan lagi tipsnya silakan.

Wallahu a’lam bihsawab.

Ustadz Fadzlan, Gigih Berdakwah di Papua

Berawal dari membaca tokoh perubahan Republika, saya langsung penasaran dengan Ustad Fadzlan Garamatan  yang telah mengislamkan sekitar 220 suku di papua dengan berdakwah ke daerah pelosok papua. Dan sampailah surfing saya ke website resmi yayasan beliau AFKN dan artikel beliau di FB RENUNGAN N KISAH INSPIRATIF Dari kedua sumber tersebut saya kutip kembali di sini. Sungguh sangat menakjubkan kisahnya, karena saking kagumnya saya jadi bingung bagian mana dari cerita ini yang dipotong, karena sangat sayang untuk dilewatkan :)

Dan ini saya kutip dari FB RENUNGAN N KISAH INSPIRATIF:

Pria ini bernama M Zaaf Fadlan Rabbani Al-Garamatan. asli Irian, berkulit gelap, berjenggot kemana-mana memilih membalut tubuhnya dengan jubah.

Lahir dari keluarga Muslim, 17 Mei 1969 di Patipi, Fak-fak, sejak kecil dia sudah belajar Islam. Ayahnya adalah guru SD, juga guru mengaji di kampungnya.

Pengetahuan ilmu agamanya kian dalam ketika kuliah dan aktif di berbagai organisasi keagamaan di Makassar dan Jawa. Anak ketiga dari tujuh bersaudara ini akhirnya memilih jalan dakwah. Dia mendirikan Yayasan Al Fatih Kaaffah Nusantara. Melalui lembaga sosial dan pembinaan sumber daya manusia ini, Ustadz Fadlan begitu ia kerap disapa mengenalkan Islam kepada masyarakat Irian sampai ke pelosok. Dia pun mengembangkan potensi dan sumber daya yang ada, mencarikan kesempatan anak-anak setempat mengenyam pendidikan di luar Irian.

== Curhat Ust.Fadlan ==

Dikisahkan oleh Ust.Fadlan bahwa orang-orang muslim di Indonesia, masih terbersit opini bentukan penjajah bahwa di wilayah Indonesia Timur, terutama Papua, banyak penduduknya yang non muslim masih melekat. Hal itu pernah ia buktikan kala mengisahkan pengalamannya saat Ust.Fadlan masuk kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar di tahun 80′an. Dia pernah diusir oleh dosen agama Islam hanya karena berkulit hitam dan berambut keriting. Tapi sebelum keluar, dia sedikit protes dengan mengajukan empat pernyataan.

”Apakah agama Islam hanya untuk orang berkulit putih, Jawa, Bugis atau untuk semua orang yang hidup di dunia? Siapa sahabat nabi Saw yang berkulit hitam dan berambut keriting namun merdu suaranya? Siapa saja yang ada dikelas ini yang bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar?” tandasnya.

Ditanya seperti itu, sang dosen hanya menanggapi pertanyaan yang ke-3 saja. Ternyata, dari 47 mahasiswa yang hadir, hanya tujuh orang yang bisa. Salah satunya adalah orang yang berkulit hitam dan berambut keriting tersebut. Langsung saja Ustadz Fadlan mendapat kesempatan memberi nasehat kepada semua yang di kelas yang tadi mau mengusirnya. Selama dua jam dia memberi nasehat, sehingga mata kuliah agama hari itu selesai.

Dosennya pun langsung menyatakan Ustadz Fadlan lulus dengan nilai A di hari pertama masuk kelas agamalah. Karena, selain puas dengan nasihat Ustadz Fadlan yang menyatakan jangan merasa bangga hanya karena beda warna kulit atau lainnya, Fadlan mampu membaca Alqur’an (salah satu kemuliaan agama Islam) dengan baik dan benar.

Mulai Berdakwah

Lulus sebagai sarjana ekonomi, Fadlan tidak memilih untuk menjadi pegawai negeri atau pengusaha, tapi Da’i, penyeru agama Islam dan mengangkat harkat martabat orang Fak-fak, Asmat, dan orang Irian lainnya. Dia tidak setuju kalau orang-orang ini dibiarkan tidak berpendidikan, telanjang, mandi hanya tiga bulan sekali dengan lemak babi, dan tidur bersama babi. Semua penghinaan itu hanya karena alasan budaya dan pariwisata. ”Itu sama saja dengan pembunuhan hak asasi manusia” katanya.

Dia pun berjuang dan berdakwah untuk semua itu. Tempat yang pertama kali dikunjungi adalah lembah Waliem, Wamena. Dengan konsep kebersihan sebagian dari iman, Fadlanmengajarkan mandi besar kepada salah satu kepala suku. Ternyata ajaran itu disambut positif oleh sang kepala suku. ”Baginya mandi dengan air, lalu pakai sabun, dan dibilas lagi dengan air sangat nyaman dan wangi,” jelasnya.

Selain itu juga ada beberapa orang yang tertarik dengan ibadah sholat. Sambil mengingat masa itu, dia bercerita, ”Di Irian itu, babi banyak berkeliaran kayak mobil antri. Sehingga untuk mendirikan sholat harus mendirikan panggung dulu. Saat itu orang-orang langsung mengelilingi. Selesai sholat, kami ditanya mengapa mengangkat tangan, mengapa menyium bumi?”.

Jawabnya,”Kami bersedekap bertanda kami menyerahkan diri kepada satu-satunya Pencipta seluruh alam. Mencium bumi karena disinilah kita hidup. Tumbuhan dan hewan, yang mana makanan kita berasal dari mereka juga tumbuh di atas bumi”

Dakwah seperti ini yang dia gunakan. Mengajarkan kebersihan, dialog dengan apa yang mereka pahami, pergi ke hutan rimba, dan membuka informasi. Dengan dakwah yang sudah dijalankannya selama 19 tahun ini, banyak orang yang masuk Islam di sana. Tercatat 45% warga asli memeluk agama Islam. Jika ditambah dengan para pendatang, maka pemeluk Islam sebanyak 65% dari seluruh manusia yang ada di pulau burung tersebut.

Di setiap daerah yang dikunjungi, Ust.Fadlan selalu bersikap santun. Shalat di tengah-tengah komunitas `asing’ tak pernah ia tinggalkan. Perlahan-lahan jejaknya diikuti oleh masyarakat setempat. `’Ketika menyaksikan mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, saya tidak kuat. Air mata menetes,” ucapnya.

==

Dikisahkan, Ust Fadlan pernah berdakwah sendirian untuk menuju suatu perkampungan dengan waktu tempuh tercepat 3 bulan berjalan kaki. Dan Subhanallah hal tersebut tidak pernah menyurutkan hatinya untuk terus berdakwah, jika ada aral melintang dia selalu kembalikan kepada Allah SWT, dan dia selalu ingat bagaimana dulu Rasulullah SAW berdakwah dengan jarak ribuan kilo dan di padang tandus.

Ust Fadlan juga mengisahkan cerita ada seorang da’i dari Surabaya ingin ikut berdakwah dengannya di tanah Papua, dan diajaklah dia. Awalnya da’i tersebut tidak menyangka akan mendapatkan perjalanan yang sangat berat di tanah Papua. Da’i bersama dengan Ust. Fadlan harus menempuh perjalanan selama 12 hari berjalan kaki untuk menembus daerah yang akan di kunjungi. Pada hari ke-10 da’i dari Surabaya sudah merasakan kelelahan sehingga dia marah-marah, Ust. Fadlan pun bilang, “Jika anda ingin kembali silahkan anda kembali sendiri, saya akan tetap meneruskan perjalanan ini, dan anda bukanlah umat Rasulullah SAW, karena anda hanya bisa mengeluh, anda tidak ingat betapa beratnya perjuangan Rasulullah SAW waktu pertama kali berdakwah?”. Setelah itu Ust. Fadlan tetap melanjutkan perjalanannya dan da’i tersebut dengan wajah menyesal mengikutinya.

setelah tiga bulan menetap di daerah tersebut dan tidak ada seorang pun yang masuk Islam, Ust. Fadlan mengatakan kepada da’i dari Surabaya bahwa ini karena da’i tersebut mempunyai niat yang salah sewaktu memulai perjalanan tersebut. Da’i tersebut merasa sangat bersalah sekali, dan dia berniat untuk memperbaikinya, dan Ust. Fadlan mengusulkan agar da’i tersebut untuk menikahi salah satu wanita yang ada di daerah tersebut. Da’i tersebut meminta waktu untuk shalat istikarah, setelah 7 hari beristikarah, dia memberi jawaban bahwa dia mendapatkan petunjuk dengan cahaya putih, Ust. Fadlan menyimpulkan bahwa itu artinya da’i tersebut memang harus menikah dengan wanita dari daerah tersebut. Maka di bawalah salah seorang wanita dari penduduk setempat untuk di ajak ke pulau Jawa, dan di tanah Jawa dia diajarkan semua tentang agama Islam, dan akhirnya mereka menikah di tanah Jawa.

==

Dikisahkan pula,pada suatu waktu Ust. Fadlan menceritakan tatkala ia bersama 20 orang berniat ingin mengunjungi daerah yang masyarakatnya masih asing dengan orang luar, dia mengatakan bahwa jika mereka kesana maka kemungkinan mereka akan langsung berhadapan dengan panah-panah beracun, maka Ust. Fadlan menanyakan apakah mereka siap untuk mati syahid, dalam menghadapi hal-hal semacam itu. Ternyata hanya 6 orang yang bersedia untuk mati syahid dan berani mendampingi ust. Fadlan ke daerah tersebut. Setelah mendekati daerah tersebut, mereka melihat masyarakat disana sudah siap menghadang mereka dengan senjata-senjata tradisional mereka. Selanjutnya di tengah perjalanan Ust. Fadlan menanyakan kembali kesediaannya dari 6 orang tersebut, apakah mereka benar-benar siap untuk mati syahid, dan mereka semua menyatakan siap. Sebelum mereka melangkah, Ust. Fadlan memberikan satu pesan, yaitu jika, Ust. Fadlan terkena panah dan sudah tidak dapat berdiri, ke-6 orang tersebut harus lari menyelamatkan diri. Setelah ada kesepakatan, mereka pun melangkah dengan langkah pasti. Dan masyarakat tersebut pun menyambut mereka dengan panah-panah beracun yang di lepaskan, hingga ust. Fadlan terkena panah di beberapa bagian badannya, dan akhirnya jatuh tersungkur, dan ust. Fadlan tetap berusaha untuk berdiri dan terus melangkah walaupun darah terus mengalir dari tubuhnya, sedangkan ke-6 orang tadi melihat ust. Fadlan telah tersungkur, dan ingat pesannya, maka mereka pun melarikan diri. Dan melihat keadaan ust. Fadlan yang masih berusaha untuk berdiri, ketua adat daerah tersebut pun meminta agar masyarakatnya menghentikan panah-panah beracun. Dia menghampiri ust. Fadlan dan membantunya, Ust. Fadlan hanya ingin kembali ke tempatnya agar bisa di obati luka-lukanya, dan ketua adat tersebut mengatakan bahwa dia akan ikut mengantarkannya. Ust. Fadlan mengira bahwa ketua adat akan menghantarkan dirinya sampai batas desa saja, tetapi ternyata ketua adat menghantarkannya hingga sampai ke rumahnya, sepanjang perjalanan ketua adat tersebut mengobati luka-luka Ust. Fadlan dengan bahan-bahan yang ada dari sekitar dan ketua adat tersebut bahkan berkeras untuk mengikuti ke rumah sakit yang ada di Makassar. Setelah pulang ketua adat tersebut akhirnya mengikrarkan diri masuk Islam.

==

Ust.Fadlan pernah bercerita pula karena dia berkulit gelap, sewaktu dia memberi salam kepada saudaranya yang muslim, saudara-saudara yang muslim belum tahu kalo dia muslim tidak pernah menjawab salam-salam beliau, padahal Rasulullah mempunyai seorang sahabat yang selalu mengumandangkan adzan yang mantan budak dan berkukit, dialah Bilal dan Islam sendiri tidak pernah membedakan warna kulit seseorang, bahkan dalam Al-Qur’an manusia di ciptakan berbeda untuk saling mengenal.

Dakwahnya yang beliau lakukan tidak pernah berhenti, selalu berlanjut baik dengan program pemberdayaan ekonomi. Bekerja sama dengan Baitul Maal Mu’amalat (BMM), selain itu, Fadlan mendirikan lembaga sosial dakwah dan pembinaan SDM kawasan Timur Indonesia Al Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN). Dengan lembaga tersebut, orang-orang Irian diajak membuat produk seperti buah merah, ikan asin, dan manisan pala bermerk BMM AFKN. Pasarannya sudah masuk di Jakarta, termasuk Carefour. Selain itu, Sagu irian juga diekspor ke India.

SDM pun juga tidak ketinggalan. Anak-anak muda dalam bimbingan lembaga tersebut sudah tersebar di seluruh indonesia demi menuntut ilmu guna memajukan kehidupan di tempat dimana matahari terbit pertama kali memberikan cahayanya (Nu Waar) untuk Indonesia.

Selain itu pula, beliau bersama dengan Badan Wakaf Qur’an beberapa tahun lalu pernah mengusahakan agar masyarakat di Papua mengupayakan mendapatkan Al-Qur’an untuk di tadaburi, dan juga pembangunan tenaga Listrik Mikro Hidro (sumber air yang berlimpah) agar dapat memberdayakan masyarakat disana jika listrik telah di pasang.

Itulah beberapa sekelumit kisah perjuangan seorang da’i yang tidak kenal lelah untuk mengenalkan masyarakat di sekitarnya untuk mengenal sang Pencipta. Subhanallah!!

————————

Yang ini saya kutip dari website AFKN yang merupakan wawancara dengan suara HIdayatullah

Cita-citanya sungguh mulia, yaitu mendengar suara azan Shubuh berkumandang di seantero tanah Papua alias Irian, sehingga mampu “membangunkan” kaum Muslimin di Indonesia. Berbagai upaya pun dilakukan.

Hasilnya: 900-an masjid telah tersebar di Papua, ribuan orang dimandikan secara massal, diajari cara berpakaian, dikhitan, kemudian dituntun mengucapkan kalimah syahadat.

Saat ini 1.400 anak asli Papua telah disekolahkan gratis. Awalnya dimasukkan ke berbagai pesantren di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, kemudian menempuh jenjang perguruan tinggi, dalam dan luar negeri. Ratusan di antaranya tengah menempuh jenjang S-1, dan sudah ada 29 orang yang menggondol gelar S-2.

Data di atas hanyalah sedikit dari prestasi yang diukir para da’i Yayasan Al-Fatih Kaafah Nusantara (AFKN). Lembaga ini dikomandani pria gagah bernama M Zaaf Fadzlan Rabbani Al-Garamatan (40).

Data di atas hanyalah sedikit dari prestasi yang diukir para da’i Yayasan Al-Fatih Kaafah Nusantara (AFKN). Lembaga ini dikomandani pria gagah bernama M Zaaf Fadzlan Rabbani Al-Garamatan (40).

Dakwah di Papua memang istimewa. Tantangan alam begitu berat. Kultur dan kebiasaan masyarakat pun tak mudah ditaklukkan. Biayanya tinggi. Belum lagi harus berpacu dengan misionaris, yang selama ini sukses mencitrakan Papua identik dengan Kristen.

“Namun berdakwah di wilayah seperti itu luaarr biasa nikmatnya!” ujar Fadzlan dengan mata berbinar.

Nikmat, sehingga pria kelahiran Fak-Fak ini senantiasa menyunggingkan senyum meski harus jalan kaki berhari-hari demi menemui warga binaan. Bahkan tetap tersenyum mendakwahi seseorang yang telah tega memanahnya sehingga siku tangan kanannya berdarah-darah.

Perbincangan berlangsung di markas AFKN di Bekasi (Jawa Barat), suatu sore ketika hujan rintik-rintik, ditemani manisan pala, sagu, teh manis, serta kerupuk ubi suku abun Sorong yang rasanya benar-benar khas.

Apa kabar Ustadz?

Alhamdulillah. Maaf Anda terpaksa menunggu. Saya baru pulang dari (Pelabuhan) Tanjung Priok, mengirim sabun, sarung, mukena, Al-Qur`an, sajadah, dan pakaian ke Papua. Kemudian ke Departemen Agama, mengurus pengangkatan tenaga penyuluh agama.

Seberapa sering pengiriman bantuan semacam itu dilakukan?

Paling tidak seminggu dua kali. Setahun kami kirim sekitar 29 ton pakaian layak pakai. Orang-orang PT Pelni sampai komentar, “Pak Fadzlan ini kerjaannya ngurusin pakaian bekas melulu.” Biar saja, memang kenyataannya begitu.

Dakwah saya di berbagai majelis taklim di Jakarta, akhirnya ya urusan sabun dan pakaian. Saya bilang, “Daripada pakaian Anda dibuang-buang, kirimlah kepada saya.”

Barang kiriman itu bertruk-truk. Bahkan AFKN (atas kerjasama dengan instansi pemerintah) pernah mengirim belasan sepeda motor untuk keperluan operasional para da’i. Pelabuhan pun kami buat sibuk. He…he…

Mengapa barang-barang semacam itu penting bagi kaum Muslimin Papua?

Sebelum berdakwah, kami mempelajari medan dulu untuk mengetahui kebutuhan masyarakat. Apa maunya, akan dibawa ke mana, lalu kami tawarkan konsep. Kalau tidak ada listrik, kami bikin listrik. Tidak ada air bersih, bikin sarana air bersih. Perlu pakaian, kami drop dari Jakarta, lengkap dengan mesin jahitnya sehingga mereka bisa berkarya.

Seperti apa gambaran kondisi masyarakat binaan Anda sehingga memerlukan hal-hal di atas?

Telepon mereka adalah nyamuk, listriknya cahaya bulan dan matahari. Mandi dan pakaian pun baru dikenalnya. Tentang kondisi alam, semua orang tahulah bagaimana Irian.

Kami lalu peragakan Islam, perilakunya, aturannya. Setelah mereka lihat, kemudian bertanya-tanya. Misalnya ketika kami shalat, mereka perhatikan mulai dari takbiratul-ihram, ruku’, sujud, sampai salam. Kami jelaskan dengan bahasa sederhana.

Penjelasan seperti apa?

Mereka bertanya, “Kenapa Anda angkat tangan dan mulutnya bicara-bicara?” Saya jelaskan bahwa bapak dan ibu kami beragama Islam. Kami diperintah oleh Tuhan kami, AllahSubhanahu wa Ta’ala, dalam satu hari lima kali menghadap-Nya. Ketika mengangkat tangan itu, kami menyebut Allah Maha Besar. Dia yang pantas dibesarkan, sementara kami ini nggak ada maknanya.

Mereka bertanya lagi, “Kenapa membungkukkan badan?” Supaya menyaksikan bahwa Allah menyediakan kekayaan alam di bumi. Ada batu, pohon, sayur, ikan. Ketika mengambil kekayaan alam, manusia tidak boleh sombong dan merusak, maka kami menunduk.

“Kenapa mencium papan?” Di pedalaman, kami membuat tempat shalat di panggung, karena banyak babi berseliweran seperti mobil di Jakarta. Kami sujud, agar bisa menangis karena suatu hari nanti tubuh ini akan kembali dilebur dengan tanah.

“Mengapa menengok ke kanan dan kiri kemudian mulutnya bicara-bicara?” Itu salam. Setelah berkomunikasi dengan Allah, kami harus menengok ke kanan dan kiri, mungkin ada orang yang belum berpakaian, maka kami ajari berpakaian. Jika ada yang belum mandi, tugas kami mengajari mandi. Bila belum ada yang pintar, tugas kami mengajar. Tumbuhlah hubungan dengan Allah, kemudian hubungan dengan manusia di atas bumi. Terciptalah kedamaian dan keamanan.

Alhamdulillah, penjelasan semacam itu mampu mengetuk hati orang yang belum mengenal Islam. Mereka lantas bilang, “Kalau begitu, kami masuk Islam.” Ada yang bersyahadat sendiri, banyak pula yang massal.

Ketika menjumpai masyarakat yang belum berpakaian, apa yang Anda lakukan?

Pakaian memang proses awal yang agak susah. Ini sasaran dakwah yang benar-benar pemula.

Awalnya kami kenalkan celana kolor, mereka tertawa. Namun ketika mereka memakainya dan lama-lama enjoy, malah akhirnya malu melepasnya. Kami bawakan cermin. Ketika masih telanjang, mereka takut melihat bayangannya sendiri. Setelah memakai celana dan baju, mereka merasakan perubahan dalam dirinya. Ternyata lebih bagus.

Bagaimana Anda menjelaskan fungsi pakaian?

Kami kisahkan tentang Nabi Adam â€˜alaihissalaam. Barangkali pakaian koteka itu seperti Adam dan Hawa yang telanjang ketika diusir dari surga. Tapi setelah ada ilmu, maka tidak boleh lagi berpakaian seperti itu. Manusia kan punya akal, bukan binatang. Lalu kami perkenalkan pakaian, cara memakai, dan semacamnya. Kini kami kewalahan memenuhi permintaan pakaian. Alhamdulillah.

Bagaimana mengajari kebiasaan mandi?

Memang mereka mandinya dengan melulur minyak babi di tubuh. Kenapa begitu? Katanya untuk menghindari nyamuk dan udara dingin.

Kami ajari mereka mandi dengan air dan sabun. Tak jarang harus mandi massal orang sekampung. Ibu-ibu keramas memakai sampo.

Pernah ada seorang kepala suku yang begitu menikmati sabun mandi. Tanpa dibilas, dia langsung keliling kampung karena merasa amat senang dengan bau wangi sabun di tubuhnya.

Kami lakukan dakwah tentang kebersihan itu dengan bertahap. Akhirnya mereka menyadari, ini anak-anak Islam ternyata lebih meyakinkan dibanding orang-orang bule yang biasa mendatanginya dengan naik pesawat.

Apa yang Anda jelaskan tentang makna kebersihan?

Misalnya tentang wudhu, kami jelaskan bahwa hidup ini harus bersih. Sebelum menghadap-Nya, kami diperintah untuk bersih dulu. Dengan demikian, ketika ber-takbiratul-ihram, Allah akan mengatakan, “Tangan kamu sudah dicuci, sudah bersih.” Mulut yang mengucap “Allahu Akbar,” juga bersih. Begitu juga bagian tubuh lainnya. Nah, kalau bapak-bapak dan ibu-ibu sudah bersih, mari tegakkan harumnya Islam di tengah-tengah kita.

Bagaimana menjelaskan aspek kebersihan dan pakaian, khususnya untuk kaum wanita?

Ini diajarkan oleh akhwat-akhwat binaan kami, yang tak kalah semangatnya di “medan tempur”, terutama bila kondisi geografisnya tidak terlampau sulit. Bahkan kami pernah dakwah dengan salon.

Maksudnya?

Ceritanya bermula dari akhwat binaan kami yang jadi karyawan salon di Mojokerto (Jawa Timur). Dia jadi familier dengan masalah kecantikan. Rambutnya di-rebounding sehingga lurus, tubuhnya (maaf) bersih.

Suatu saat dia pulang kampung ke Enarotali, Paniai, dan ceramah. Ibu-ibu kagum. Ini anak jadi cantik, lancar mengaji, bisa ceramah, tutup auratnya pake mukena. Dia katakan, perubahan fisik dan keilmuannya itu karena ajaran Islam. Akhirnya ibu-ibu bilang, “Kami mau masuk Islam tapi pingin cantik seperti kamu.”

Kami kemudian menyewa perlengkapan salon dan dibawa ke kampung itu, selama 3 bulan.Alhamdulillah, banyak yang akhirnya bersyahadat.

Bagaimana mengajarkan pemahaman tauhid kepada penganut kepercayaan animisme-dinamisme seperti di Papua?

Aspek perilaku sangat menentukan. Ada orang yang takut dengan pohon besar. Kami tunjukkan bahwa di pohon tidak ada yang perlu ditakuti. Ada komunitas yang suka berperang, maka kami jelaskan agar tidak melakukannya lagi, apalagi jika sudah sama-sama bersyahadat. Yang suka mencuri, kami larang karena itu merugikan.

Kami jelaskan hal itu mulai dari tokoh masyarakatnya, semisal kepala suku. Dia yang kemudian akan mengkampanyekan ke masyarakatnya. Bahkan kalau di situ ada misionaris, mereka sendiri yang mengusirnya. Pernah ada sekelompok masyarakat yang memasang kayu-kayu di lapangan terbang perintis agar misionaris tak bisa mendarat. Kami tidak menyuruhnya, tapi mereka sendiri yang berinisiatif melakukannya.

Pernah ada bentrok?

Banyak. Tombak, panah, diusir, adalah hal yang biasa menimpa kami. Namun saya sampaikan kepada teman-teman agar tombak itu dijadikan shiraathal-mustaqiim. Kalau dipenjara, jadikan itu sebagai rumah surga awal. Jika difitnah, itu adalah untaian hidup dan puisi baru kita. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dilempari, dicaci-maki, difitnah, tapi beliau terus menebarkan senyum. Subhanallah!

Anda sendiri pernah mengalami tindak kekerasan?

Pernah kena panah, sampai ini patah (sambil memperlihatkan bekas tusukan panah di lengan kanannya), bengkok sampai sekarang. Tapi bagi kami, tidak perlu bicara tantangan. Seorang yang mau maju, bicara kebajikan, pasti ada tantangan. Itu hal biasa bagi seorang da’i.

Bagaimana kejadiannya?

Sekitar tahun 1994, antara wilayah Mapenduma dan Timika. Saya bersama delapan orang da’i sedang survei ke sebuah kampung untuk dijadikan binaan. Tiba-tiba tangan saya kena panah.

Saya tidak tahu persis penyebabnya. Barangkali karena pemanah itu belum memahami apa yang kami lakukan. Bisa pula orang-orang itu diprovokasi pemahaman yang keliru. Atau mungkin kami hanya salah sasaran konflik aparat dan kelompok yang menyebut dirinya Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Apa yang kemudian Anda lakukan?

Anak panah itu dicabut, lalu kami bakar pisau kemudian ditusukkan ke luka itu agar racunnya tidak bekerja. Kemudian saya ke dokter.

Dokter dimana?

Di Timika. Jalan kaki empat hari. Alhamdulillah lukanya tidak terus mengeluarkan darah.Alhamdulillah pula orang yang memanah itu akhirnya masuk Islam.

Bagaimana bisa?

Nabi itu, diapain saja oleh lawan yang memang belum faham, tetap tersenyum. Allah pun berfirman, “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)

Apalagi jika hal itu dilakukan ketika dia sakit, atau saat susah. Saat itulah insya Allah akan gugur naluri kebenciannya. Itu pula yang saya lakukan terhadap orang itu.

Menurut pengamatan Anda, apakah orang yang kemudian memeluk Islam berubah menjadi lebih baik?

Luar biasa. Setiap ke mushalla atau masjid, mereka mengaku merasa tenang. Barangkali Islamnya justru lebih baik dibanding saya. Mereka itu sangat jujur. Perang antar suku pun akhirnya berhenti.

Ada seorang kepala suku yang menyatakan masuk Islam, kemudian dianiaya sekelompok orang, ditindih kayu, ditelanjangi, namun tetap teguh memegang syahadat. Luar biasa. Saya menangis bila menjumpai hal seperti ini.

Pernahkah punya pengalaman mengesankan terkait dengan pensyahadatan massal, misalnya?

Pernah di kawasan Sorong. Ketika banyak orang bersyahadat, pohon di sekelilingnya seperti merunduk. Padahal tak ada angin tak ada hujan. Kawanan rusa liar pun tiba-tiba tenang, tidak bergerak. Wallahu a’lam, barangkali mereka selama ini belum pernah mendengar kalimat suci itu dari mulut manusia, meski semua makhluk sebenarnya selalu bertasbih menyebut asma-Nya.

Menilik apa yang Anda lakukan, tampaknya memerlukan waktu lama untuk berdakwah di suatu lokasi ya?

Paling tidak lima tahun di suatu tempat. Ada da’i yang musti stand by di sana. Saya sendiri jaga markas di Jakarta, namun sering mengunjungi mereka di berbagai daerah. Sekali ke Papua, saya bisa menghabiskan waktu 9 bulan. Kemudian ke Jakarta untuk bikin proposal, mendapat bantuan, lalu ke Papua lagi.

Selama 9 bulan itu, apa saja yang Anda lakukan?

Keliling ke desa-desa binaan. Safari ini berfungsi untuk mendata kebutuhan masyarakat dan mengevaluasi perkembangan dakwah.

Apakah da’i yang stand by itu kader binaan AFKN?

Ya, tapi kami juga menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk dengan Hidayatullah.Alhamdulillah, sebagian da’i itu kini sudah tercatat di Departemen Agama sebagai penyuluh, sehingga punya gaji.

Semua da’i itu asli orang Papua?

Kebanyakan asli Papua, namun tak sedikit pula yang dari luar. Keduanya kami “kawinkan”, saling melengkapi.

Da’i asli Papua lebih bagus pendekatan sosial-kemasyarakatannya. Itulah sebabnya mereka bertugas “membuka lahan” dakwah. Banyak warga yang kemudian bersyahadat.

Sementara da’i non-Papua biasanya unggul dalam hal ilmu agama dan keterampilan. Mereka ini bertugas meneruskan apa yang telah dirintis da’i asli Papua.

Seberapa banyak da’i dari luar Papua yang aktif bersama AFKN?

Alhamdulillah banyak. Ada yang dari Garut, Tasikmalaya (Jawa Barat), Lamongan, Gresik (Jawa Timur), Makassar, dan lain-lain. Para da’i ini punya keterampilan lain sehingga bisa mengembangkan berbagai potensi yang ada di Papua.

Tidak mengalami kendala bahasa?

Memakai bahasa Indonesia saja, insya Allah masyarakat bisa mengerti. Memang akan lebih bagus kalau bisa bahasa setempat. Tapi harap tahu, di Papua ada 234 bahasa.

Anda sendiri bisa berapa bahasa?

Alhamdulillah, Allah kasih anugerah saya bisa berkomunikasi dalam 49 bahasa.

Subhanallah, banyak sekali, misalnya bahasa apa?

Bahasa Kokoda, Kaimana, Wamena, Asmat, Babo, Irarutu, dan sebagainya. * (red)

Tulisan ini sudah mendapat izin Copy Paste dari http://jejakrina.wordpress.com/2011/12/13/berdakwah-di-papua-luaarr-biasa-nikmatnya/

Al Hallaj tokoh Sesat Sufi yang di bunuh karena kekafirannya

Oleh: Ustadz ‘Ashim bin Musthofa

Masih ada saja muncul perbedaan dalam memandang pada sosok yang sudah jelas salah jalan ini. Di antara yang menjadi penyebabnya, adalah kedangkalan ilmu atau kekeliruan standar yang dipakai untuk menilainya. Oleh karena itu, muncul pertanyaan tentang jati diri al Hallaj, yaitu Husain bin Manshur, yang diarahkan kepada Ibnu Taimiyah rahimahullah. Apakah Husain bin Manshur ini seorang yang jujur? Ataukah ia seorang zindiq? Apakah ia seorang wali Allah, ataukah seorang yang bergelut dengan khurafat, sebagaimana para dukun? Apakah dibunuhnya dia di hadapan para ulama disebabkan kekufurannya, ataukah dibunuh dengan tanpa bukti kesalahan?

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan penyebab kekeliruan penilaian ini, yaitu: “Orang-orang yang tidak mempunyai pegangan, sulit untuk membedakan kejadian mana yang hak dan batil. Jika seorang belum tersinari hatinya dengan keimanan dan ittiba’ al haq (mengikuti kebenaran), ia tidak bisa membedakan antara jalan orang-orang yang benar dengan orang-orang batil, seperti rancunya pandangan orang-orang terhadap Musailamah (al Kadzdzab), dari Yamamah dan pendusta-pendusta lainnya yang mengaku sebagai para nabi, padahal mereka, tiada lain hanyalah pendusta.”

Awal Kehidupan Al Hallaj

Al Hallaj, tumbuh di kota Wasith. Namun ada pendapat lainnya, yaitu di daerah Tustar. Kota Baghdad pun pernah ia masuki. Dia juga kerap sekali menuju Mekkah dan menetap di Masjidil Haram. Kebiasaan yang sering ia lakukan di sana, senang menyusahkan fisiknya. Misalnya: mencari tempat duduk tanpa naungan, di tengah masjid, saat musim dingin maupun musim panas. Secara sengaja, ia juga pernah duduk di bebatuan saat panas sangat terik.

Al Hallaj sempat juga berguru pada beberapa tokoh sufi. Guru-guru tersebut, misalnya: al Junaid bin Muhammad, Amr bin ‘Utsman al Makki dan Abul Husain an Nuri. Akan tetapi, kalangan kaum sufi menampik “keanggotaan” al Hallaj menjadi bagian mereka.

Pada awalnya, ia tampak sebagai ahli ibadah dan berakhlak baik. Akan tetapi, tanpa didasari bekal ilmu. Tindak-tanduknya tidak dibangun di atas ketakwaan kepada Allah dan keridhaan-Nya. Dia pernah bertolak ke negeri India untuk mendalami berbagai macam ilmu sihir. Bahkan kemudian, ia abadikan ilmu sihirnya tersebut dalam sebuah tulisan yang disebarluaskan. Oleh karena itu, Ibnu Katsir berkata, bahwa ia lebih banyak merusak ketimbang melakukan perbaikan.

Selanjutnya, ia dirasuki ‘aqidah hulul dan ittihad (keyakinan tentang bersatunya Allah dengan makhluk-Nya). Sehingga ia pun termasuk dalam golongan orang-orang yang sesat dan menyimpang.

Banyak negeri telah ia telusuri. Dan keadaannya pun berubah total. Meski sudah jelas kesesatannya, masih saja ia mengklaim sebagai da’I di jalan Allah, dengan bekal ilmu sihir yang ia pelajari.

Karamah Palsu

Suatu ketika, ia pernah memerintahkan murid-muridnya untuk pergi ke sebuah padang untuk menyembunyikan buah-buahan dan manisan. Setelah itu, ia mengundang orang-orang yang gila dunia ke tempat yang berdekatan dengan tempat disembunyikannya buah-buahan tersebut.

Al Hallaj menawarkan kepada mereka: “Apa yang kalian inginkan untuk aku suguhkan bagi kalian di padang ini?”

Orang-orang pun menyebutkan buah-buahan dan manisan.

Maka al Hallaj segera menjawab: “Tunggu sebentar,” kemudian ia bergegas ke tempat yang telah dipersiapkan dan sekembalinya, ia membawa barang-barang yang telah ia sembunyikan atau sebagiannya. Maka orang-orang itu mengira jika buah-buahan dan manisan itu merupakan karamahnya.

Al Hallaj termasuk tokoh dari orang-orang yang menekuni “kedigdayaan setan” dan “kekuatan palsu” itu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Semakin jauh seseorang dari Allah dan Rasul-Nya serta jalan kaum mukminin, maka ia semakin dekat dengan setan. Mampu terbang di angin, padahal setanlah yang membawanya. Digdaya menghadapi banyak manusia, akan tetapi, setannyalah yang beraksi. Dapat menyuguhkan makanan dan minuman, padahal setannyalah yang melakukannya. Orang-orang jahil mengira, jika itu merupakan karamah wali Allah yang bertakwa. Padahal bersumber dari tukang sihir, dukun dan orang-orang yang sepaham dengan mereka.”

Sebagian Kekufuran Al Hallaj

Ibnu Hauqal menuliskan, al Hallaj muncul dari Persia. Dia mendalami ibadah dan thariqat sufi. Fase demi fase ia alami, sampai akhirnya ia berpandangan: “Siapa saja yang membina raganya dalam ketaatan kepada Allah, menyibukkan hatinya dengan amalan-amalan, bersabar dari kenikmatan-kenikmatan, menahan diri dari syahwat, maka ia akan melaju ke tingkat kesucian, hingga dirinya akan lepas dari unsur kemanusiaannya. Bila ia telah suci, maka ruh Allah yang dulu masuk ke Isa akan menyatu pada dirinya, hingga ia pun menjadi manusia yang ditaati, mampu berkata kepada sesuatu, ‘jadilah’, maka terjadilah (kun fayakun).”

Al Hallaj menempuh cara ini untuk mengajak manusia agar mengikutinya. Dan ia pun berhasil memikat hati sejumlah orang dari kalangan umara, wuzara (pegawai), raja-raja, orang kuat dan orang umum.

‘Amr bin ‘Ustman al Makki telah menyatakan bahwa al Hallaj seorang kafir. Ia menceritakan: “Aku pernah bersamanya. Ia pun mendengar seseorang sedang membaca Al Qur’an, maka ia berkomentar, ‘aku bias mengarang (tulisan) seperti Al Qur’an’ , atau perkataan yang mirip dengan ini.”

Dia juga pernah menuliskan sebuah surat, yang ia awali dengan Minar-Rahmanir-Rahim, ila Fulan ibni Fulan (Dari Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang untuk Fulan bin Fulan).

Orang-orang pun berkata: “Sebelumnya engkau mengaku sebagai nabi. Sekarang engkau mengaku sebagai tuhan?”

Namun al Hallaj menjawab: “Tidak demikian. Akan tetapi, itulah bentuk penyatuan yang kami lakukan. Bukankah penulisnya adalah Allah? Bukankah saya dan tangan ini hanya alat belaka?”

Hari-Hari Terakhir Kebinasaan Al Hallaj

Pemerintah pada masa itu, yang menjadi menteri adalah Hamid bin al ‘Abbas. Beliau mendengar berita, kalau al Hallaj telah menyesatkan sejumlah orang dari
kalangan pegawai kesultanan. Kabar yang tersiar, ia sanggup menghidupkan orang-orang yang sudah mati, jin menjadi pelayannya dan menyediakan apa saja yang diinginkan al Hallaj. Bahkan seseorang yang bernama Muhammad bin ‘Ali al Qana-i al Katib menyembahnya. Orang ini pun ditangkap di rumahnya dan mengaku termasuk pengikut al Hallaj. Di dalam rumahnya, dijumpai tulisan-tulisan al Hallaj yang dibuat dengan kemasan yang mewah, ditemukan pula barang-barang al Hallaj, termasuk juga kotorannya.

Selanjutnya, Hamid bin al ‘Abbas meminta Khalifah al Muqtadir Billah rahimahullah untuk menangani kasus ini. Dan akhirnya Khalifah memberikan mandate kepada Hamid untuk menuntaskannya. Maka dipanggillah para pengikut al Hallaj.

Dalam proses interogasi, terungkaplah pengakuan para pengikutnya ini, jika al Hallaj mengaku sebagai tuhan bersama Allah dan sanggup menghidupkan orang mati. Namun al Hallaj menampik tuduhan tersebut. Dia membela diri, kalau masih bertauhid, menyembah Allah, mengerjakan shalat. Lisannya bahkan selalu beristighfar. Saat itu, ia dalam keadaan dibelenggu dengan rantai dan mengenakan baju besi. Di dua kakinya terdapat tiga belas rantai. Sedangkan baju besinya sampai ke lutut, dan rantai pun menutupi lututnya.

Ulama pun dikumpulkan. Mereka sepakat jika al Hallaj telah melakukan kekufuran dan perbuatan zindiq. Dia seorang tukang sihir dan pendusta.

Di antara pengikutnya, terdapat dua orang yang bertaubat, yaitu Abu Ali Harun bin ‘Abdul ‘Aziz al Auraji dan ad-Dabbas. Dua orang ini menceritakan rusaknya keyakinan al Hallaj, dan dakwahnya yang menyesatkan manusia, berupa kedustaan, perbuatan fujur (maksiat), tipuan-tipuan dan praktek sihirnya. Istri dari anaknya, Sulaiman juga memberikan kesaksian, jika al Hallaj pernah mencoba memperkosanya saat ia tertidur. Akan tetapi, ia cepat terjaga, sehingga al Hallaj berkilah dengan berkata: “bangunlah untuk shalat.”

Di sebuah majlis terakhir yang diadakan, datanglah Qadhi Abu ‘Umar Muhammad bin Yusuf. Al Hallaj dihadapkan kepadanya. Sebuah kitab karya al Hallaj, yang diambil dari salah satu rumah pengikutnya, terdapat pernyataannya: “Siapa saja yang terlewatkan ibadah haji, hendaknya ia membangun rumah dan melakukan thawaf di sekelilingnya, sebagaimana Ka’bah, disertai bersedekah untuk 30 anak yatim dengan sedekah. Sungguh perbuatan ini telah mewakili kewajiban haji.”

Orang-orang bertanya tentang pendapatnya ini: “Dari mana engkau memperoleh pernyataan ini?”

Al Hallaj menjawab: “Dari Hasanul Bashri dalam Kitabush-Shalah,” maka Qadhi Abu ‘Umar menampiknya: “Engkau berdusta, wahai zindiq! Aku telah membaca kitab itu dan (pernyataan yang kau sampaikan) tidak ada di sana.”

Maka menteri meminta para saksi untuk mendengarkan pernyataan tersebut. Mereka pun sepakat tentang kufurnya perkataan al Hallaj, hingga kemudian sepakat menjatuhkan hukuman mati baginya.

Selanjutnya, Hamid sebagai menteri, meminta pernyataan Qadhi Abu Umar dan para ulama yang hadir saat itu, bahwa al Hallaj telah kafir. Lembaran pernyataan ini dikirimkan ke al Muqtadir Billah.

Al Muqtadir Billah rahimahullah kemudian menyerahkan eksekusinya kepada kepala syurthah (kepolisian) Muhammad bin ‘Abdish-Shamad agar mencambuknya seribu kali. Jika belum mati juga, maka dipenggal lehernya. Eksekusi itu  dilaksanakan hari Selasa tanggal 24 Dzul Qa’dah 309 H.

Menjelang eksekusi hukuman mati, al Hallaj mengalami kegelisahan. Dia pun memperlihatkan penyesalan dengan bertaubat dan berpegang dengan Sunnah, namun tidak diterima. Sekiranya ia dibiarkan hidup, tentu banyak orang jahil yang terpedaya lagi dengannya. Pasalnya, ia memiliki khaza’balat buhtaniyah (dongeng-dongeng dusta) dan ahwal syaithaniyah (keajaiban sihir). Sehingga hanya orang-orang yang terpukau dengan kejadian-kejadian aneh yang mengagungkan al Hallaj.

Hembusan Khurofat Pasca Kematiannya

Pada detik-detik kematiannya, tidak terlihat sedikitpun karamah. Apa yang didengung-dengungkan, bahwa tetesan darahnya membentuk lafazh Allah, atau sungai Tigris berhenti mengalir, atau sebaliknya, air tampak pasang dan kejadian aneh lainnya, itu hanyalah kedustaan semata.

Ibnu Taimiyah rahimahullah memberi sanggahan dengan pernyataannya: “Cerita-cerita ini tidak menjadi buah bibir, kecuali pada orang-orang yang jahil atau munafik. Para zindiq dan musuh Islam telah melakukan rekayasa, supaya tersebar opini bahwa syari’at Muhammad bin ‘Abdullah telah membunuh salah satu wali
Allah, manakala orang-orang mendengar cerita-cerita ini.

Padahal telah terbunuh banyak nabi, para pengikut dekatnya, para sahabat nabi kita, kalangan tabi’in dan orang-orang shalih lainnya yang tidak terukur jumlahnya, dan mereka meninggal oleh pedang-pedang kaum fujjar (orang-orang jahat), kuffar dan zhalim dan lainnya, akan tetapi tidak ada tetesan darah mereka yang membentuk nama Allah. Selain itu, darah hukumnya najis, maka tidak boleh dipakai untuk menulis nama Allah. Apakah al Hallaj lebih baik dari mereka itu? Apakah darah al Hallaj lebih suci dari darah mereka?”

Setelah kematiannya, ditetapkan larangan menjual atau membeli kitab-kitab karangan al Hallaj.

Begitulah akhir kehidupan al Hallaj sang pendusta. Orang ini dibunuh karena kekufurannya, dan telah terbukti melalui pengakuannya sendiri serta berdasar
kesaksian orang lain. Vonis mati dijatuhkan berdasarkan kesepakatan para ulama kaum Muslimin. Bila ada yang menilai vonis matinya tidak berdasarkan kebenaran,
kalau ia bukan seorang munafik yang mulhid, maka ia seorang jahil dhall (tak berilmu lagi sesat).

Penyebab al Hallaj dihukum mati, karena banyaknya kekufuran yang ada pada dirinya. Sebagian saja sudah cukup untuk menyeretnya dihukum mati, apalagi bila
disebutkan secara keseluruhan. Dia bukan termasuk dari kalangan orang-orang bertakwa.

Adapun para fuqaha, sudah dikutip lebih dari seorang ulama dan imam mengenai ijma’ (kesepakatan) mereka atas hukuman mati bagi al Hallaj. Dia terbunuh dalam
keadaan kafir, seorang pendusta, penipu dan tukang sihir.

Maraji’:

– Al Bidayah wan-Nihayah, Ibnu Katsir,
Takhrij Ahmad bin Sya’ban Ahmad
, Muhammad bin ‘Adi, dan Abdul Halim, Cetakan I Tahun 1422 H / 2003 M.

– Jami’ur-Rasail, Ibnu Taimiyah, Tahqiq Muhammad Rasyad Salim, dengan judul
Risalah Fil Jawabi ‘An Sualin ‘Anil Hallaji: Hal Kana Shidiqqiqan An Zindiqan, hlm 187-199.

– Taqdisul Asykhasi fil-Fikrish-Shufi,
Muhammad Ahmad Luh, Darul-Ibnil-Qayyim dan Dar Ibni ‘Affan, Cetakan I Tahun 1423 H / 2002 M.

Dikutip dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007M

Apa itu Hadits Hasan?

Mukaddimah

Yang dimaksud dalam kajian ini adalah bagian ke-dua dari klasifikasi berita yang diterima, yaitu Hasan Li Dzâtihi (Hasan secara independen).
Barangkali sebagian kita sudah pernah membaca atau mendengar tentang istilah ini, namun belum mengetahui secara persis apa yang dimaksud dengannya, siapa yang pertama kali mempopulerkannya, buku apa saja yang banyak memuat bahasan tentangnya?
Itulah yang akan kita coba untuk mengulasnya secara ringkas tapi padat, insya Allah.

Definisi

a. Secara bahasa (etimologi)
Kata Hasan (حسن) merupakan Shifah Musyabbahah dari kata al-Husn (اْلحُسْنُ) yang bermakna al-Jamâl (الجمال): kecantikan, keindahan.

b. Secara Istilah (teriminologi)
Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama hadits mengingat pretensinya berada di tengah-tengah antara Shahîh dan Dla’îf. Juga, dikarenakan sebagian mereka ada yang hanya mendefinisikan salah satu dari dua bagiannya saja.

Berikut beberapa definisi para ulama hadits dan definisi terpilih:

1. Definisi al-Khaththâby : yaitu, “setiap hadits yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya, ia merupakan rotasi kebanyakan hadits dan dipakai oleh kebanyakan para ulama dan mayoritas ulama fiqih.” (Ma’âlim as-Sunan:I/11)

2. Definisi at-Turmudzy : yaitu, “setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat yang tertuduh sebagai pendusta, hadits tersebut tidak Syâdzdz (janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut kami dinamakan dengan Hadîts Hasan.” (Jâmi’ at-Turmudzy beserta Syarah-nya, [Tuhfah al-Ahwadzy], kitab al-‘Ilal di akhirnya: X/519)

3. Definisi Ibn Hajar: yaitu, “Khabar al-Ahâd yang diriwayatkan oleh seorang yang ‘adil, memiliki daya ingat (hafalan), sanadnya bersambung, tidak terdapat ‘illat dan tidak Syâdzdz, maka inilah yang dinamakan Shahîh Li Dzâtih (Shahih secara independen). Jika, daya ingat (hafalan)-nya kurang , maka ia disebut Hasan Li Dzâtih(Hasan secara independen).” (an-Nukhbah dan Syarahnya: 29)

Syaikh Dr.Mahmûd ath-Thahhân mengomentari, “Menurut saya, Seakan Hadits Hasan menurut Ibn Hajar adalah hadits Shahîh yang kurang pada daya ingat/hafalan periwayatnya. Alias kurang (mantap) daya ingat/hafalannya. Ini adalah definisi yang paling baik untuk Hasan. Sedangkan definisi al-Khaththâby banyak sekali kritikan terhadapnya, sementara yang didefinisikan at-Turmudzy hanyalah definisi salah satu dari dua bagian dari hadits Hasan, yaitu Hasan Li Ghairih (Hasan karena adanya riwayat lain yang mendukungnya). Sepatutnya beliau mendefinisikan Hasan Li Dzâtih sebab Hasan Li Ghairih pada dasarnya adalah hadits lemah (Dla’îf) yang meningkat kepada posisi Hasan karena tertolong oleh banyaknya jalur-jalur periwayatannya.”

Definisi Terpilih

Definisi ini berdasarkan apa yang disampaikan oleh Ibn Hajar dalam definisinya di atas, yaitu:
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, yang kurang daya ingat (hafalannya), dari periwayat semisalnya hingga ke jalur terakhirnya (mata rantai terakhir), tidak terdapat kejanggalan (Syudzûdz) ataupun ‘Illat di dalamnya.”

Hukumnya

Di dalam berargumentasi dengannya, hukumnya sama dengan hadits Shahîh sekalipun dari sisi kekuatannya, ia berada di bawah hadits Shahih. Oleh karena itulah, semua ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya. Demikian juga, mayoritas ulama hadits dan Ushul menjadikannya sebagai hujjah kecuali pendapat yang aneh dari ulama-ulama yang dikenal keras (al-Mutasyaddidûn). Sementara ulama yang dikenal lebih longgar (al-Mutasâhilûn) malah mencantumkannya ke dalam jenis hadits Shahîh seperti al-Hâkim, Ibn Hibbân dan Ibn Khuzaimah namun disertai pendapat mereka bahwa ia di bawah kualitas Shahih yang sebelumnya dijelaskan.” (Tadrîb ar-Râwy:I/160)

Contohnya

Hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmudzy, dia berkata, “Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Ja’far bin Sulaiman adl-Dluba’iy menceritakan kepada kami, dari Abu ‘Imrân al-Jawny, dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ariy, dia berkata, “Aku telah mendengar ayahku saat berada di dekat musuh berkata, ‘Rasulullah SAW., bersabda, “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan pedang-pedang…” (Sunan at-Turmudzy, bab keutamaan jihad:V/300)

Hadits ini adalah Hasan karena empat orang periwayat dalam sanadnya tersebut adalah orang-orang yang dapat dipercaya (Tsiqât) kecuali Ja’far bin Sulaiman adl-Dlub’iy yang merupakan periwayat hadits Hasan –sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Hajar di dalam kitab Tahdzîb at-Tahdzîb-. Oleh karena itu, derajat/kualitasnya turun dari Shahîh ke Hasan.

Tingkatan-Tingakatannya

Sebagaimana hadits Shahih yang memiliki beberapa tingkatan yang karenanya satu hadits shahih bisa berbeda dengan yang lainnya, maka demikian pula halnya dengan hadits Hasan yang memiliki beberapa tingkatan.

Dalam hal ini, ad-Dzahaby menjadikannya dua tingkatan:
Pertama, (yang merupakan tingkatan tertinggi), yaitu: riwayat dari Bahz bin Hakîm dari ayahnya, dari kakeknya; riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya; Ibn Ishaq dari at-Tîmiy. Dan semisal itu dari hadits yang dikatakan sebagai hadits Shahih padahal di bawah tingkatan hadits Shahih.

Ke-dua, hadits lain yang diperselisihkan ke-Hasan-an dan ke-Dla’îf-annya, seperti hadits al-Hârits bin ‘Abdullah, ‘Ashim bin Dlumrah dan Hajjâj bin Artha’ah, dan semisal mereka.

Tingkatan Ucapan Ulama Hadits, “Hadits yang shahîh sanadnya” atau “Hasan sanadnya”

1. Ucapan para ulama hadits, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Shahih.”

2. Demikian juga ucapan mereka, “Ini adalah hadits yang Hasan sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Hasan” karena bisa jadi ia Shahih atau Hasan sanadnya tanpa matan (redaksi/teks)nya akibat adanya Syudzûdz atau ‘Illat.

Seorang ahli hadits bila berkata, “Ini adalah hadits Shahih,” maka berarti dia telah memberikan jaminan kepada kita bahwa ke-lima syarat keshahihan telah terpenuhi pada hadits ini. Sedangkan bila dia mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” maka artinya dia telah memberi jaminan kepada kita akan terpenuhinya tiga syarat keshahihan, yaitu: sanad bersambung, keadilan si periwayat dan kekuatan daya ingat/hafalan (Dlabth)-nya, sedangkan ketiadaan Syudzûdz atau ‘Illat pada hadits itu, dia tidak bisa menjaminnya karena belum mengecek kedua hal ini lebih lanjut.

Akan tetapi, bila seorang Hâfizh (penghafal banyak hadits) yang dipegang ucapannya hanya sebatas mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” tanpa menyebutkan ‘illat (penyakit/alasan yang mencederai bobot suatu hadits); maka pendapat yang nampak (secara lahiriah) adalah matannya juga Shahîhsebab asal ucapannya adalah bahwa tidak ada ‘Illat di situ dan juga tidak ada Syudzûdz.

Makna Ucapan at-Turmudzy Dan Ulama Selainnya, “Hadits Hasan Shahîh”

Secara implisit, bahwa ungkapan seperti ini agak membingungkan sebab hadits Hasan kurang derajatnya dari hadits Shahîh, jadi bagaimana bisa digabung antara keduanya padahal derajatnya berbeda?. Untuk menjawab pertanyaan ini, para ulama memberikan jawaban yang beraneka ragam atas maksud dari ucapan at-Turmudzy tersebut. Jawaban yang paling bagus adalah yang dikemukakan oleh Ibn Hajar dan disetujui oleh as-Suyûthy, ringkasannya adalah:

1. Jika suatu hadits itu memiliki dua sanad (jalur transmisi/mata rantai periwayatan) atau lebih; maka maknanya adalah “Ia adalah Hasan bila ditinjau dari sisi satu sanad dan Shahîh bila ditinjau dari sisi sanad yang lain.”

2. Bila ia hanya memiliki satu sanad saja, maka maknanya adalah “Hasan menurut sekelompok ulama dan Shahîh menurut sekelompok ulama yang lain.”

Seakan Ibn Hajar ingin menyiratkan kepada adanya perbedaan persepsi di kalangan para ulama mengenai hukum terhadap hadits seperti ini atau belum adanya hukum yang dapat dikuatkan dari salah satu dari ke-duanya.

Pengklasifikasian Hadits-Hadits Yang Dilakukan Oleh Imam al-Baghawy Dalam Kitab “Mashâbîh as-Sunnah”

Di dalam kitabnya, “Mashâbîh as-Sunnah” imam al-Baghawy menyisipkan istilah khusus, yaitu mengisyaratkan kepada hadits-hadits shahih yang terdapat di dalam kitab ash-Shahîhain atau salah satunya dengan ungkapan, “Shahîh” dan kepada hadits-hadits yang terdapat di dalam ke-empat kitab Sunan (Sunan an-Nasâ`iy, Sunan Abi Dâ`ûd, Sunan at-Turmdzy dan Sunan Ibn Mâjah) dengan ungkapan, “Hasan”. Dan ini merupakan isitlah yang tidak selaras dengan istilah umum yang digunakan oleh ulama hadits sebab di dalam kitab-kitab Sunan itu juga terdapat hadits Shahîh, Hasan, Dla’îf dan Munkar.

Oleh karena itulah, Ibn ash-Shalâh dan an-Nawawy mengingatkan akan hal itu. Dari itu, semestinya seorang pembaca kitab ini ( “Mashâbîh as-Sunnah” ) mengetahui benar istilah khusus yang dipakai oleh Imam al-Baghawy di dalam kitabnya tersebut ketika mengomentari hadits-hadits dengan ucapan, “Shahih” atau “Hasan.”

Kitab-Kitab Yang Di Dalamnya Dapat Ditemukan Hadits Hasan

Para ulama belum ada yang mengarang kitab-kitab secara terpisah (tersendiri) yang memuat hadits Hasan saja sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits Shahîh di dalam kitab-kitab terpisah (tersendiri), akan tetapi ada beberapa kitab yang di dalamnya banyak ditemukan hadits Hasan. Di antaranya yang paling masyhur adalah:

1. Kitab Jâmi’ at-Turmudzy atau yang lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzy. Buku inilah yang merupakaninduk di dalam mengenal hadits Hasan sebab at-Turmudzy-lah orang pertama yang memasyhurkan istilah inidi dalam bukunya dan orang yang paling banyak menyinggungnya.
Namun yang perlu diberikan catatan, bahwa terdapat banyak naskah untuk bukunya tersebut yang memuat ungkapan beliau, “Hasan Shahîh”, sehingga karenanya, seorang penuntut ilmu harus memperhatikan hal ini dengan memilih naskah yang telah ditahqiq (dianalisis) dan telah dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli (manuscript) yang dapat dipercaya.

2. Kitab Sunan Abi Dâ`ûd. Pengarang buku ini, Abu Dâ`ûd menyebutkan hal ini di dalam risalah (surat)-nya kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya menyinggung hadits Shahih dan yang sepertinya atau mirip dengannya di dalamnya. Bila terdapat kelemahan yang amat sangat, beliau menjelaskannya sedangkan yang tidak dikomentarinya, maka ia hadits yang layak. Maka berdasarkan hal itu, bila kita mendapatkan satu hadits di dalamnya yang tidak beliau jelaskan kelemahannya dan tidak ada seorang ulama terpecayapun yang menilainya Shahih, maka ia Hasan menurut Abu Dâ`ûd.

3. Kitab Sunan ad-Dâruquthny. Beliau telah banyak sekali menyatakannya secara tertulis di dalam kitabnya ini.

(SUMBER: Kitab Taysîr Musthalah al-Hadîts karya Dr. Mahmûd ath-Thahhân, h. 45-50)

Sumber: http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihathadits&id=70

Apakah Boleh Menuntut Ilmu Hanya dari Kaset Rekaman tanpa Menghadiri Majilis Ilmu?

Menuntut ilmu, belajar dien adalah wajib bagi umat islam. Setiap jiwa harus mengetahui terhadap ibadah mereka, setiap jiwa harus memahami dalil mereka mengerjakan sesuatu dalam ibadah, sebab setiap ibadah yang bukan berasal dari Allah dan Rasul-Nya maka ibadah tersebut tertolak, sebagaimana sabda beliau:

“Segala amalan yang bukan berasal dari kami (Allah dan Rasul-Nya), maka amalan itu tertolak”. [HR. Muttafaqun ‘alaih]

Ada pertanyaan: “Apakah cukup belajar ilmu agama dari hanya membaca buku, mendengarkan kaset-kaset kajian tanpa datang ke halaqah atau majlis ilmu?”

Jawaban: Mendengarkan dan belajar ilmu agama dari buku-buku para ulama, dan juga mendengarkan kaset-kaset rekaman kajian tidak diragukan lagi adalah lebih bermanfaat daripada membaca buku-buku yang lain, dan juga merupakan sebuah amalan yang mulia, karena dengan demikian kita bisa belajar banyak hal. Namun dengan duduk di halaqah dan majlis ilmu maka yang akan kita dapatkan adalah ghirah (semangat)  bahwa sebagai seorang penuntut ilmu kita diwajibkan belajar langsung dari ahli ilmu.

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafizhahullah menjelaskan:

Tidak dapat diragukan lagi bahwa mendengarkan ilmu melalui kaset terdapat faedah dan banyak manfaatnya, karena engkau mendengarkan ilmu dari ahli ilmu yang kokoh ilmunya, akan tetapi di sana terdapat perkara-perkara lain yang tidak didapati jika kita mendengarkan ilmu hanya melalui kaset-kaset diantaranya:

[1]. Duduk bersama para penuntut ilmu lainnya dalam sebuah halaqah di masjid, hal ini memberikan perkara-perkara ibadah dan jiwa bagi penunutut ilmu.

[2]. Mengambil manfaat dari petunjuk pengajar dalam ucapan, pandangan, pendidikan dan pengajarannya, cara mengingatkannya, jalannya, cara menyelesaikan perkara, bagaimana ketika menghadapi suatu perkara, bagaimana cara menjawab, bagaimana bermualamah dengan orang yang menyalahinya, dengan orang yang kurang baik adabnya, dengan orang-orang yang memuliakan secara berlebih-lebihan. Semua adab-adab ini diperoleh dari petunjuk para ulama dengan cara duduk menuntut ilmu dihadapan mereka.

[3]. Selain itu ada hal-hal berupa ibadah (yang dapat dicontoh dari para ulama) seperti rasa takut kepada Allah Jalla Jalaluhu. Sedangkan engkau jika melihat para ulama dalam membimbing manusia dalam beribadah, berdzikir, dan kesungguhan mereka dalam berbuat kebaikan, engkau akan terpengaruh dalam suatu perkara yang engkau memerlukannya yaitu istiqomah dan ketekunan dalam ibadah kepada Allah Jalla Jalaluhu.

Adapun mendengar ilmu melalui kaset, kamu hanya dapat mendengarkan ilmu akan tetapi tidak dapat melihat petunjuk para ulama, ibadahanya, shalatnya, kesegeraannya ke masjid, kesungguhannya untuk mengkhatamkan Al-Qur’an, hafalannya, shalat malamnya dan semisal itu, yang mana hal-hal tersebut hanyalah didapati dari berguru dan mendengarkan ilmu secara langsung. Oleh karena itu Ibnul Jauzi rahimahullah berkata : “Guru kami itu, tidaklah kami hadir di majlisnya kecuali manfaat yang kami dapati dari tangisannya (karena takut kepada Allah Jalla Jalaluhu), melebihi manfaat yang kami dapati dari ilmunya”. Beliau mendapatkan ilmu dari guru beliau, akan tetapi faedah yang beliau dapatkan dari tangisan, rasa takut guru beliau kepada Allah Jalla Jalaluhu, dan sikap wara’nya, lebih banyak dari mendapatkan ilmu guru beliau. [Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah, Edisi 02 Dzulqo’dah 1423/Januari 2003]

Jadi, sekalipun kita membaca buku para ulama, ataupun mendengarkan kaset-kaset kajian, tetap yang paling utama adalah kita datang ke majlis ilmu dan mendengar langsung dari orang yang ‘alim. Agar kita bisa mendapatkan kebaikan dan mendapatkan faedah-faedah duduk di majlis ilmu.

wallahua’alam bishawab.

Beriman Kepada Malaikat Allah

Alhamdulillahi. Asy-hadu anlaailaahaillallah wa asy-hadu anna muhammadarrasululloh. Wa Shallallahu’ala rasulillahi wa ‘alaa ‘aaliihi wa ash-habihi wa man tabi’ahum bi ihsaan ilaa yaumiddin.

Amma ba’du.

Orang Muslim beriman kepada malaikat-malaikat Allah Ta’alaa, bahwa mereka makhluk-Nya yang paling mulia, hamba-hamba-Nya yang dimuliakan di antara hamba-hamba-Nya, Allah Ta’alaa menciptakan mereka dari cahaya, sebagaimana Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar, dan menciptakan jin dari nyala api yang tidak ada asap di dalamnya, bahwa Allah Ta’alaa memberikan tugas kepada para malaikat, kemudian mereka menjalakannya. Di antara mereka ada yang ditugaskan menjaga hamba-hamba-Nya, ada yang ditugaskan mencatat amal perbuatan manusia, ada yang ditugaskan menjaga surga dan kenikmatannya, ada yang ditugaskan menjaga neraka dan siksanya, ada yang ditugaskan bertasbih pada malam hari, dan ada yang ditugaskan bertasbih pada siang hari tanpa merasa lelah sedikit pun.

Serta bahwa Allah Ta’alaa melebihkan sebagian malaikat atas sebagian malaikat yang lain di antara mereka ada malaikat-malaikat yang didekatkan kepada-Nya seperti Malaikat Jibril, Mlaaikat Mikail dan Malaikat Israfil, dan ada malaikat-malaikat yang tidak didekatkan kepada-Nya.

Orang Muslim mengimani itu semua karena petunjuk Allah Ta’alaa kepadanya, kemudian karena dalil-dalil wahyu dan dalil-dalil akal.

Dalil-dalil Wahyu

1. Perintah Allah ta’alaa untuk beriman kepada para malaikat dan penjelasan-Nya tentang mereka, misalnya pada firman-firman-Nya berikut ini:

artinya:“Barangsiapa kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya” [An-Nisa’: 136]

Firman Allah Ta’alaa:

artinya: “Barangsiapa menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail , maka sesungguhnya Allah adalah musuh bagi orang-orang kafir” [Al Baqarah:98]

Firman Allah Ta’alaa

artinya: “Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah)” [An-Nisa’:172]

Firman Allah Ta’alaa

artinya: “Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung Arasy Tuhanmu di atas mereka” [Al Haqqah:17]

Firman Allah Ta’alaa

artinya: “Dan Kami tidak menjadikan penjaga neraka melainkan dari malaikat” [Al Muddatstsir: 31]

Firman Allah Ta’alaa

artinya: “Dan malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan), ‘Salam sejahtera atas kalian karena kesabaran kalian.’ Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu” [Ar-Ra’du:23-24]

Firman Allah Ta’alaa

artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khlalifah) di muka bumi itu roang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’. Allah berfirman, ‘Sessungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui”. [Al Baqarah:30]

2. Penjelasan Rasululloh Shallallahu’alaihi wa salam tentang para malaikat dalam doa beliau ketika melakukanqiyamullail pada suatu malam

artinya: “Yaa Allah Tuhannya Jibril, Tuhannya Mikail, Tuhannya israfil. Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui alam ghaib dan alam nyata, Engkau memutuskan di antara hamba-hamba-Mu dalam apa yang mereka perselisihkan, berilah aku petunjuk kepada kebenaran yang mereka berselisih di dalamnya dengan izin-Mu, karena Engkau memberi petunjuk siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.” [HR Muslim]

Rasululloh Shallallahu’alaihi wa salam bersabda,

“Langit bersuara, dan ia layak bersuara. Di dalamnya tidak ada satu tempat pun untuk empat jari-jari, melainkan di atasnya terdapat malaikat yang sujud.” [HR. Ibnu Abi Hatim, hadits ini ada cacatnya]

Rasululoh Shallallahu’alaihi wa salam bersabda,

“Sesungguhnya Al-Bait Al Ma’mur dalam setiap hari dimasuki tujuh puluh ribu malaikat dan mereka tidak kembali kepadanya.” [HR Bukhari dan Muslim]

Rasululloh Shallallahu’alaihi wa salam bersabda,

“Pada hari Jum’at, di setiap pintu-pintu masjid terdapat malaikat-malaikat yang menulis. Orang pertama dan seterusnya. Jika imam telah duduk, maka para malaikat menutup buku catatannya, kemudian mereka mendengarkan dzikir.” [HR Imam Malik. Hadits shahih]

Rasululloh Shallallahu’alaihi wa salam bersabda,

“Terkadang Malaikat menjelma kepadaku seperti seoranglaki-laki kemudian ia berbicara kepadaku dan aku memahami apa yang ia ucapkan.” [HR. Al Bukhari]

Rasululloh Shallallahu’alaihi wa salam bersabda,

“Malaikat malam dan malaikat siang secara bergantian datang kepada kalian.” [HR Al Bukhari]

Rasululloh Shallallahu’alaihi wa salam bersabda,

“Allah menciptakan malaikat dari cahaya, menciptakan jin dari nyala api, dan menciptakan Adam dari apa yang disifatkan kepada kalian.” [HR. Muslim]

3. Penglihatan sejumlah besar shahabat kepada para Malaikat di Perang Badar, dan penglihatan mereka secara kolektif lebih dari sekali kepada Malaikat Jibril, penyampai wahyu, sebab terkadang Malaikat Jibril datang dalam bentuk serupa dengan Dihyah Al Kalbi, salah seorang sahabat yang tampan, dan para shahabat bisa melihatnya. Yang paling terkenal dalam hal ini ialah hadits Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu di Shahih Muslim di mana ia di dalamnya Rasululloh Shallallahu’alaihi wa salam bersabda, “Tahukah kalian siapa penanya tadi?” Para shahabat menjawabnya. “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”. Rasululloh shallallahu’alaihi wa salam bersabda, “Penanya tadi adalah Malaikat Jibril. Ia datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kepada kalian.”

4. Keimanan milyaran orang dari kaum Mukminin pengikut para rasul di semua zaman dan tempat kepada para malaikat, dan pembenaran mereka tentang penjelasan para rasul tentang para malaikat tersebut tanpa ragu-ragu.

Dalil-dalil Akal

1. Sesungguhnya akal tidak memustahilkan keberadaan para malaikat, dan tidak memungkirinya, karena akal hanya memustahilkan dan memungkiri pertemua dua hal yang saling berlawanan, seperti sesuatu itu tidak ada dan tidak ada pada saat yang sama, atau keberadaan dua hal yang saling bertentangan, seperti keberadaan gelap dan terang pada saat yang sama. Iman kepada para malaikat tidak mengharuskan itu semua.

2. Jika telah diterima kalangan mannusia, bahwa bekas sesuatu itu menunjukkan keberadaan sesuatu tersebut, maka para malaikat juga mempunyai bekas yang banyak sekali yang mengharuskan dan menegaskan keberadaan mereka, di antaranya:

a. Sampainya wahyu kepada para nabi, dan para rasul, sebab pada umumnya wahyu sampai pada mereka melalui perantaraan Malaikat Jibril yang ditugaskan menyampaikan wahyu. Ini bekas yang nyata yang tidak bisa dipungkiri, dan itu menegaskan dan menguatkan keberadaan para malaikat.

b. Banyak sekali manusia wafat karena nyawanya dicabut oleh malaikat. Ini juga bekas nyata yang menegaskan keberadaan Malaikat Pencabut Nywawa, dan malaikat-malaikat lainnya. Allah Ta’alaa berfirman:

artinya:”Katakanlah, ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa) kalian akan mematikan kalian’” [Q.S As-Sajdah:11]

c. Penjagaan malaikat terhadap manusia dari gangguan jin, dan gangguan syetan, serta kejahatan keduanya sepanjang hidup manusia. Manusia hidup di antara jin, dan syetan. Jin dan syetan bisa melihat manusia sedang manusia tidak dapat melihat keduanya, dan keduanya mampu mengganggu manusia, sedang manusia tidak sanggup mengganggu keduanya,atau bahkan menolak gangguan keduanya saja manusia tidak sanggup melakukannya. Itu semua adalah bukti keberadaan Malaikat Penjaga Manusia yang melindungi manusia, dan menolak gangguan dari mereka.

Allah Ta’alaa berfirman:

artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan dibelakangnya, mereka juga menjaga atas perintah Allah” [Q.S Ar-Ra’du:11]

3. Ketidak mampuan seseorang untuk melihat sesuatu, karena penglihatannya lemah, atau karena ia tidak mempunyai persiapan sempurna untuk melihat sesuatu tersebut itu tidak memungkiri keberadaan sesuatu tersebut, sebab di dunia ini banyak sekali hal-hal yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, namun sekarang bisa dilihat dengan jelas dengan perantara mikroskop.

[Minhajul Muslim Bab Keimanan Pasal Beriman kepada para malaikat Alaihimus-salam oleh Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi rahimahullah]

Mengarungi Samudra Hadist

Alhamdulillah. Seharusnya kita bersyukur kepada Allah terhadap para ahli hadits yang telah berjasa besar bagi kita. Lantaran atas usaha mereka, kita telah ditunjukkan sebuah jalan yang terang yang mana tidak akan membuat kita tersesat dan tidak membuat kita terjerumus ke dalam jurang kebinasaan. Dan saya benar-benar mengambil banyak hikmah dan pelajaran dari buku-buku mereka dan juga perjalanan hidup mereka. Boleh dibilang semenjak saya mengenal para ahli hadits ini, maka saya paling tidak lebih banyak membaca hadits dan mempelajarinya daripada bergelut di bidang yang lain.

Berikut saya ringkas dengan bahasa saya sendiri buku Pengantar Sejarah Tadwin Hadits yang ditulis oleh Syaikh Abdul Ghofar Ar Rahmani untuk masalah sejarah pengumpulan dan penulisan hadits.

Bicara soal hadits, maka kita telah mengenal beberapa buku hadits seperti Al Muwatha’ Imam Malik, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, dan jugaMusnad Ahmad bin Hambal. Shahih Bukhari dan Muslim, ditambah empat kitab sunan biasanya disebut dengan Kutubus Sittah. Namun ternyata buku-buku hadits itu tidak terbatas kepada apa yang saya sebutkan ini saja, banyak sekali bahkan kita tidak akan bisa menghitungnya lantaran buku-buku tersebut jumlahnya bisa jadi jutaan.

Sejarah pengumpulan hadits ini dimulai dari para shahabat. Di kalangan para shahabat mereka kebanyakan menghafal hadits yang mereka terima dari rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, dan sebagian lagi menulis. Dikarenakan hafalan mereka kuatlah maka banyak di antara mereka menghafalnya selain menulis. Contoh para penghafal ini seperti Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Abdullah bin Abbasradhiyallahu’anhu, Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu, Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhu, Abu Said Al Khudriradhiyallahu’anhu mereka menghafal lebih dari 1.000 hadits.

Sedangkan shahabat lain yang menghafal dibawah 1.000 hadits seperti Abdullah bin Amr bin Ashradhiyallahu’anhu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu. Mereka kurang lebih menghafal 500 sampai dibawah 1.000 hadits.

Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu’anhu, Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu, Ummu Salamah radhiyallahu’anha, Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu’anhu, Abu Dzar Al Ghifari radhiyallahu’anhu, Abu Ayyub Al Anshari radhiyallahu’anhu, Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, dan Muadz bin Jabbal radhiyallahu’anhu, mereka adalah kalangan para shahabat yang menghafal di bawah 500 hadits. Ingat, menghafal.

Setelah para shahabat ada juga dari kalangan tabi’in. Disebut tabi’in karena mereka mengikuti para shahabat, menjadi murid para shahabat. Dan kalangan setelah tabi’in disebut sebagai tabi’ut tabi’in, yaitu pengikut tabi’in, yang mana juga menjadi murid tabi’in. Di kalangan tabi’in terkenal juga seperti Sa’id bin Al Musayyib, Urwah bin Zubayr, Salim bin Abdillah bin Umar, Nafi’. Barangkali sebagian dari kita tidak asing mendengar nama-nama ini ada pada perawi hadits. Kalau kita membaca sanad hadits lengkap, maka kita akan sering mendengar nama-nama tabi’in ini setelah para shahabat. Mereka adalah orang yang berjasa mengumpulkan hadits-hadits dari para shahabat.

Bicara mengenai Periode pengumpulan hadits, maka terbagi menjadi empat periode. Dan masing-masing periode itu sebagian besar hadits dilakukan dengan cara ditulis. Apa saja empat periode tersebut?

Periode Pertama

Hadits pada masa ini dikumpulkan, dihafalkan dan ditulis oleh para shahabat. Namun sekalipun beberapa di antara mereka menulisnya, ternyata lebih banyak dihafalkan daripada ditulis. Karena sebagian dari para shahabat memang tidak bisa menulis pada masa itu. Dan mereka lebih mengandalkan hafalannya.

Karya tulis pada periode pertama ini seperti:

1. Shahifah Ash-Shadiqah

Ditulis oleh Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu’anhu. Beliau menulis dan mencatat apapun yang dikatakan oleh rasulullah shallallahu’alahi wa salam, hingga dari risalah beliau ada sampai lebih dari 1.000 hadits.

2. Shahifah Ash-Shahihah

Dinisbatkan kepada Humam bin Munabbih. Beliau termasuk murid terkenal Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Risalah ini ada semua di dalam musnad Ahmad dan juga ada di Bukhari dan Muslim tanpa ada satu perbedaan pun yang mencolok.

3. Shahifah Basyir bin Nahik

Juga murid dari Abu Hurairah raadhiyallahu’anhu, risalah ini telah disusun olehnya dan diteliti oleh Abu Hurairahradhiyallahu’anhu sendiri sebelum meninggal.

4. Musnad Abu Hurairah radhiyallahu’anhu

Musnad ini ditulis pada masa shahabat. Salinannya ada pada ayahanda Umar bin Abdul ‘Aziz radhiyallahu’anhu, yaitu Abdul ‘Aziz bin Marwan, seorang gubernur Mesir yang meninggal pada tahun 86 H. Musnad ini ditulis lagi oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah, dan sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan Jerman.

5. Shahifah Ali radhiyallahu’anhu

Imam Bukhari menelitinya dan di dalamnya terdapat pembahasan cukup besar mengenai zakat, amaliyah yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan di Madinah, Khutbah Hajjatil Wada’ dan petunjuk-petunjuk Islam.

6. Khutbah Terakhir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam

Pada masa Fathu Makkah, Nabi Shallallahu’aliahi wa salam, memerintahkan Abu Syah Yamani radhiyallahu’anhu untuk menuliskan khutbah terakhir beliau.

7. Shafiyah Jabir Radhiyallahu’anhu.

Murid beliau Wahb bin Munabbih dan Sulayman bin Qays Al-Asykari menghimpun riwayat Jabir radhiyallahu’anhu. Isinya mengenai permasalahan haji dan khutbatul hajjatul wada’.

8. Riwayat Aisyah Ash-Shiddiqah radhiyallahu’anha

Riwayat dari Aisyah ini ditulis oleh murid beliau Urwah bin Zubayr.

9. Ahadits Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu.

Ada cukup banyak kompilasi ahadits Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu. Sa’id bin Jubair diantaranya yang menghimpun ahadits beliau.

10. Shahifah Anas bin Malik radhiyallahu’anhu

Sa’id bin Hilal meriwayatkan bahwa Anas bin Malik radhiyallahu’anhu akan menyebutkan semua hadits yang beliau tulis dengan ingatan/hafalan. Ketika menunjukkan kepada kami, beliau mengatakan: “Saya mendengar langsung riwayat ini dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, saya akan menuliskannya dan membacanya kembali di hadapan rasulullah shallallahu’alaihi wa salam sehingga beliau menyetujuinya”

11. Amru bin Hazm radhiyallahu’anhu

Ketika beliau diangkat menjadi Gubernur dan dikirim ke Yaman, beliau diberi perintah dan petunjuk tertulis. Beliau tidak hanya menjaga petunjuk tersebut, namun juga beliau menambahkan 12 perintah rasulullah shallallahu’alahi wa salam dan beliau jadikan dalam bentuk buku.

12. Risalah Samurah bin Jundub radhiyallahu’anhu

Risalah ini adalah warisan yang diberikan oleh Samurah bin Jundub radhiyallahu’anhu kepada putranya. Dan warisan ini adalah “harta” yang besar.

13. Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu’anhu

14. Maktub Nafi’ radhiyallahu’anhu.

Sulayman bin Musa meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu mendiketkan hadits sedangkan Nafi’ menulisnya.

15. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu

Ma’an meriwayatkan bahwa ‘Abdurahman bin Abdullah bin Mas’ud mengeluarkan buku-buku, ketika beliau membuka penutup buku tersebut, beliau berkata: “Ayahku yang menulis ini”

Periode Kedua

Periode ini dimulai pertengahan abad kedua Hijriyah, dan sejumlah tabi’in mulai menyusun buku. Para penghimpun hadits pada periode kedua ini seperti:

1. Muhammad bin Syihab Az Zuhri (wafat 124 H) kita mengenalnya dengan sebutan Imam Az Zuhri.

Beliau disebut sebagai imam hadits terbesar di zamannya karena menimba ilmu dari orang-orang besar. Dari para shahabat seperti Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu, Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Sahl bin Sa’adradhiyallahu’anhu. Dari kalangan tabi’in seperti Sa’id bin Al Musayyib rahimahullah, Mahmud bin Rabi’ahrahimahullah.

Beliau juga mempunyai murid seperti Imam Al Auza’i rahimahullah, Imam Malik rahimahullah, Sufyan bin ‘Uyainahrahimahullah. Dan mereka juga termasuk imam-imam besar.

Pada tahun 101 H beliau diperintahkan oleh Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah untuk mengumpulkan dan menghimpun hadits. Selain itu juga, Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah memberikan perintah kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar Muhammad bin ‘Amru bin Hazm untuk menuliskan semua ahadits yang dimiliki oleh ‘Umrah bintu ‘Abdirahman dan Qasim bin Muhammad.

Ketika Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah memerintahkan semua orang yang bertanggung jawab di negara Islam untuk mengumpulkan ahadits, kumpulan itu terbentuk sebuah buku. Ketika mereka sampai ke ibukota Damaskus, salinan kopi buku tersebut dikirimkan ke semua penjuru negeri Islam. Setelah Imam Az Zuhri rahimahullah mulai mengumpulkan ahadits, ahli ilmu lainnya mulai turut bergabung bersama beliau, yang terutama diantara mereka adalah:

2. ‘Abdul Malik bin Juraij rahimahullah (wafat 150H) di Makkah

3. Imam Al Auza’i rahimahullah (wafat 157H) di Syam.

4. Mu’ammar bin Rasyid rahimahullah (wafat 153H) di Yaman.

5. Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah (wafat 161H) di Kufah.

6. Imam Hammad bin Salamah rahimahullah (wafat 167H) di Bashra

7. Abdullah bin Al Mubarok rahimahullah (wafat 181H) di Khurasan.

8. Malik bin Anas rahimahullah (93-179H)

Imam Malik merupakan salah satu imam besar yang berguru kepada Imam Az-Zuhri, Imam Nafi’ dan ulama-ulama besar lainnya. Murid beliau ada 900 orang dan pelajaran beliau ini menyebar sampai ke Hijaz, Syam, Mesir, Afrika dan Andalusia (Spanyol). Murid-murid beliau antara lain:

– Laits bin Sa’ad rahimahullah (wafat 175H)

– Abdullah bin Al Mubarak rahimahullah (wafat 181H)

– Imam Asy Syafi’i rahimahullah (wafat 204H)

– Imam Muhammad bin Hasan Asy Syaibani rahimahullah (wafat 189H)

Karya Tulis pada periode Kedua

1. Al Muwatho’ Imam Malik

Buku ini ditulis dalam rentang waktu tahun 130 Hijriyah sampai 141 Hijriyah. Buku ini memiliki kurang lebih 1.720 hadits, di mana isinya ada 600 hadits marfu’ (terangkat sampai kepada Nabi Shallallahu’alaihi wa salam), 222 hadits mursal (ada perawi shahabat yang digugurkan), 617 hadits mauquf (terhenti sampai di tabi’in), 275 sisanya adalah ucapan dari tabi’un.

2. Jami’ Sufyan Ats-Tsauri

3. Jami’ Abdullah ibnul Mubarok

4. Jami’ Imam Al Auza’i.

5. Jami’ Ibnu Juraij

6. Kitabul Akhraj karya Qadhi Abu Yusuf

7. Kitabul Atsar karya Imam Muhammad

Periode Ketiga

Periode ini dimulai dari abad kedua hijriyah sampai akhir abad keempat. Pada masa ini hadits nabi, atsarshahabat dan aqwal (ucapan) tabi’in dipisahkan, dikategorikan, dan dibedakan. Riwayat yang maqbulah(diterima) dihimpun secara terpisah dan buku-buku pada abad kedua diperiksa kembali dan di-tashhih(diautentikasi). Selama periode ini pula bukan hanya riwayat yang dikumpulkan, tetapi juga mulai diformulasikan macam-macam ilmu yang berkaitan dengan hadits hingga sampai 100 macam ilmu, dan juga ribuan buku mengenai ilmu-ilmu itu juga ditulis.

Imam Hazimi (wafat 784H) penulis Kitabul I’tibar fi Naskhi mengatakan: “Macam dan jenis ilmu Mustholahul Hadits mencapai hampir 100 macam, dan tiap pembahasan memiliki ilmunya sendiri. Apabila seorang penuntut ilmu menghabiskan umurnya untuk mempelajarinya niscaya tidak akan cukup.” (Lihat Tadiribur Ridwan hal.9). Ibnu Sholah sendiri, menyebutkan 65 macam jenis ilmu ini di dalam bukunya ‘Ulumul Hadits.

‘Ulumul Hadits

1. Asma’ur Rijal

Pada ilmu ini, keadaan, lahir, wafat, guru dan murid-murid dikumpulkan dan dihimpun secara terperinci, dan berdasarkan perincian perawi ini, seorang perawi mendapatkan predikat shidiq (terpercaya), tsiqoh (kredibilitas) atau ketidak tsiqoh-an-nya. Ilmu ini sangat menarik dan ada rincian sebanyak 500.000 perawi telah disusun.

Banyak buku mengenai ilmu ini ditulis, di antaranya:

– Tahzibul Kamil karya Imam Yusuf Al-Mizzi (wafat 742H), salah satu buku penting dalam ilmu ini.

– Tahzibut Tahzib karya Imam Al Hafizh Ibnul Hajar rahimahullah.

– Tadzkiratul Huffazh karya Al-Allamah Adz Dzahabi (wafat 748H).

– ‘Izzuddin Ibnul ‘Atsir (wafat 630H) juga menulis buku berjudul Asadul Ghobah fi Asma’is Shohabah.

2. Ilmu Mustholahul Hadits (‘Ushulul Hadits)

Dengan ilmu inilah standar dan hukum hadits serta keshahihan dan kedha’ifan suatu hadits dapat ditegakkan. Buku yang terkenal dalam bidang ilmu ini adalah:

-Ulumul Hadits al-Ma’ruf bi Muqoddimati Ibn Ash Sholah oleh Abu Umar ‘Utsman bin Ash Sholah (wafat 557H)

– Taujihun Nazhor karya Al-Allamah Thahir bin Shalih Al Jaza’iri (wafat 1338H)

– Qowaidut Tahdits karya Al-Allamah Sayyid Jamaluddin Al Qashimi (wafat 1332H)

3. Ilmu Ghoribul Hadits

Di dalam ilmu ini, kata-kata dan makna yang sulit diteliti dan dipelajari. Diantara buku-buku dalam ilmu ini adalah:

– Al Fa’iq karya Az Zamakhsyari.

– An Nihayah karya Al Ma’ruf ibnu Atsir.

4. Ilmu Takhrijul Hadits.

Dari ilmu ini kita dapat menemukan dimana (sumber) suatu hadits yang berkaitan dengan ilmu tertentu yang banyak ditemukan dari buku-buku tafsir, aqidah ataupun fiqih, seperti:

– Al Hidayah karya Burhanuddin Ali bin Abi Bakr Al Marghani (wafat 592H).

– Ihya’ Ulumuddin karya Abu Hamid Al-Ghazali (wafat 505H)

Kedua buku di atas banyak memiliki riwayat tanpa sanad atau sumber. Apabila seseorang ingin mengetahui derajat atau sumber hadits pada kedua buku ini dari buku hadits terkenal, maka buku-buku pertama yang bisa dirujuk adalah:

– Nashbur Rayah karya Al Hafizh Zaila’i (wafat 792H)

– Kitabut Diroyah karya Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani (wafat 852H)

– Al Mughni an Hamlil Ashfar karya Al Hafizh Zainuddin Al-Iraqi (wafat 806H)

5. Ilmu Al Hadits Al Maudhu’ah

Dalam ilmu ini, ahli ilmu menuliskan sebuah buku khusus, dimana mereka memisahkan antara hadits maudhu’(palsu) dengan hadits shahih. Diantara buku terbaik yang dikenal seperti:

– Fawa’id Al Majmu’ah karya Al Qodhi Asy Syaukani (wafat 1255H)

– ‘Ilalul Masnu’ah karya Jalaluddin Asy Syuyuthi (wafat 911H). Judul lengkapnya ‘Ilalul Masnu’ah fil Ahadits Al Maudu’ah merupakan buku ringkasan kitabul Maudhu’at karya Ibnul Jauzy rahimahullah.

6. Ilmu Nasikh Wal Mansukh

Ilmu ini adalah ilmu tentang nash yang membatalkan/abrogasi (nasikh) dan yang dibatalkan/diabrogasi (mansukh). Di antara buku yang ditulis dalam bidang ini adalah buku-buku karya Ahmad bin Ishaq ad-Dainari (wafat 318H), Muhammad bin Bahr Al-Ishbahani (wafat 322H), Hibatullah bin Salamah (wafat 410H). Dalam ilmu ini, salah satu karya yang terkenal adalah Kitabul I’tibar karya Muhammad Musa Al Hazimi (wafat 784H).

7. Ilmu At-Taufiq Baynal Hadits

Di dalam ilmu ini, ahadits shahihah yang paling kontradiktif (tanaqudh) satu dengan lainnya, dibahas dan diselesaikan.

– Imam Asy Syafi’ie rahimahullah (wafat 204H) adalah orang pertama yang membicarakan ilmu ini di dalam buku beliau berjudul Ar Risalah, yang dikenal dengan ilmu Mukhtaliful Hadits.

– Karya Imam Ath Thohawi rahimahullah (wafat 321H), Musykilul Atsar juga merupakan buku yang bermanfaat.

8. Ilmu Mukhtalif wal Mu’talaf

Ilmu ini menyebutkan nama-nama perawi, kunyah (julukan), gelar, orang tua, ayah atau guru mereka, yang sama/mirip antara perawi satu dengan yang lainnya, sehingga seorang peneliti dapat melakukan kesalahan karenanya. Buku Ibnu Hajar (wafat 852H) yang berjudul Ta’birul Munabbih adalah salah satu contoh utama dalam ilmu ini.

9. Ilmu Athroful Hadits

Ilmu ini memudahkan untuk mencari sebuah riwayat dan buku hadits serta para perawinya dapat ditemukan di dalam ilmu ini. Sebagai contoh, penggalan pertama hadits : “Sesungguhnya setiap ‘amal itu tergantung niatnya…”, apabila anda ingin mendapatkan semua kata pada hadits tersebut sekaligus perawinya, maka anda perlu merujuk pada ilmu ini dan buku-buku yang ditulis dalam bidang ilmu ini, seperti:

– Kitab Tuhfatul Asyraf karya Al Hafizh Al Muzanni (wafat 742H). Buku ini mengandung daftar seluruh hadits di dalam kutubus sittah (kitab induk hadits yang enam). Al Muzanni menghabiskan waktu selama 26 tahun untuk karyanya ini yang melibatkan pengkategorisasian yang melelahkan. Setelah upaya yang besar ini akhirnya buku beliau ini dapat diselesaikan.

10. Fiqhul Hadits

Di dalam ilmu ini, semua hadits shahih yang berkaitan dengan ahkam dan perintah dikumpulkan. Di dalam bidang ilmu ini, buku-buku yang dapat diambil faidahnya adalah:

– I’lamul Muwaqqin karya Syaikhul Islam Ibnul Qayyim Al Jauziyah (wafat 751H)

– Hujjatullah Al-Balighah karya Syah Waliyullah Ad-Dihlawi (wafat 1176H)

Selain itu, ada juga buku-buku yang ditulis berkenaan dengan permasalahan dan topik lainnya, seperti misalnya dalam bidang harta:

– Kitabul Amwal yang terkenal, karya Abu ‘Ubaid Qasim bin Sallam (wafat 224H)

– Kitabul Akhraj karya Qadhi Abu Yusuf (wafat 182H)

Bagi mereka para pengingkar hadits (ingkarus sunnah), maka mereka adalah sasaran dari pemahaman yang bathil. Bagi mereka buku-buku di bawah ini bisa memberikan faidah, apabila mereka mau menelaahnya:

– Kitabul Umm karya Imam Asy Syafi’ie rahimahullah (wafat 204H) juz VII.

– Ar Risalah karya Imam Asy Syafi’ie (wafat 204H)

– Al Muwafaqat karya Imam Abu Ishaq Asy Syathibi (wafat 790H), juz VI.

– Ash Showa’iqul Mursalah karya Ibnul Qayyim Al Jauziyah (wafat 751H), juz II dan

– Al Ahkam karya Ibnu Hazm Al Andalusi (wafat 456H)

Penyusunan buku pada periode ketiga

1. Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah ( 164-241H )

Karya beliau yang paling utama adalah Musnad Ahmad yang tersusun dari 30.000 hadits dalam 24 juz dan kebanyakan riwayat terdapat di dalam buku ini. Buku ini disusun berdasarkan nama-nama shahabat dalam pengkategoriannya. Buku ini kemudian dikategorikan sesuai tema oleh ulama Mesir bernama Muhaddits Muhammad Ahmad Syakir mengambil tanggung jawab mengakategorisasikan buku ini berdasarkan tema dan sejauh ini beliau telah mencetak 15 jilid.

2. Imam Muhammad bin Isma’il Al Bukhari rahimahullah (194-246H)

Shahih Al Bukhari adalah karya utama Imam Bukhari. Judul lengkap buku beliau ini adalah Al Jami’ Ash Shahih Al Musnad Al Mukhtashor min Umuri Rasulillahi Shallallahu ‘alaihi wa salam wa ayyamihi. Beliau menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk menyusun buku ini. Jumlah murid beliau yang membaca buku shahih ini bersama beliau adalah sebanyak 90.000 orang. Terkadang, dalam satu kali pertemuan, yang menghadiri majilis beliau mencapai 30.000 orang. Standar penelitian Imam Bukhari terhadap hadits adalah yang paling ketat dibandingkan ulama hadits lainnya.

3. Imam Muslim bin Hajjaj Al Qushayri rahimahullah (202-261H)

Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Bukhari adalah termasuk guru-guru beliau. Adapun Imam At Tirmidzi, Abu Hatim Ar Razi dan Abu Bakr bin Khuzaimah termasuk murid-murid beliau. Buku beliau memiliki derajat tertinggi dalam pengkategorisasian (tabwib).

4. Abu Dawud Asy’ats bin Sulayman As Sijistani rahimahullah (204-275H)

Karya utama beliau dikenal dengan sebutan Sunan Abi Dawud. Buku beliau ini, utamanya menggabungkan antara riwayat-riwayat yang berkaitan dengan ahkam dengan ringkasan (kompendium) permasalahan fiqih yang berkaitan dengan hukum. Bukunya tersusun dari 4.800 hadits.

5. Imam Abu Isa At Tirmidzi rahimahullah (209-279H)

Buku beliau, Jami’ At Tirmidzi menyebutkan seputar permasalahan fiqih dengan penjelasan terperinci.

6. Imam Ahmad bin Syu’aib An Nasa’i rahimahullah (wafat 303H)

Bukunya dikenal dengan Sunan Nasa’i.

7. Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Al Qazdiani rahimahullah (wafat 273H)

Bukunya dikenal dengan sunan Ibnu Majah.

Selain buku-buku di atas sebenarnya banyak lagi buku-buku yang lain. Buku Bukhari, Muslim dan Tirmidzi disebut dengan Jami’, disebabkan buku mereka mengandung masalah Aqo’id, ibadah, akhlaq, khobar dan lainnya. Adapun Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Majah disebut dengan Sunan, karena buku-buku ini mengandung hadits yang menyinggung masalah duniawi (mu’amalah).

Thobaqot (tingkatan) buku-buku Hadits

1. Berdasarkan landasan dan istilah hadits serta keterpercayaan para perawinya, Muwatho’ Imam Malik, Shahih Bukhari, dan Shaih Muslim, memiliki derajat tertinggi.

2. Abu Dawud, at Tirmidzi dan An Nasa’i, keterpercayaan para perawinya di bawah kategori pertama, namun mereka masih dianggap dan dipercaya. Kategori ini juga mencakup Musnad Ahmad.

3. Ad Darimi (wafat 225H), Ibnu Majah, Al Baihaqi, Ad Daruquthni (wafat 358H) buku-buku ath Thabrani (wafat 360H), buku-buku ath Thohawi (wafat 321H), Musnad Imam Asy Syafi’ie dan Mustadrak Al Hakim (wafat 405H), buku-buku ini mengandung semua macam hadits, baik yang shahih maupun yang dha’if.

4. Buku-buku Ibnu Jarir Ath Thohawi (wafat 310H), buku-buku Al Khathib Al Baghdadi (wafat 463H), Abu Nu’aim (wafat 403H), Ibnu ‘Asakir (wafat 571H), Ad Dailami (wafat 509H) penulis Firdaus, Al Kamil karya Ibnu Adi (wafat 35H), buku-buku ibnu Marudiyah (wafat 410H), Al Waqidi (wafat 207H), dan buku-buku lainnya termasuk dalam kategori ini. Kesemua buku-buku ini adalah himpunan riwayat yang mengandung riwayat-riwayat palsu (maudhu’). Sekiranya buku-buku ini diteliti, niscaya akan banyak faedah yang diperoleh.

Periode Keempat

Periode ini, dimulai dari abad kelima hijriyah sampai hari ini. Karya-karya yang telah dihasilkan pada periode ini antara lain:

1. Penjelasan (syarah), catatan kaki (hasiyah) dan penterjemahan buku-buku hadits ke dalam berbagai bahasa.

2. Lebih banyak buku-buku dalam ilmu hadits yang disebutkan, disyarh dan diringkas.

3. Para ulama, dengan kecerdasannya dan didorong kebutuhan mereka terhadap ilmu hadits, menyusun buku-buku hadits yang dicuplik dari buku-buku yang telah ditulis dan disusun pada abad ketiga. Diantaranya adalah:

– Misykatus Mashabih karya Waliyuddin Khathib. Di dalam buku ini, riwayat-riwayatnya disusun berdasarkan masalah aqidah, ibadah, mu’amalah dan akhlaq.

– Riyadhus Shalihin min Kalimil Sayyidil Mursalin atau dikenal dengan Riyadhus Shalihin karya Imam Abu Zakarya Yahya bin Syarf An Nawawi (wafat 676H). pensyarh kitab Shahih Muslim. Buku ini menghimpun masalah akhlaq dan adab secara umum. Tiap temanya senantiasa diawali dengan ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan tema. Hal ini merupakan ciri utama buku ini, dan metode ini pula yang merupakan ciri utama buku ini, metode ini pula yang ditempuh oleh Shahih Bukhari.

– Muntaqa Al Akhbar karya Mujaddid Ad-Din Abul Barakat Abdus Salam bin Taimiyah (wafat 652H). Beliau adalah kakek dari Syaikhul Islam Taqiyuddin Ahmad Ibnu Taimiyah (wafat 728H). Qadhi Asy Syaukani menulis sebuah syarah buku ini dalam 8 jilid, yang berjudul Nailul Authar.

– Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al Asqolani (wafat 852H), pensyarah kitab Shahih Bukhari.

Buku ini, utamanya tersusun atas hadits-hadits yang berkaitan dengan ibadah dan mu’amalah. Syarh(penjelasan) buku ini dilakukan oleh Muhammad Isma’il Ash-Shan’ani (wafat 1182H) di dalam buku beliau yang berjudul Subulus Salam Syarh Bulughul Maram. Adalagi syarh dalam bahasa Farsi (Persia) yang ditulis oleh Syaikh Nawwab Shiddiq Hasan Khan Al Bupali (wafat 1307) yang berjudul Masakul Khatam Syarh Bulughil Maram.

Selesai ringkasan.

Syi’ah itu Sesat Juragan

Saya suka artikel dari blog akhi Abul Jauzaa mengenai Syi’ah ini, karena beliau selalu membawakan dalil dari orang-orang Syi’ah sendiri. Sehingga biar tidak dianggap terlalu subjektif. Tak perlu banyak komentar, saya copy paste-kan artikelnya di blog ini. Insya Allah bermanfaat.

Adalah hal yang membuat kita mengelus dada ketika oknum ketua Majelis Ulama Indonesia yang masih mengaku ‘sunniy’ mengatakan Syi’ah itu tidak sesat. Ia adalah Prof. Umar Syihaab[1] – semoga Allah memberikan petunjuk kepadanya, dan orang-orang tidak silau dengan gelar yang disandangnya – yang mengatakan : “MUI berprinsip[2] bahwa mazhab Syiah tidak sesat. Karena itu, MUI mengimbau umat Islam tidak terpecah belah dan menjaga ukhuwah islamiah serta tidak melakukan tindak kekerasan terhadap golongan berbeda”.[3]Di lain kesempatan ia berkata : “Misalnya ada MUI Daerah yang mengeluarkan fatwa Syiah itu sesat -namun Alhamdulillah syukurnya belum ada MUI Daerah yang mengeluarkan fatwa seperti itu- maka fatwa tersebut tidak sah secara konstitusi, sebab MUI Pusat menyatakan Syiah itu sah sebagai mazhab Islam dan tidak sesat. Jika ada petinggi MUI yang mengatakan seperti itu, itu adalah pendapat pribadi dan bukan keputusan MUI sebagai sebuah organisasi“.[4]
Tidak ketinggalan Prof. Diin Syansuddiin – ketua umum PP. Muhammadiyyah – yang memberikan angin segar atas ucapan Prof. Umar Syihab, dimana ia menegaskan bahwa antara Sunni dan Syiah ada perbedaan tapi hanya pada wilayah cabang (furu’iyyat), tidak pada wilayah dasar agama (akidah), karena keduanya berpegang pada akidah Islamiyah yang sama, walau ada perbedaan derajad penghormatan terhadap Ali bin Abi Thalib.[5]
Saya (Abul-Jauzaa’) katakan : Sesat perkataan yang menyatakan Syi’ah tidak sesat. Sesat pula perkataan yang menyatakan perbedaan Ahlus-Sunnah dengan Syi’ah tidak ada kaitannya dengan ‘aqidah. Berikut akan saya berikan bukti-bukti otentik akan kesesatan Syi’ah yang berbeda dengan perkataan dua tokoh di atas. Bukti-bukti berikut saya ambilkan dari kitab-kitab Syi’ah, website-website Syi’ah, dan perkataan para ulama Syi’ah.
1.     Orang Syi’ah Raafidlah mengatakan Al-Qur’an yang ada di tangan kaum muslimin (baca : Ahlus-Sunnah) berbeda dengan Al-Qur’an versi Ahlul-Bait.
Berkata Muhammad bin Murtadlaa Al-Kaasyi dalam – seseorang yang dianggap ‘alimdan ahli hadits dari kalangan Syi’ah – :
لم يبق لنا اعتماد على شيء من القران. اذ على هذا يحتمل كل اية منه أن يكون محرفاً ومغيراً ويكون على خلاف ما أنزل الله فلم يقب لنا في القران حجة أصلا فتنتفى فائدته وفائدة الأمر باتباعه والوصية بالتمسك به
“Tidaklah tersisa bagi kami untuk berpegang suatu ayat dari Al-Qur’an. Hal ini disebabkan setiap ayat telah terjadi pengubahan sehingga berlawanan dengan yang diturunkan Allah. Dan tidaklah tersisa dari Al-Qur’an satu ayatpun sebagai hujjah. Maka tidak ada lagi faedahnya, dan faedah untuk menyuruh dan berwasiat untuk mengikuti dan berpegang dengannya ….” [Tafsir Ash-Shaafiy 1/33]
Berkata Muhammad bin Ya’qub Al-Kulainiy – seorang yang dianggap ahli hadits dari kalangan Syi’ah – (w. 328/329 H) :
عن أبي بصير عن أبي عبد الله عليه السلام قال : وَ إِنَّ عِنْدَنَا لَمُصْحَفَ فَاطِمَةَ ( عليها السلام ) وَ مَا يُدْرِيهِمْ مَا مُصْحَفُ فَاطِمَةَ ( عليها السلام ) قَالَ قُلْتُ وَ مَا مُصْحَفُ فَاطِمَةَ ( عليها السلام ) قَالَ مُصْحَفٌ فِيهِ مِثْلُ قُرْآنِكُمْ هَذَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ وَ اللَّهِ مَا فِيهِ مِنْ قُرْآنِكُمْ حَرْفٌ وَاحِدٌ قَالَ قُلْتُ هَذَا وَ اللَّهِ الْعِلْمُ
Dari Abu Bashiir, dari Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam ia berkata : “Sesungguhnya pada kami terdapat Mushhaf Faathimah ‘alaihas-salaam. Dan tidaklah mereka mengetahui apa itu Mushhaf Faathimah”. Aku berkata : “Apakah itu Mushhaf Faathimah ?”. Abu ‘Abdillah menjawab : “Mushhaf Faathimah itu, di dalamnya tiga kali lebih besar daripada Al-Qur’an kalian. Demi Allah, tidaklah ada di dalamnya satu huruf pun dari Al-Qur’an kalian”. Aku berkata : “Demi Allah, ini adalah ilmu” [Al-Kaafiy, 1/239].
عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ إِنَّ الْقُرْآنَ الَّذِي جَاءَ بِهِ جَبْرَئِيلُ ( عليه السلام ) إِلَى مُحَمَّدٍ ( صلى الله عليه وآله ) سَبْعَةَ عَشَرَ أَلْفَ آيَةٍ
Dari Hisyam bin Saalim, dari Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam ia berkata : “Sesungguhnya Al-Qur’an yang diturunkan melalui perantaraan Jibril ‘alaihis-salaam kepada Muhammadshallallaahu ‘alaihi wa aalihi terdiri dari 17.000 (tujuh belas ribu) ayat” [Al-Kaafiy, 2/634].
Berkata Muhammad Baaqir Taqiy bin Maqshuud Al-Majlisiy (w. 1111 H) – seorang yang dianggap imam dan ahli hadits di masanya – ketika mengomentari hadits di atas :
موثق، وفي بعض النسخ عن هشام بن سالم موضع هارون ابن سالم، فالخبر صحيح ولا يخفى أن هذا الخبر وكثير من الأخبار في هذا الباب متواترة معنى، وطرح جميعها يوجب رفع الاعتماد عن الأخبار رأسا، بل ظني أن الأخبار في هذا الباب لا يقصر عن أخبار الامامة فكيف يثبتونها بالخبر ؟
Shahih. Dalam sebagian naskah tertulis : ”dari Hisyaam bin Saalim” pada tempat rawi yang bernama Haaruun bin Saalim. Maka khabar/riwayat ini shahih dan tidak tersembunyi lagi bahwasannya riwayat ini dan banyak lagi yang lainnya dalam bab ini telah mencapai derajat mutawatir secara makna. Menolak keseluruhan riwayat ini (yang berbicara tentang perubahan Al-Qur’an) berkonsekuensi menolak semua riwayat (yang berasal dari Ahlul-Bait). Aku kira, riwayat-riwayat dalam bab ini tidaklah lebih sedikit dibandingkan riwayat-riwayat tentang imamah. Nah, bagaimana masalah imamah itu bisa ditetapkan melalui riwayat ? [Mir-aatul-‘Uquul fii Syarhi Akhbaari Aalir-Rasuul 12/525].
Kemudian,…. inilah hal yang membuktikan validitas keyakinan Syi’ah dalam hal ini :
Di atas adalah perkataan Dr. Al-Qazwiniy, salah seorang ulama kontemporer Syi’ah yang cukup terkenal. Menurutnya, firman Allah ta’ala :
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ
Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing)” [QS. Aali ‘Imraan : 33].
Menurutnya, yang benar adalah :
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ وَآلَ مُحَمَّدٍ عَلَى الْعَالَمِينَ
Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, keluarga Imran, dan keluarga Muhammad melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing)”.
Tambahan kalimat yang berwarna merah ini dihilangkan oleh para shahabat radliyallaahu ‘anhum – (dan ini adalah kedustaan yang sangat nyata !!).[6]
Apakah hal seperti ini menurut Umar Syihab tidak sesat ?. Apakah hal seperti ini menurut Din Syamsuddin tidak ada sangkut pautnya dengan ‘aqidah ?. Dimanakah posisi firman Allah ta’ala :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” [QS. Al-Hijr : 9] ?.
2.     Orang Syi’ah Raafidlah telah mengkafirkan para shahabat, terutama sekali Abu Bakr Ash-Shiddiiq dan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhumaa.
Orang Syi’ah telah mendoakan laknat atas Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa– yang naasnya, doa itu dinisbatkan secara dusta kepada ‘Aliy bin Abi Thaalibradliyallaahu ‘anhu[7] – sebagai berikut :
اللهم صل على محمد، وآل محمد، اللهم العن صنمي قريش، وجبتيهما، وطاغوتيهما، وإفكيهما، وابنتيهما، اللذين خالفا أمرك، وأنكروا وحيك، وجحدوا إنعامك، وعصيا رسولك، وقلبا دينك، وحرّفا كتابك…..
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Ya Allah, laknat bagi dua berhala Quraisy (Abu Bakr dan ‘Umar – Abul-Jauzaa’), Jibt dan Thaghut, kawan-kawan, serta putra-putri mereka berdua. Mereka berdua telah membangkang perintah-Mu, mengingkari wahyu-Mu, menolak kenikmatan-Mu, mendurhakai Rasul-Mu, menjungkir-balikkan agama-Mu, merubah kitab-Mu…..dst.” [selesai].
Saksikan video berikut, bagaimana ulama Syi’ah (Yasir Habiib) melaknat Abu Bakr, ‘Umar, dan para shahabat lain radliyallaahu ‘anhum dalam shalatnya :
Dan mari kita lihat sumber ajaran Syi’ah dalam kitab mereka yang mengkafirkan para shahabat :
عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) قَالَ كَانَ النَّاسُ أَهْلَ رِدَّةٍ بَعْدَ النَّبِيِّ ( صلى الله عليه وآله ) إِلَّا ثَلَاثَةً فَقُلْتُ وَ مَنِ الثَّلَاثَةُ فَقَالَ الْمِقْدَادُ بْنُ الْأَسْوَدِ وَ أَبُو ذَرٍّ الْغِفَارِيُّ وَ سَلْمَانُ الْفَارِسِيُّ رَحْمَةُ اللَّهِ وَ بَرَكَاتُهُ عَلَيْهِمْ
Dari Abu Ja’far ‘alaihis-salaam, ia berkata : “Orang-orang (yaitu para shahabat – Abul-Jauzaa’) menjadi murtad sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi kecuali tiga orang”. Aku (perawi) berkata : “Siapakah tiga orang tersebut ?”. Abu Ja’far menjawab : “Al-Miqdaad, Abu Dzarr Al-Ghiffaariy, dan Salmaan Al-Faarisiy rahimahullah wa barakaatuhu ‘alaihim…” [Al-Kaafiy, 8/245; Al-Majlisiy berkata : “hasan ataumuwatstsaq”].
عَنْ أَبِي عبد الله عليه السلام قال: …….والله هلكوا إلا ثلاثة نفر: سلمان الفارسي، وأبو ذر، والمقداد ولحقهم عمار، وأبو ساسان الانصاري، وحذيفة، وأبو عمرة فصاروا سبعة
Dari Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam, ia berkata : “…….Demi Allah, mereka (para shahabat) telah binasa kecuali tiga orang : Salmaan Al-Faarisiy, Abu Dzarr, dan Al-Miqdaad. Dan kemudian menyusul mereka ‘Ammaar, Abu Saasaan, Hudzaifah, dan Abu ‘Amarah sehingga jumlah mereka menjadi tujuh orang” [Al-Ikhtishaash oleh Al-Mufiid, hal. 5; lihat : http://www.al-shia.org/html/ara/books/lib-hadis/ekhtesas/a1.html].
عَنْ أَبِي بَصِيرٍ عَنْ أَحَدِهِمَا عليهما السلامقَالَ إِنَّ أَهْلَ مَكَّةَ لَيَكْفُرُونَ بِاللَّهِ جَهْرَةً وَ إِنَّ أَهْلَ الْمَدِينَةِ أَخْبَثُ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ أَخْبَثُ مِنْهُمْ سَبْعِينَ ضِعْفاً .
Dari Abu Bashiir, dari salah seorang dari dua imam ‘alaihimas-salaam, ia berkata : “Sesungguhnya penduduk Makkah kafir kepada Allah secara terang-terangan. Dan penduduk Madinah lebih busuk/jelek daripada penduduk Makkah 70 kali” [Al-Kaafiy, 2/410; Al-Majlisiy berkata : Muwatstsaq].
Riwayat yang semacam ini banyak tersebar di kitab-kitab Syi’ah.
Apakah hal seperti ini menurut Umar Syihab tidak sesat ?. Apakah hal seperti ini menurut Din Syamsuddin tidak ada sangkut pautnya dengan ‘aqidah ?. Dimanakah posisi firman Allah ta’ala :
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [QS. At-Taubah : 100].
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan diaadalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” [QS. Al-Fath : 29] ?.
3.     Orang Syi’ah Raafidlah tidak menggunakan riwayat Ahlus-Sunnah.
Atau dengan kata lain, Syi’ah tidak menggunakan hadits-hadits Ahlus-Sunnah – yang merupakan referensi kedua setelah Al-Qur’an – dalam membangun agama mereka. Ini merupakan konsekuensi yang timbul dari point kedua karena mereka mengkafirkan para shahabat yang menjadi periwayat as-sunnah/al-hadits. Ini adalah satu kenyataan yang tidak akan ditolak kecuali mereka yang bodoh terhadap agama Syi’ah dengan kebodohan yang teramat sangat, atau mereka yang sedang menjalankan strategi taqiyyah. Adakah mereka (Syi’ah) akan mengambil riwayat dari orang yang telah murtad dari agamanya ?.
Syi’ah mempunyai sumber-sumber hadits tersendiri seperti Al-KaafiyMan Laa yahdluruhl-FaqiihTahdziibul-Ahkaam, Al-Istibshaar, dan yang lainnya.
Jika mereka mengambil referensi Ahlus-Sunnah, maka itu hanyalah mereka lakukan ketika berbicara kepada Ahlus-Sunnah, dan mereka ambil yang kira-kira dapat mendukung ‘aqidah mereka dan/atau menghembuskan syubhat-syubhat kepada Ahlus-Sunnah.
Apakah hal seperti ini menurut Umar Syihab tidak sesat ?. Apakah hal seperti ini menurut Din Syamsuddin tidak ada sangkut pautnya dengan ‘aqidah ?. Dimanakah posisi sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبد حبشي فإنه من يعش منكم يرى اختلافا كثيرا وإياكم ومحدثات الأمور فإنها ضلالة فمن أدرك ذلك منكم فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ
Aku nasihatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun (yang memerintah kalian) seorang budak Habsyiy. Orang yang hidup di antara kalian (sepeninggalku nanti) akan menjumpai banyak perselisihan. Waspadailah hal-hal yang baru, karena semua itu adalah kesesatan. Barangsiapa yang menjumpainya, maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh kepada Sunnahku dan sunnah Al-Khulafaa’ Ar-Raasyidiin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah ia erat-erat dengan gigi geraham” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/126-127, Abu Daawud no. 4607, dan yang lainnya; shahih[8]] ?.
4.     Orang Syi’ah telah berbuat ghulluw kepada imam-imam mereka, dan bahkan sampai pada taraf ‘menuhankan’ mereka.
Al-Kulainiy membuat bab dalam kitab Al-Kaafiy :
بَابُ أَنَّ الْأَئِمَّةَ ( عليهم السلام ) إِذَا شَاءُوا أَنْ يَعْلَمُوا عُلِّمُوا
Bab : Bahwasannya para imam (‘alaihis-salaam) apabila ingin mengetahui, maka mereka akan diberi tahu”.
Di sini ada 3 hadits/riwayat. Saya sebutkan satu di antaranya :
أَبُو عَلِيٍّ الْأَشْعَرِيُّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْجَبَّارِ عَنْ صَفْوَانَ عَنِ ابْنِ مُسْكَانَ عَنْ بَدْرِ بْنِ الْوَلِيدِ عَنْ أَبِي الرَّبِيعِ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) قَالَ إِنَّ الْإِمَامَ إِذَا شَاءَ أَنْ يَعْلَمَ أُعْلِمَ .
Abu ‘Aliy Al-Asy’ariy, dari Muhammad bin ‘Abdil-Jabbaar, dari Shafwaan, dari Ibnu Muskaan, dari Badr bin Al-Waliid, dari Abur-Rabii’, dari Abu ‘Abdillah (‘alaihis-salaam), ia berkata : “Sesungguhnya seorang imam jika ia ingin mengetahui, maka ia akan diberi tahu” [Al-Kaafiy, 1/258].
Inilah riwayat dusta yang disandarkan kepada ahlul-bait – dan ahlul-bait berlepas diri dari riwayat dusta tersebut.
Bab yang lain dalam kitab Al-Kaafiy :
بَابُ أَنَّ الْأَئِمَّةَ ( عليهم السلام ) يَعْلَمُونَ عِلْمَ مَا كَانَ وَ مَا يَكُونُ وَ أَنَّهُ لَا يَخْفَى عَلَيْهِمُ الشَّيْ‏ءُ صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ
Bab : Bahwasannya para imam (‘alaihis-salaam) mengetahui ilmu yang telah terjadi maupun yang sedang terjadi. Tidak ada sesuatu pun yang luput dari mereka shalawatullah ‘alaihim”.
Di situ ada 6 buah hadits/riwayat, yang salah satunya adalah sebagai berikut :
أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ وَ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحُسَيْنِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ إِسْحَاقَ الْأَحْمَرِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَمَّادٍ عَنْ سَيْفٍ التَّمَّارِ قَالَ كُنَّا مَعَ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام )…… فَقَالَ وَ رَبِّ الْكَعْبَةِ وَ رَبِّ الْبَنِيَّةِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ لَوْ كُنْتُ بَيْنَ مُوسَى وَ الْخَضِرِ لَأَخْبَرْتُهُمَا أَنِّي أَعْلَمُ مِنْهُمَا وَ لَأَنْبَأْتُهُمَا بِمَا لَيْسَ فِي أَيْدِيهِمَا لِأَنَّ مُوسَى وَ الْخَضِرَ ( عليه السلام ) أُعْطِيَا عِلْمَ مَا كَانَ وَ لَمْ يُعْطَيَا عِلْمَ مَا يَكُونُ وَ مَا هُوَ كَائِنٌ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ وَ قَدْ وَرِثْنَاهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ( صلى الله عليه وآله ) وِرَاثَةً
Ahmad bin Muhammad dan Muhammad bin Yahyaa, dari Muhammad bin Al-Husain, dari Ibraahiim bin Ishaaq Al-Ahmar, dari ‘Abdullah bin Hammaad, dari Saif At-Tammaar, ia berkata : Kami pernah bersama Abu Ja’far (‘alaihis-salaam), …..kemudian ia berkata : “Demi Rabb Ka’bah dan Rabb Baniyyah – tiga kali – . Seandainya aku berada di antara Musa dan Khidlir, akan aku khabarkan kepada mereka berdua bahwasannya aku lebih mengetahui daripada mereka berdua. Dan akan aku beritahukan kepada mereka berdua apa-apa yang tidak ada pada diri mereka. Karena Musa dan Khidlir (‘alaihis-salaam) diberikan ilmu apa yang telah telah terjadi, namun tidak diberikan ilmu yang sedang terjadi dan akan terjadi hingga tegak hari kiamat. Dan sungguh kami telah mewarisinya dari Rasulullah (shallallaahu ‘alaihi wa aalihi)[9] dengan satu warisan” [Al-Kaafiy, 1/260-261].
Perhatikan penjelasan Dr. Al-Qazwiniy berikut :
Ia (Dr. Al-Qazwiiniy) pada menit 0:44 – 0:53 mengatakan : “Allah ta’ala Maha Mengetahui segala isi hati. Dan imam dalam riwayat ini juga mengetahui segala isi hati. Ilmu imam berasal dari Allah….. [selesai].
Apakah hal seperti ini menurut Umar Syihab tidak sesat ?. Apakah hal seperti ini menurut Din Syamsuddin tidak ada sangkut pautnya dengan ‘aqidah ?. Dimanakah posisi firman Allah ta’ala :
قُلْ لا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلا مَا يُوحَى إِلَيَّ
Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku” [QS. Al-An’aam : 50] ?.
Dan kalaupun Allah memberikan sebagian khabar ghaib – baik yang telah lalu maupun yang kemudian – kepada para hamba-Nya dari kalangan manusia, maka itu Allah ta’ala berikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya :
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ
Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya” [QS. Ali ‘Imraan : 179].
Tidak ada dalam ayat di atas kata ‘imam’, akan tetapi menyebut kata ‘rasul’.[10]
Orang Syi’ah mengatakan bahwa imam lebih tinggi kedudukannya dari para Nabi (selain Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam).
Ayatullah Al-‘Udhmaa (baca : Ayatusy-Syi’ah) Ar-Ruuhaaniy – semoga Allah mengembalikannya kepada kebenaran – pernah ditanya sebagai berikut :
هل تعتقدون أن علياً كرم الله وجهه أفضل من الأنبياء؟
“Apakah engkau meyakini bahwasannya ‘Aliy karamallaahu wajhah lebih utama daripada para Nabi ?”.
Ia (Ar-Ruuhaaniy) menjawab :
اسمه جلت اسمائه
هذا من الامور القطعية الواضحة
“Dengan menyebut nama-Nya yang Maha Agung,…. Ini termasuk perkara-perkara yang pasti lagi jelas (yaitu ‘Aliy lebih utama daripada para Nabi)” [selesai – sumber :http://www.alrad.net/hiwar/olama/rohani/r16.htm].[11]
Bahkan seandainya seluruh Nabi berkumpul, niscaya mereka tidak akan mampu berkhutbah menandingi khutbah ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu. Ini dikatakan oleh salah seorang ulama Syi’ah yang sangat kesohor : As-Sayyid Kamaal Al-Haidariy :
Dasar riwayatnya (bahwa ‘Aliy lebih utama dibandingkan para Nabi, selain Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam) tertulis di video ini :
Apakah hal seperti ini menurut Umar Syihab tidak sesat ?. Apakah hal seperti ini menurut Din Syamsuddin tidak ada sangkut pautnya dengan ‘aqidah ?. Bukankah ini merupakan penghinaan terhadap para Nabi dan para rasul ?. Dimanakah posisi firman Allah ta’ala :
تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ اللَّهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ
Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat” [QS. Al-Baqarah : 253] ?.
[Pelampauan keutamaan sebagian Rasul (termasuk Nabi) hanya dilakukan oleh sebagian (Rasul) yang lain. Allah tidak mengatakan bahwa pelampauan itu dilakukan oleh orang yang bukan Nabi atau Rasul].
5.     Orang Syi’ah – dalam hal ini diwakili oleh Ayatusy-Syi’ah Khomainiy – mengatakan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menyembunyikan sebagian risalah dan gagal membina umat.
Khomainiy – semoga Allah memberikan balasan setimpal kepadanya – berkata :
وواضح أنَّ النبي لو كان بلغ بأمر الإمامة طبقاً لما أمر به الله، وبذل المساعي في هذه المجال، لما نشبت في البلدان الإسلامية كل هذه الإختلافات….
“Dan telah jelas bahwasannya Nabi jika ia menyampaikan perkara imaamah sebagaimana yang Allah perintahkan (padanya) dan mencurahkan segenap kemampuannya dalam permasalahan ini, niscaya perselisihan yang terjadi di berbagai negeri Islam tidak akan berkobar…..” [Kasyful-Asraar, hal. 155].
لقد جاء الأنبياء جميعاً من أجل إرساء قواعد العدالة في العالم؛ لكنَّهم لم ينجحوا حتَّى النبي محمد خاتم الأنبياء، الذي جاء لإصلاح البشرية وتنفيذ العدالة وتربية البشر، لم ينجح في ذلك….
“Sungguh semua Nabi telah datang untuk menancapkan keadilan di dunia, akan tetapi mereka tidak berhasil. Bahkan termasuk Nabi Muhammad, penutup para Nabi, dimana beliau datang untuk memperbaiki umat manusia, menginginkan keadilan, dan mendidik manusa – tidak berhasil dalam hal itu….” [Nahju Khomainiy, hal 46].
Dan yang lainnya.[12]
Apakah hal seperti ini menurut Umar Syihab tidak sesat ?. Apakah keyakinan seperti ini menurut Din Syamsuddin tidak ada sangkut pautnya dengan ‘aqidah ?. Dimanakah posisi firman Allah ta’ala yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah suritauladan yang baik :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [QS. Al-Ahzaab : 21] ?.
6.     Orang Syi’ah mengkafirkan Ahlus-Sunnah.
Jika mereka mengkafirkan para shahabat radliyallaahu ‘anhum, maka jangan heran jika mereka juga mengkafirkan orang-orang yang berkesesuaian pemahaman dengan para shahabat radliyallaahu ‘anhum, yaitu Ahlus-Sunnah. Berikut perkataan para ulama Syi’ah dalam hal ini :
Al-Mufiid berkata :
اتّفقت الإماميّة على أنّ من أنكر إمامة أحد من الأئمّة وجحد ما أوجبه الله تعالى له من فرض الطّاعة فهو كافر ضالّ مُستحقّ للخلود في النّار
“Madzhab Imaamiyyah telah bersepakat bahwasannya siapa saja yang mengingkari imaamah salah seorang di antara para imam, dan mengingkari apa yang telah Allahta’ala wajibkan padanya tentang kewajiban taat, maka ia kafir lagi sesat berhak atas kekekalan neraka” [Awaailul-Maqaalaat, hal 44 – sumber : http://www.al-shia.org/html/ara/books/lib-aqaed/avael-maqalat/a01.htm].
Orang yang mengingkari keimamahan versi mereka tentu saja adalah Ahlus-Sunnah.
Yuusuf Al-Bahraaniy berkata :
إن إطلاق المسلم على الناصب وأنه لا يجوز أخذ ماله من حيث الإسلام خلاف ما عليه الطائفة المحقة سلفا وخلفا من الحكم بكفر الناصب ونجاسته وجواز أخذ ماله بل قتله
“Sesungguhnya pemutlakan muslim terhadap Naashib (baca : Ahlus-Sunnah) bahwasannya tidak diperbolehkan mengambil hartanya dengan sebab Islam (telah melarangnya), maka itu telah menyelisihi apa yang dipahami oleh kelompok yang benar (baca : Syi’ah Raafidlah) baik dulu maupun sekarang (salaf dan khalaf) tentanghukum kafirnya Naashib, kenajisannya, dan diperbolehkannya mengambil hartanya, bahkan membunuhnya” [Al-Hadaaiqun-Naadlirah, 12/323-324 – sumber : shjaffar.jeeran.com].
Berikut rekaman suara Yasiir Habiib yang mengkafirkan Ahlus-Sunnah yang ia sebut sebagai Nawaashib atau golongan ‘awwaam :
.
Sebagai penguat, silakan baca/lihat :
7.     Shalat Syi’ah sangat berbeda dengan shalat Ahlus-Sunnah.
Langsung saja Anda buka halaman blog berjudul : Fiqh Syi’ah (5) : Kaifiyyah Shalat Syi’ah.
Adzannya pun lain, karena selain syahadatain, mereka menambahkan syahadat ketiga[13]. Simak :
Masih banyak sebenarnya kesesatan Syi’ah selain di atas.
MUI telah menetapkan kriteria sesat tidaknya satu kelompok atau pemahaman sebagai berikut :
1.     Mengingkari rukun iman dan rukun Islam.
2.     Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar`iy (Alquran dan as-sunah).
3.     Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran.
4.     Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Al-Qur’an.
5.     Melakukan penafsiran Al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir.
6.     Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam.
7.     Melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul.
8.     Mengingkari Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi dan rasul terakhir.
9.     Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah.
10.   Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i.
Dari sepuluh kriteria di atas, menurut saya Syi’ah mempunyai delapan di antaranya.[14]Saya persilakan Umar Syihab dan Din Syamsuddin untuk mencocokkan fakta yang saya sebut di atas dengan kriteria sesat yang telah MUI tetapkan : sesat atau tidak sesat menurut mereka berdua.[15] Hanya saja, saya akan sebutkan beberapa perkataan ulama Ahlus-Sunnah, bagaimana pandangan mereka tentang kelompok Syi’ah Raafidlah.
1.     ‘Alqamah bin Qais An-Nakha’iy rahimahullah (kibaarut-taabi’iin, w. 62 H).
عَنْ عَلْقَمَةَ، قَالَ: ” لَقَدْ غَلَتْ هَذِهِ الشِّيعَةُ فِي عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَمَا غَلَتِ النَّصَارَى فِي عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ “
Dari ‘Alqamah, ia berkata : “Sungguh Syi’ah ini telah berlebih-lebihan terhadap ‘Aliyradliyallaahu ‘anhu sebagaimana berlebih-lebuhannya Nashara terhadap ‘Iisaa bin Maryam” [Diriwayatkan ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah no. 1115 dan Al-Harbiy dalam Ghariibul-Hadiits 2/581; shahih].
2.     Az-Zuhriy rahimahullah.
وَأَنْبَأَنَاهُ أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى الْحُلْوَانِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يُونُسَ، عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: ” مَا رَأَيْتُ قَوْمًا أَشْبَهَ بِالنَّصَارَى مِنَ السَّبَائِيَّةِ “، قَالَ أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ: هُمُ الرَّافِضَةُ
Telah memberitakan kepada kami Ahmad bin Yahyaa Al-Hulwaaniy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdillah bin Yuunus, dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Az-Zuhriy, ia berkata : “Aku tidak pernah melihat satu kaum yang lebih menyerupai Nashara daripada kelompok Sabaa’iyyah”. Ahmad bin Yuunus berkata : “Mereka itu adalah Raafidlah” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syaari’ah, 3/567 no. 2083; shahih].
3.     Maalik bin Anas rahimahullah.
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ الْمَرُّوذِيُّ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ: عَنْ مَنْ يَشْتِمُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعَائِشَةَ؟ قَالَ: مَا أُرَآهُ عَلَى الإِسْلامِ، قَالَ: وَسَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ: قَالَ مَالِكٌ: الَّذِي يَشْتِمُ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ لَهُ سَهْمٌ، أَوْ قَالَ: نَصِيبٌ فِي الإِسْلامِ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Al-Marwadziy, ia berkata : Aku bertanya kepada Abu ‘Abdillah tentang orang yang mencaci-maki Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Aaisyah ?. Maka ia menjawab : “Aku tidak berpendapat ia di atas agama Islam”. Al-Marwadziy berkata : Dan aku juga mendengar Abu ‘Abdillah berkata : Telah berkata Maalik (bin Anas) : “Orang yang mencaci-maki para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka ia tidak mempunyai bagian (dalam Islam)” – atau ia berkata : “bagian dalam Islam” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 783; shahih sampai Ahmad bin Hanbal].
4.     Asy-Syaafi’iy rahimahullah.
أنا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ الرَّحْمَنِ، ثنا أَبِي، قَالَ: أَخْبَرَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ، يَقُولُ: لَمْ أَرَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ الأَهْوَاءِ، أَشْهَدُ بِالزُّورِ مِنَ الرَّافِضَةِ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan : Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Harmalah bin Yahyaa, ia berkata : Aku mendengar Asy-Syaafi’iy berkata : “Aku tidak pernah melihat seorang pun dari pengikut hawa nafsu yang aku saksikan kedustaannya daripada Raafidlah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Aadaabusy-Syaafi’iy, hal. 144; hasan]
عن البويطي يقول: سألت الشافعي: أصلي خلف الرافضي ؟ قال: لا تصل خلف الرافضي، ولا القدري، ولا المرجئ….
Dari Al-Buwaithiy ia berkata : “Aku bertanya kepada Asy-Syafi’iy : ‘Apakah aku boleh shalat di belakang seorang Rafidliy ?”. Beliau menjawab : “Janganlah engkau shalat di belakang seorang Raafidliy, Qadariy, dan Murji’” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 10/31].
5.     Ahmad bin Hanbal rahimahullah.
وَأَخْبَرَنِي عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: ” مَنْ شَتَمَ أَخَافُ عَلَيْهِ الْكُفْرَ مِثْلَ الرَّوَافِضِ، ثُمَّ قَالَ: مَنْ شَتَمَ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا نَأْمَنُ أَنْ يَكُونَ قَدْ مَرَقَ عَنِ الدِّينِ “
Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-Hamiid ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah berkata : “Barangsiapa yang mencaci-maki, aku khawatir ia akan tertimpa kekafiran seperti Raafidlah”. Kemudian ia melanjutkan : “Barangsiapa yang mencaci-maki para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka kami tidak percaya ia aman dari bahaya kemurtadan” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 784; shahih].
أَخْبَرَنِي يُوسُفُ بْنُ مُوسَى، أَنَّ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ سُئِلَ، وَأَخْبَرَنِي عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ، قَالَ: ” سَأَلْتُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ، عَنْ جَارٍ لَنَا رَافِضِيٍّ يُسَلِّمُ عَلَيَّ، أَرُدُّ عَلَيْهِ؟ قَالَ: لا “
Telah mengkhabarkan kepadaku Yuusuf bin Muusaa : Bahwasannya Abu ‘Abdillah pernah ditanya. Dan telah mengkhabarkan kepadaku ‘Aliy bin ‘Abdish-Shamad, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang tetanggaku Raafidliy yang mengucapkan salam kepadaku, apakah perlu aku jawab ?”. Ia menjawab : “Tidak” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 787; hasan].
6.     Al-Bukhaariy rahimahullah berkata :
مَا أُبَالِي صَلَّيْتُ خَلْفَ الْجَهْمِيِّ، وَالرَّافِضِيِّ أَمْ صَلَّيْتُ خَلْفَ الْيَهُودِ، وَالنَّصَارَى، وَلا يُسَلَّمُ عَلَيْهِمْ، وَلا يُعَادُونَ، وَلا يُنَاكَحُونَ، وَلا يَشْهَدُونَ، وَلا تُؤْكَلُ ذَبَائِحُهُمْ
“Sama saja bagiku shalat di belakang Jahmiy dan Raafidliy, atau aku shalat di belakang Yahudi dan Nashrani. Jangan memberikan salam kepada mereka, jangan dijenguk (apabila mereka sakit), jangan dinikahi, jangan disaksikan (jenazah mereka), dan jangan dimakan sembelihan mereka” [Khalqu Af’aalil-‘Ibaad, 1/39-40].
7.     Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullahu berkata :
وَكَذَلِك نقطع بتكفير غلاة الرافضة فِي قولهم إنّ الْأَئِمَّة أفضل مِن الْأَنْبِيَاء
“Dan begitu pula kami memastikan kafirnya ghullat Raafidlah tentang perkataan mereka bahwasannya para imam lebih utama dari para Nabi” [Asy-Syifaa bi-Ahwaalil-Mushthafaa, 2/174].
8.     Ibnu Hazm Al-Andaaluusiy rahimahullah berkata :
وأما قولهم ( يعني النصارى ) في دعوى الروافض تبديل القرآن فإن الروافض ليسوا من المسلمين ، إنما هي فرقة حدث أولها بعد موت رسول الله صلى الله عليه وسلم بخمس وعشرين سنة .. وهي طائفة تجري مجرى اليهود والنصارى في الكذب والكفر
“Adapun perkataan mereka (yaitu Nasharaa) atas klaim Raafidlah tentang perubahan Al-Qur’an (maka ini tidak teranggap), karena Raafidlah bukan termasuk kaum muslimin. Ia hanyalah kelompok yang muncul pertama kali 25 tahun setelah wafatnya Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam…. Raafidlah adalah kelompok berjalan mengikuti jalan orang Yahudi dan Nashara dalam dusta dan kekufuran” [Al-Fishal fil-Milal wan-Nihal, 2/213].
9.     Dan lain-lain.
Seandainya ‘ijtihad’ dua profesor : ‘Umar Syihaab dan Diin Syamsuddin tetap menghasilkan kesimpulan Syi’ah tidak sesat, Anda dapat mengira-ira siapa sebenarnya yang ia bela : Ahlus-Sunnah atau Syi’ah Raafidlah ?.
Anyway,…. Syi’ah Raafidlah sering menggunakan dalih mencintai Ahlul-Bait untuk menutupi hakekat busuk ‘aqidah mereka, dan untuk menipu umat. Kecintaan mereka itu palsu. Kecintaan yang tidak diridlai oleh Ahlul-Bait sendiri. Ahlul-Bait berlepas diri dari mereka, dan mereka pun berlepas diri dari Ahlul-Bait.
عَنْ عَلِيَّ بْنَ حُسَيْنٍ، وَكَانَ أَفْضَلَ هَاشِمِيٍّ أَدْرَكْتُهُ، يَقُولُ: ” يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَحِبُّونَا حُبَّ الإِسْلامِ، فَمَا بَرِحَ بِنَا حُبُّكُمْ حَتَّى صَارَ عَلَيْنَا عَارًا “
Dari ‘Aliy bin Al-Husain – dan ia adalah seutama-utama keturunan Bani Haasyim yang aku (perawi) temui – berkata : “Wahai sekalian manusia[16], cintailah kami dengan kecintaan Islam. Kecintaan kalian kepada kami senantiasa ada hingga kemudian malah menjadi aib bagi kami” [Ath-Thabaqaat, 5/110; shahih[17]].
عَنْ فُضَيْل بْنُ مَرْزُوقٍ، قَالَ: سَمِعْتُ إِبْرَاهِيمَ بْنَ الْحَسَنِ بْنِ الْحَسَنِ، أَخَا عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَسَنِ يَقُولُ: ” قَدْ وَاللَّهِ مَرَقَتْ عَلَيْنَا الرَّافِضَةُ كَمَا مَرَقَتِ الْحَرُورِيَّةُ عَلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ “
Dari Fudlail bin Marzuuq, ia berkata : Aku mendengar Ibraahiim bin Al-Hasan bin Al-Hasan, saudara ‘Abdullah bin Al-Hasan, berkata : “Sungguh, demi Allah, Raafidlah telah keluar (ketaatan) terhadap kami (Ahlul-Bait) sebagaimana Al-Haruuriyyah telah keluar (ketaatan) terhadap ‘Aliy bin Abi Thaalib” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniydalam Fadlaailush-Shahaabah no. 36; hasan].
Ibraahiim bin Al-Hasan bin Al-Hasan adalah anggota Ahlul-Bait dari jalur Al-Hasan bin ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia termasuk di antara pemimpin penduduk Madiinah, dan Ahlul-Bait yang mulia/agung” [Masyaahir ‘Ulamaa Al-Amshaar, hal. 155 no. 995].
Ya, kecintaan Syi’ah terhadap Ahlul-Bait telah menjadi ‘aib bagi kemuliaan Ahlul-Bait.Mereka telah melakukan banyak kedustaan atas nama Ahlul-Bait untuk merusak ‘aqidah Islam dari dalam.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – wonokarto, wonogiri, 5761s – 1433 H].
NB : Anda jangan mudah tertipu dengan perkataan tokoh Syi’ah dalam negeri yang katanya tidak mengkafirkan shahabat, tidak mengkafirkan kaum muslimin, Al-Qur’an tidak mengalami perubahan, dan yang lain-lain yang bertolak belakang dengan kontent tulisan ini. Ketika mereka ‘lemah’, maka topeng kedustaantaqiyyah mereka gunakan. Contohnya adalah perkaataan Dr. Jalaluddin Rahmat – yang dikenal dengan nama : Kang Jalal, tokoh Syi’ah Indonesia – yang menegaskan bahwa Syi’ah mengharamkan nikah mut’ah. Berikut katanya : “Kami di IJABI nikah mut’ah diharamkan”.[18] IJABI adalah singkatan dari Ikatan Jama’ah Ahlul-Bait Indonesia – organisasi resmi orang-orang Syi’ah di Indonesia. Sejak kapan mut’ah diharamkan oleh Syi’ah ?. Ya, sejak Kang Jalal ngomong diharamkan. Biasa, basa-basi karena takut kedok prostitusinya tercium masyarakat luas.
Oleh karena itu, bagi orang yang ingin tahu ‘aqidah (sesat) Syi’ah, ya langsung saja membaca buku-buku mereka yang terbitan Iran. Atau baca situs-situs asli mereka berbahasa ‘Arab, Persi, atau Inggris yang memang punya misi menyebarkan paham-paham Syi’ah. Jangan dengarkan penjelasan Kang Jalal, Quraisy Syihaab, atau ‘Umaar Syihaab karena Anda hanya akan disuguhi lawakan konyol saja, seperti perkataan Kang Jalal barusan.

[1]      Ia menjabat sebagai salah satu ketua MUI (lihat : http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=52&Itemid=54).
[2]      Perkataan ini sama sekali tidak valid, sebab MUI telah memvonis kesesatan Syi’ah melalui fatwanya sebagai berikut :
Catatan : Fatwa MUI di atas tidaklah mencukupi untuk menggambarkan kesesatan dan penyimpangannya dari ajaran Islam sebagaimana dijelaskan dalam bukti otentiknya di artikel ini.
Perkataan Umar Syihab yang mengatasnamakan MUI ini banyak diikuti oleh beberapa media. Berikut contohnya dan bukti otentik perkataan Umar Syihab :http://youtu.be/ifwcLelePQ8.
[7]      Berikut referensi Syi’ah yang memuat riwayat dusta ini :
[8]      Orang-orang Syi’ah berusaha membuat syubhat dengan melemahkan hadits ini. Namun usaha mereka gagal, karena kenyataannya hadits ini memang shahih. Baca artikel :
[9]      Ini adalah dusta yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
[15]     Catatan saja, MUI tidak mensyaratkan terpenuhi kesepuluh kriteria itu satu kelompok atau pemahaman dikatakan sesat.
[16]     Dalam sebagian lafadh disebutkan : Wahai penduduk ‘Iraaq’ atau ‘Wahai penduduk Kuufah’.
[17]     Baca uraian riwayatnya dalam artikel : Islam dan Ahlul-Bait Menolak Kecintaan ‘Berhala’ala Syi’ah.

Shalat di atas Kendaraan

Anda tentunya pernah berpergian. Baik berpergian antar kota, propinsi, antar pulau atau bahkan antar negara. Apakah Anda tahu sebuah sunnah yang mulia yang ditinggalkan kaum muslimin? Ya, sunnah itu adalah sholat di atas kendaraan. Ini bukanlah karangan saya, bahwa kalau kita lihat sekarang saja di kereta api, bus, atau kendaraan umum lainnya. Orang-orang dari kaum muslimin jarang melakukan ibadah ini. Sebagai contohnya adalah ketika seseorang berpergian jauh, misalnya dari Malang ke Jakarta. Paling tidak akan menghabiskan waktu berjam-jam. Sehari semalam paling lambat. Atau kalau menurut pengalaman saya sampai 12 jam kurang lebih. Banyak di antara mereka tidak sholat.

Fenomena ini terjadi di kalangan kaum muslimin sendiri yang harusnya menjadikan sholat 5 waktu sebagai sebuah kewajiban. Nyatanya mereka melalaikan kewajiban ini. Boleh jadi saya harus khusnuzhon, bahwa mungkin mereka sholat tapi saya tidak tahu. Boleh jadi mereka nantinya akan sholat ketika tiba di tempat. Namun sebagaimana yang saya fahami terhadap permasalahan ini, sholat yang sampai meninggalkan 3x waktu sholat apa bisa boleh? Padahal apabila sudah masuk waktu sholat kita wajib sholat, bahkan walaupun musafir tetap sholat itu adalah kewajiban.

Dari pengalaman saya ketika naik kereta Mutiara Selatan jurusan Bandung-Surabaya, saya berangkat sore ba’dha Ashar. Setelah melakukan sholat qashar saya berangkat. Kemudian saya duduk bersama para penumpang lainnya. Setelah satu atau dua jam perjalanan jam sudah menunjukkan pukul 18:00 wib, waktunya sholat maghrib. Dan di dalam kereta saya tak mendapati seorang pun sholat. Bisa jadi para penumpang itu melakukan qashar. Kebetulan kereta Mutiara Selatan yang saya naiki adalah eksekutif, jelas sekali toiletnya airnya sangat melimpah. Saya sholat maghrib dan Isya’ jama’ qashar sambil duduk di kereta. Para penumpang baik di sebelah saya, ataupun di depan saya tidak ada yang sholat. Lanjut lagi pukul 20:00 wib. Tak ada yang sholat. Saya hanya mendapati satu gerbong mendengkur semua atau sebagian mainan handphone atau nonton tv yang kebetulan ada tv di dalam kereta itu. Setelah itu lanjut sampai subuh pukul 04:30 wib. Tak ada satupun yang sholat subuh. Bahkan saya ragu kalau mereka sudah sholat Isya’. Dan sampai di surabaya pukul 08:00 wib tidak ada satupun penumpang yang saya temui melaksanakan sholat maghrib, Isya’ dan subuh.Astaghfirullah.

Saudaraku yang saya cintai karena Allah, sesungguhnya telah banyak ayat-ayat dan hadits-hadits nabi yang menjelaskan betapa sholat itu penting dan merupakan rukun Islam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar bin Khoththob radhiyallahu’anhum beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salambersabda: ‘Islam itu didirikan oleh lima hal, dua kalimat syahadat Laailaahaillallah dan Muhammad rasulullah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berhaji, dan puasa di bulan Ramadhan’“. [HR. Bukhari]

Padahal rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam dengan jelas memberikan keringanan bagi mereka yang sholat tidak dengan berdiri. Beliau bersabda, “Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka dengan duduk, apabila tidak mampu maka dengan berbaring” [HR. Bukhari dan kitab-kitab sunan lainnya]

Kemudian tatacaranya pun mudah. Apabila hendak sholat maka seseorang harus menghadap kiblat dulu baru kemudian apabila ia mampu maka ia harus menghadap kiblat kemanapun kendaraan itu berpindah arah. Namun apabila tidak mampu tidak mengapa. Allah berfirman yang artinya:

“Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (Qs.Al-Baqarah:144) 

Sungguh Allah itu tidak menghendaki kepada kita kesukaran, namun terkadang kita sendirilah yang selalu mempersulit diri. Banyak orang mengharap surga, saya yakin seluruh para penumpang yang ada di kereta tersebut mengharap surga. Tapi bagaimana mereka bisa berharap sedangkan sholat saja mereka lalai. Dan benar apa yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa ta’alaa yang artinya:

“Celakalah orang-orang yang sholat. (Yaitu) orang yang lalai sholatnya” [Q.S. Al Maa’uun: 4-5]

Padahal banyak sekali riwayat baik dari rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam yang mana beliau sholat di atas unta. Juga dari para shahabat yang mana mereka sholat berjama’ah di atas kapal bahkan ketika kapal itu berganti haluan mereka pun tetap menghadap kiblat. Juga dari riwayat-riwayat para ulama salafush sholih yang mana mereka tetap sholat di atas kendaraan sampai ditujuan. Lalu apa yang sebenarnya dicari oleh kita padahal Islam ini sudah memberikan kemudahan cara beribadahnya? Sholat itu kewajiban yang selayaknya tidak boleh ditinggalkan oleh pribadi seorang muslim.

Wallahua’alam bishawab.